Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nasib Tragis Budi si Guru Honorer dan Pentingnya Undang-undang Perlindungan Guru

3 Februari 2018   13:42 Diperbarui: 4 Februari 2018   13:03 3290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber photo dari akun Facebook: Dian Andryanto.

Saya adalah seorang guru, sama seperti Ahmad Budi Cahyono. Tugas utama kami juga sama seperti yang tercantum dalam UU RI No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 1, yaitu: mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Jika ada perbedaan antara saya dan Budi adalah, saya mengajar di SMP dan Budi mengajar di SMA, saya mengajar matematika dan Budi mengajar seni rupa. Saya tinggal di Lingga, Kepulauan Riau dan Budi tinggal di Sampang, Madura. Saya sudah ASN tetapi Budi masih guru honorer dan tidak akan pernah lagi menjadi ASN. Saya masih hidup tetapi Budi sudah meregang nyawa di tangan anak didiknya sendiri.

Sebelum berstatus sebagai ASN, saya pernah menjadi guru honorer selama 4,5 tahun dan itu sangat tidak mudah. Seperti yang saya sudah ceritakan sebelumnya dalam tulisan saya yang berjudul "Sorga", saya harus mengajar selama 32 jam pelajaran setiap minggunya dengan upah Rp475.000 setiap bulannya. Dengan duit sebanyak itu saya harus menghidupi 1 orang istri dan 2 orang anak. Luar biasa bukan? 

Bandingkan dengan gaji Zumi Zola Gubernur Jambi yang tersandung kasus korupsi karena gajinya kecil, kata Zulkifli Hasan, sang Ketua MPR-RI. Apakah gaji Zumi Zola lebih kecil Rp475.000 setiap bulannya? Pasti tidak. Setiap jamnya barangkali, dengan asumsi Rp475.000 x 12jam x 30hari = Rp342 000.000 setiap bulannya. Tetapi mungkin masih lebih.

Jelas bagi saya dan Budi menjadi, guru honorer itu sangat tidak enak. Setiap hari kami harus berhadapan dengan ratusan anak didik dengan berbagai macam latar belakang ekonomi dan keluarga serta karakteristik yang beragam juga. 

Kami harus mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didik tersebut dengan sabar dan tidak boleh membedakan satu sama lain. Dan satu lagi, mereka dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan Anak yang selalu diawasi oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sedangkan kami tanpa Undang-undang Perlindungan Guru.

Jadi kami tidak boleh sembarangan menghukum anak. Kalau tidak, kami akan dituntut di depan pengadilan dan kemudian dimasukkan ke bui secara paksa. Padahal menghukum anak yang didasarkan pada "kasih sayang" dan "emosi yang positif" dengan tujuan agar anak tersebut lebih baik dikemudian hari adalah bagian dari pendidikan itu sendiri, seperti yang saya kemukakan dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Menghajar Anak vs Perlindungan Anak".

Apakah ada hubungannya dengan Undang-undang Perlindungan Anak atau tidak, yang jelas sekarang para guru dan orang tua sedang diperhadapkan dengan generasi "cuek", seperti yang saya bahas dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Generasi Apatis". Generasi yang tidak peduli dengan diri sendiri, dengan sesama, dan terhadap lingkungan. Mereka tidak peduli dengan norma-norma dan aturan yang berlaku. Mereka cenderung lebih suka hidup sesuka hati tanpa memikirkan masa depan.

Para guru di sekolah sangat kewalahan. Rasa hormat siswa terhadap guru dari hari-kehari menurun drastis. Mereka tak segan-segan menentang, membantah, membentak, melawan dan menyepelekan guru dan aturan-aturan sekolah.

Generasi seperti inilah yang dihadapi oleh Budi seorang gubernur, eh... maksudnya guru honorer yang malang. Beliau tidak bermimpi memiliki mobil dan rumah mewah atau barang-barang berharga lainnya dengan gajinya yang pasti sangat tidak pas-pasan.

Beliau hanya berharap bagaimana mendidik anak didiknya agar kelak dapat menjadi anak yang labih berguna dan lebih baik nasibnya dan kalau bisa jangan mengalami nasib seperti dirinya yang hanya seorang guru honorer dengan gaji sangat tidak pas-pasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun