Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Ayam dan Ayah

7 Desember 2017   23:05 Diperbarui: 19 Januari 2021   22:36 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: petualanganzara.com

ANTARA AYAM DAN AYAH (Sepenggal memori untuk ayah yang telah pergi untuk selamanya menghadap Sang Pencipta)

Suatu ketika di kampung kami Hadataran-Hapesong, terjadi penyakit ayam, yang menyerang hampir semua ayam tanpa mengenal besar-kecil, tua-muda, jantan-betina. Demikian dahsyatnya penyakit tersebut, sehingga tak banyak ayam yang dapat bertahan hidup. 

Bangkai ayam berserakan dimana-mana membuat penduduk kewalahan. Sebagian di kubur, sebagian lagi di buang ke sungai dan tak sedikit dibiarkan membusuk begitu saja sehingga menimbulkan bau yang sangat tidak sedap.

Ketika malam menjelang, inanguda saya yang juga bertetangga dengan kami membawa seekor ayam jago ke rumah dan berpesan: "Ayam jago ini sedang sakit tetapi ada kemungkinan dia bisa bertahan hidup," kata inanguda.

"Peliharalah. Kelak jika ia sembuh, ia akan kebal terhadap penyakit dan tidak akan sakit lagi walau diserang penyakit ayam yang paling berbahaya sekalipun. Berilah ia makan bodrex agar penyakitnya sembuh," katanya melanjutkan.

Dengan berat hati saya menerima ayam tersebut, memberinya minum bodrex lalu memasukkannya ke "sunut" dan berharap semoga besok pagi ayam tersebut cepat mati, karena pada dasarnya saya paling tidak suka memelihara ayam.

Tetapi harapan tak selalu sesuai kenyataan. Tak disangka dalam waktu yang tidak terlalu lama, ayam tersebut sembuh dan sehat walafiat, tak kurang sesuatu apapun. 

Aku berbalik menjadi sayang, memberinya makan pagi dan sore, membelai bulunya dan tak jarang mengajaknya mengobrol layaknya ia manusia. 

Ayam tersebutpun menyahut dengan kalimat yang kurang jelas tetapi saya cukup memahami maksudnya. Mungkin ia berkata begin: "Kita bersahabat. Kita jangan saling menghianati, apalagi memotong dagingku untuk dijadikan lauk? Itu perbuatan keji".

Hahaha... tapi itu mungkin cuma rekaan dalam pikiranku saja yang terlanjur sayang.

Suatu sore ketika saya pulang mandi dari sungai, saya kaget bukan kepalang. Ayam yang tadinya saya lepas bebas sekarang terkurung dalam "sunut". Saya bertanya: "Siapa yang mengurung ayam saya?"

Ibu saya menjelaskan: "Ayahmu demam, dia tak selera makan, dia tadi berkata supaya saya mengurungnya dan menanyakan apakah kamu mengizinkannya untuk disembelih"

Tanpa berpikir panjang saya marah: "Tidak boleh, lepaskan". 

Ayah saya yang mendengar dari tempat tidur, dengan tertatih bangkit dan berkata dengan senyum damai penuh kebapaan: " Kalau tidak boleh juga tidak apa-apa nak, lepaskanlah!" katanya dengan penuh rasa sayang.

Dan sayapun melepaskannya tanpa merasa bersalah sedikitpun, tanpa mempedulikan penyakit demam ayah saya.

Kisah ini terjadi ketika saya kira-kira kelas 4 SD, dan sekarang usia saya sudah menjelang 40 tahun. Sementara ayah saya telah tiada 8 tahun yang lalu di usianya yang ke-75. Ada penyesalan yang tidak dapat diungkapkan.

Hanya harapan saya, Ayah sudah tenang di surga dan dia tidak lagi menginginkan apapun dari saya selain saya dapat berguna bagi diri sendiri, keluarga dan bagi semua orang.

Selamat jalan ayah, sampai berjumpa di kekelan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun