Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hubungan yang "Kaku" antara Ayah dan Anak Laki-lakinya dalam Suku Batak

2 Februari 2018   10:11 Diperbarui: 2 Februari 2018   11:18 2899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja seorang ayah dalam suku batak sangat menyayangi anak laki-lakinya. Kita tahu bahwa sistem kekerabatan dalam suku batak bersifat "patrileneal", yaitu hubungan keturunan melalui garis kerabat kaki-laki saja, ayah.

Karena itu seorang ayah dalam suku batak sangat mengharapkan kelahiran anak laki-laki sebagai penerus "tarombo" atau silsilah dari garis keturunannya. Jika seorang ayah tidak memiliki anak laki-laki sampai akhir hidupnya sebagai penerus garis keturunannya maka si ayah tersebut dikatakan "punu" atau punah.

Hal itu adalah sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan. Selain "tarombo" si ayah terputus dalam silsilah marganya untuk selama-lamanya, di beberapa daerah di Tapanuli beredar mitos, jika seorang ayah tidak mempunyai anak laki-laki maka dicurigai si ayah tersebut memiliki ilmu hitam atau sejenisnya sehingga "Mulajadi Nabolon" tidak berkenan memberikan anak laki-laki kepada ayah tersebut.

Untuk itu seorang ayah akan terus berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki. Jika anak pertama perempuan terus ke anak ke-2, ke-3 dan seterusnya masih demikian, maka si ayah biasanya pergi ke rumah tulang atau "hula-hula"nya untuk meminta doa dan berkat sehingga "Mulajadi Nabolon" berkenan memberikan kepada mereka seorang anak laki-laki atau lebih. 

Jika tidak berhasil juga bahkan ada yang melakukan cara-cara yang sangat tidak wajar, yaitu mengawini perempuan lain secara diam-diam hanya untuk mendapatkan anak laki-laki, sementara buday Batak itu sendiri sangat menjunjung tinggi perkawinan monogami.

Tetapi sekarang keinginan itu tidak sekuat dulu lagi. Sudah semakin berkurang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka sadar bahwa mempunyai anak laki-laki atau perempuan sangat dipengaruhi faktor genenetik. Semboyan "laki-laki dan perempuan sama saja!" yang dikampanyekan pemerintah sepertinya diperuntukkan untuk suku Batak yang sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki dalam keluarganya.

Yang ingin saya angkat disini seperti judul di atas adalah setelah seorang ayah mempunyai anak laki-laki, ada beberapa tahapan hubungan antara seorang ayah dan anak laki-lakinya yang saya pikir berubah 180 derajat dan terkesan kaku.

Tahapan pertama adalah, ketika anak laki-lakinya lahir sampai umur 5 tahun, seorang ayah senangnya luar biasa, dengan bangganya sang ayah menceritakannya ke semua orang bahwa anaknya laki-laki sudah lahir, kemudian menggendongnya dan membawanya ke tempat keramaian seperti pesta. Tetapi setelah itu hubungan yang "sangat akrab" tersebut mulai berkurang.

Tahapan kedua adalah, seiring berjalannya waktu, ketika anak laki-lakinya sudah beranjak remaja sampai kemudian "doli-doli", terjadilah hubungan yang sangat kaku. Sang ayah mulai "tidak akrab" lagi dengan anak laki-lakinya. Sang ayah sering marah-marah tanpa sebab. Dan tak jarang sang ayah membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain. Dan sang anakpun sering berontak.

Tidak ada lagi hubungan yang "mesra", keduanya saling segan untuk "bercerita" apalagi "saling meminta maaf"? Ego kelaki-lakian kedua belah pihak keluar. Tak jarang permusuhan yang meruncing dan menjurus ke "perpecahan"-pun terjadi.

Apakah kasih sayang sang ayah berubah dari sedia kala? Tentu saja tidak. Ini hanya "mis" komunikasi saja. Sang ayah tetap sangat menyayangi anak laki-lakinya. Tetapi cara sang ayah meng"ekspresi"kan kasih sayangnya sering tidak sama dengan isi hatinya. Dan sang anakpun mem"baca"nya sebagai ajakan "perang".

Ketika sang anak memutuskan untuk pergi "merantau" ke negeri orang untuk menghindari hubungan yang lebih buruk sekaligus untuk mengubah nasib, apakah sang ayah senang karena kehilangan musuh?

Tentu saja tidak. Sang ayah akan pergi ke tempat yang tidak dilihat orang lain. Disana sang ayah akan menangis sejadi-jadinya menyesali "kejahatannya". Sang ayah sebenarnya mau saja mencegah niat anaknya untuk pergi merantau. Tetapi lagi-lagi untuk mengutarakan itu harga diri sang ayah terlalu mahal.

Ketika anak-anak laki-lakinya sudah pergi, yakinlah; untuk minggu pertama sampai 3 bulan berikutnya, sang ayah tidak bisa tidur dan tak selera makan. Dan di tempat sepi sang ayah tak akan berhenti menangis dan merenung. Demikian untuk waktu yang lama sampai kemudian ada berita bahwa anak laki-lakinya akan pulang.

Dan ketika anak laki-lakinya akan pulang dari perantauan tahukah Anda apa yang akan dilakukan sang ayah kepada anaknya? Mendengar kabar anak laki-lakinya akan pulang, sang ayah senang luar biasa lalu menceritakannya ke semua orang bahwa anaknya akan pulang. Sama seperti masa ketika anak laki-lakinya akan lahir.

Dan ketika anaknya tiba, apakah kira-kira yang akan dilakukan sang ayah kepada anaknya? Apakah sang ayah kembali akan marah-marah?

Sang ayah akan memeluk anak laki-lakinya, menciumnya dan menangis tak peduli rasa malu. Tidak ada lagi ego laki-laki disana. Sang ayah akan merangkul anaknya dan bercerita tentang apa saja yang ada di hatinya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun