Pagi itu, sekitar tahun 1992, di SMA Negeri 1 Bandung. Hari itu pelajaran dimulai dengan Pendidikan Moral Pancasila. Karena guru pengampunya suka memberikan tugas membuat esai, maka setiap orang harus memaparkannya. Temanya macam-macam dan tentunya yang aktual pada saat itu.
Udara Bandung yang sejuk, meskipun sinar matahari masuk lewat pintu kelas yang menghadap Timur, dan aroma wangi di pagi hari, kelas tetap saja tidak mampu membuat kelas bergairah. Anak-anak masih sibuk dengan cerita kemarin tentang perkelahian antar sekolah. Namun, ketika sang guru melangkah masuk kelas, anak-anak mulai bergeser dan duduk di bangku masing-masing. Saya masih sempat melemparkan lirikan ke Yunita, cewek kecengan berparas mirip Demi Moore, sebelum mendaratkan pantat di bangkuku.
Satu per satu anak-anak menyajikan paparannya. Semua sama saja, tidak ada yang memperhatikan. Tema-temanya, standar saja. Tidak ada yang membahas hal-hal yang sensitif. Karena masanya memang begitu. Sampai kemudian, salah satu teman bernama Parminto mendapatkan gilirannya. Dia berbicara tentang sesuatu yang menarik perhatianku, Brain Drain.
Selanjutnya dia bercerita. Indonesia mengalami pelarian orang-orang cerdas ke luar negeri. Orang-orang pintar dari Indonesia memilih untuk bekerja di luar negeri. Ada dari mereka yang belajar di luar negeri dan tidak kembali. Ada juga yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan-perusahaan raksasa global, setelah tamat belajar dari perguruan tinggi luar negeri.
Bacharuddin Jusuf Habibie, salah satunya. Pria cerdas kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan ini, yang sering disebut dengan BJ. Habibie, bekerja di perusahaan raksasa Airbus di Jerman, setamat dari studinya di negeranya Franz Beckenbauer itu. Pada tahun 1973, Presiden Suharto memintanya pulang untuk membenahi riset dan industri penerbangan, pertahanan, dan pertambangan. Habibie, sampai kini, dikenal sebagai salah satu manusia paling cerdas di Indonesia.
Melihat jejak Habibie, alasannya untuk tetap di Jerman setelah tamat belajar adalah lebih kepada ilmu yang didapatkannya tidak memiliki tempat di Indonesia. Keahliannya di bidang dirgantara tidak memiliki peluang di Indonesia. Tidak ada industrinya, dan juga ekosistem pendukungnya. Jika dia kembali ke Indonesia, setelah tamat, maka dia akan berakhir di belakang meja mengurusi hal-hal bersifat administratif.
Masih Mengalir Terus
Fenomena yang telah terjadi setidaknya 50-an tahun yang lalu, masih saja terjadi. Akhir-akhir ini, berita mengenai aliran para cerdas ke luar negeri ini kembali menggema di media-media kita. Berawal dari adanya isu dimana para penerima beasiswa dari pemerintah Indonesia tidak ingin kembali ke Indonesia setelah menamatkan pendidikannya. Banyak yang berusaha untuk tetap di luar negeri, dengan berbagai cara. Melanjutkan pendidikan menjadi salah satunya. Alasan lain, mereka ingin bekerja dulu di luar negeri sebelum kembali. Mereka ingin mempraktekkan ilmu mereka, sebelum pulang ke Indonesia.
Dari data Kementerian Luar Negeri, terdapat kurang lebih 2 juta warga negara Indonesia tinggal di luar negeri. Sementara itu, jumlah diaspora, diperkirakan mencapai 8 -- 10 juta orang. Dari total penduduk Indonesia, jumlah ini termasuk kecil. Tidak sampai 5% dari total jumlah penduduk saat ini, yang berjumlah sekitar 280 juta, sesuai sensus pada tahun 2024 Badan Pusat Statistik Indonesia. Meskipun bisa dipastikan, tidak semuanya bagian dari brain drain ini.
Paling mutakhir, pernyataan dari Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brojonegoro, seperti mendukung pelarian orang-orang dengan otak encer ini. Seperti dikutip dari kompas (dot) com (05/11/2024) lalu, Menteri yang merupakan dosen di ITB, ini menyatakan lulusan penerima beasiswa LPDP tidak harus pulang ke Indonesia. Mereka dapat mengembangkan karirnya dimana saja. Pernyataan ini tentunya akan memberikan semangat bagi para cerdas bangsa untuk tetap dan mencari pekerjaan di luar negeri.