ANTARA AYAM DAN AYAH (Sepenggal memori untuk ayah yang telah pergi untuk selamanya menghadap Sang Pencipta)
Suatu ketika di kampung kami Hadataran-Hapesong, terjadi penyakit ayam, yang menyerang hampir semua ayam tanpa mengenal besar-kecil, tua-muda, jantan-betina. Demikian dahsyatnya penyakit tersebut, sehingga tak banyak ayam yang dapat bertahan hidup.Â
Bangkai ayam berserakan dimana-mana membuat penduduk kewalahan. Sebagian di kubur, sebagian lagi di buang ke sungai dan tak sedikit dibiarkan membusuk begitu saja sehingga menimbulkan bau yang sangat tidak sedap.
Ketika malam menjelang, inanguda saya yang juga bertetangga dengan kami membawa seekor ayam jago ke rumah dan berpesan: "Ayam jago ini sedang sakit tetapi ada kemungkinan dia bisa bertahan hidup," kata inanguda.
"Peliharalah. Kelak jika ia sembuh, ia akan kebal terhadap penyakit dan tidak akan sakit lagi walau diserang penyakit ayam yang paling berbahaya sekalipun. Berilah ia makan bodrex agar penyakitnya sembuh," katanya melanjutkan.
Dengan berat hati saya menerima ayam tersebut, memberinya minum bodrex lalu memasukkannya ke "sunut" dan berharap semoga besok pagi ayam tersebut cepat mati, karena pada dasarnya saya paling tidak suka memelihara ayam.
Tetapi harapan tak selalu sesuai kenyataan. Tak disangka dalam waktu yang tidak terlalu lama, ayam tersebut sembuh dan sehat walafiat, tak kurang sesuatu apapun.Â
Aku berbalik menjadi sayang, memberinya makan pagi dan sore, membelai bulunya dan tak jarang mengajaknya mengobrol layaknya ia manusia.Â
Ayam tersebutpun menyahut dengan kalimat yang kurang jelas tetapi saya cukup memahami maksudnya. Mungkin ia berkata begin: "Kita bersahabat. Kita jangan saling menghianati, apalagi memotong dagingku untuk dijadikan lauk? Itu perbuatan keji".
Hahaha... tapi itu mungkin cuma rekaan dalam pikiranku saja yang terlanjur sayang.
Suatu sore ketika saya pulang mandi dari sungai, saya kaget bukan kepalang. Ayam yang tadinya saya lepas bebas sekarang terkurung dalam "sunut". Saya bertanya: "Siapa yang mengurung ayam saya?"