Perhatikan poto di atas. Itu adalah kampungku Hadataran. Aku dilahirkan dan dibesarkan di kampung sebelahnya bernama Hapesong, 41 tahun yang silam. Dan disebelahnya lagi dengan jarak yang cukup jauh masih ada kampung Paratusan dan jadilah kami menjadi trio kampung H2P: Hadataran-Hapesong-Paratusan.
Sebenarnya secara administratif kami adalah dusun karena untuk tingkat pemerintahan kami tergabung dengan Sirumambe-Sibiobio-Sileangleang dalam Desa Lontung Jae II yang dipimpin oleh seorang kepala desa yang dipilih 5 tahun sekali.
Di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, desa kami merupakan bagian dari kecamatan Garoga, kabupaten Tapanuli Utara, provinsi Sumatera Utara. Jadi desa kami jelas masih merupakan bagian dari wilayah NKRI.
Tetapi masalahnya adalah hingga tahun 2012 atau tepatnya 67 tahun setelah Indonesia merdeka, kampung kami masih tetap "dijajah" oleh "kolotnial" dan "isolasial".
Sekilas tidak ada yang aneh dengan poto di atas. Tetapi jika Anda berkunjung ke kampung 5 tahun yang silam ke bawah, Anda akan diturunkan perusahaan angkutan bus di ibukota kecamatan Garoga. Kemudian jika Anda beruntung dan mempunyai cukup uang, Anda bisa naik "RBT" (gojek offline zaman old) hingga ke kampung Parsosoran.
Setelah tiba di kampung Parsosoran mungkin Anda akan merasa bahwa jalannya sudah buntu dan tidak ada lagi kampung lain di kejauhan sana. Tetapi Anda salah. Coba perhatikan disebalah kanan dan kemudian berjalan lurus tanpa berbelok ke kanan. Disana ada "jalan tikus" yang ditumbuhi semak-semak rindang, itulah jalan menuju kampungku.
Tidak ada tranportasi lain yang dapat menghantar Anda kesana kecuali jalan kaki sejauh 10 km lebih. Transportasi lain yang mungkin ada adalah "kuda beban" pengangkut barang tetapi jangan pernah berharap untuk menungganginya karena hal tersebut tidak lazim.Â
Anda akan "menyuruk" semak-semak kemudian mendaki gunung lalu menuruninya dan jika Anda cukup lihai dan pernah bergabung dalam "mapala", mungkin Anda bisa menempuhnya sekitar 2,5 jam. Tetapi jika Anda penduduk kota yang tidak pernah berjalan kaki jauh, ceritanya bisa menjadi lain.
Tetapi semua jerih payah Anda akan terbayar setelah Anda tiba di "hoting". Dari sana Anda akan melihat pemandangan yang sangat indah seperti poto di atas. Kampung yang indah dengan hamparan sawah dan hutan, dua buah sungai yang cukup deras dan "Gunung Siholip" yang berdiri gagah di sebelah timur yang "menciptakan" gelap gulita di malam hari.
Itulah surga tersembunyi yang sekarang telah dibuat menjadi terang-benderang di masa pemerintahan Jokowi. Seperti mimpi tetapi ini benar-benar nyata. PLN telah menerangi kampung kami sejak 23 Desember 2017. Sesuatu hal yang mustahil tetapi menjadi kenyataan.
Tidak hanya itu, pembangunan jalan dimasa pemerintahan Bupati Tapanuli Utara: Toluto sejak tahun 2012 yang kemudian dilanjutkan oleh Bupati Nikson Nababan membuat kampung kami merdeka dari tangan "kolotnial" dan "isolasial" dan sekarang kampung kami telah dapat dijangkau dengan kendaraan roda 2 dan roda 4.
Ketika satu buah alat berat escavator dimasukkan untuk mebuka jalan kesana ternyata hampir tidak ada kesulitan berarti yang ditemukan di lapangan. Terlalu mudah bagi "robot" tersebut untuk melahap, membongkar, menimbun lembah dan meratakan gunung yang mengurung kampungku selama ini.
Pertanyaannya adalah, kemana pemerintahan sebelumnya yang membiarkan kampungku "terkurung" lebih dari setengah abad?
Saya tidak tau kenapa tetapi Jokowi mengetahui jawabannya dengan kerja, kerja, kerja....
Terimaksi pak Jokowi berkat usaha dan kerja keras bapak, kampung kami sudah merdeka dan terang-benderang, tidak hanya disiang hari tetapi dimalam hari juga. Salam 2 periode.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H