Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habis Generasi Roti Lapis Terbitlah Generasi Kangguru

12 Desember 2024   20:06 Diperbarui: 12 Desember 2024   20:06 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi muda menikmati waktu luangnya. Generasi produktif ini menanggung beban lebih besar  (Sumber: Freepik)

Sebutlah namanya Brady. Dia seorang pekerja di Jakarta dengan gaji sekitar Rp. 8 juta per bulan. Sebagai staf pemula (entry level), sudah berkeluarga, dan memiliki satu anak kecil, gaji sebesar itu sebenarnya sudah mencukupi untuk menopang kehidupannya. Kebutuhan sehari-hari, perawatan, dan bahkan biaya kontrakan senilai Rp. 2 juta per bulan masih dapat ditanggungnya.

Namun, faktanya, lelaki itu merasa pusing tujuh keliling untuk mengatur keuangannya. Apa pasal? Kok bisa? Karena, lelaki yang bekerja di pusat kota dan tinggal di pinggirannya, ini masih harus menanggung orang tua dan adiknya di kampung. Lelaki sulung di keluarganya  itu menjadi tulang punggung,  tidak hanya di keluarga intinya, namun juga di keluarga besarnya. Dia merasa terjepit. Kepala serasa di kaki, dan kaki serasa di kepala. Seperti syair lagu Peterpan, Di Atas Normal.

Kondisi seperti di atas sepertinya jamak akhir-akhir ini. Seseorang yang bekerja untuk menanggung keluarga inti dan keluarga besarnya, dikategorikan sebagai generasi roti lapis (sandwich generation). Mereka seperti terjepit di antara dua lapisan, atas dan bawah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2020), 71 juta penduduk Indonesia masuk kategori ini. Sementara itu, sesuai survei DataIndonesia.id (2023), 46,3%  generasi Z Indonesia merupakan generasi roti lapis.

Generasi yang paling banyak masuk kategori ini, yakni generasi Y, yang berusia 28 -- 43 tahun pada 2024 ini. Kondisi ini mengakibatkan tekanan yang kuat bagi kelompok ini dan mempersempit peluang untuk bisa menaikkan derajat (vertical mobility). Pada ranah yang lebih luas, situasi ini berpeluang menghambat kemajuan negari.

Faktor-faktor penyebabnya tentunya banyak. Salah satunya adalah kemiskinan, yang diakibatkan oleh berbagai hal, termasuk rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya akses kepada sumber-sumber ekonomi, tidak adanya sistem ekonomi yang mendukung penciptaan pendapatan tinggi dan bisa ditabung.

Fakta-fakta di atas tentunya sudah cukup mengkhawatirkan mereka yang menjadi bagian dari generasi roti lapis, dan pemerintah. Jika pemerintah serius berfikir dan bekerja untuk negeri ini, tentunya. Seperti disampaikan di atas, potensi yang tipis untuk menciptakan kegiatan ekonomi berpeluang untuk membunuh tumbuh kembang sebuah negeri.

 

Ras Generasi Baru

Rupanya, ketika seluruh negeri sibuk berbicara tentang generasi roti lapis ini, diam-diam muncul bibit generasi baru, yang juga cukup mengkhawatirkan. Ada kelompok generasi yang ternyata hidupnya harus ditopang oleh orang tuanya dan bahkan sampai kakek-neneknya. Keluarga besarnya masih harus berfikir keras dan ikut menanggung kehidupan anak-anak, yang seharusnya sudah mandiri. Generasi ini disebut generasi kangguru. Seperti layaknya anak kangguru yang selalu dibawa oleh induknya di dalam kantong. Tidak seperti hewan lainnya, dimana begitu anaknya lahir, langsung mandiri. Generasi kangguru ini dapat diperkirakan menjadi tanggungan generasi roti lapis.

Fenomena generasi kangguru ini jamak ditemui sekarang.  Di Korea Selatan 66% warga yang berusia 25 -- 34 tahun, masih ditanggung oleh orang tua dan bahkan kakek neneknya. Mereka tidak  bekerja atau pun bekerja tetapi dengan gaji yang tidak mencukupi. Pekerjaan semakin sulit didapatkan, gajinya pun tidak sebanding dengan biaya hidup. Banyak dari generasi ini yang kemudian mengundurkan diri dari pekerjaannya, dan memilih untuk tinggal di rumah saja. Fakta ini sangat membingungkan, sekaligus mengkhawatirkan. Ternyata fenomena ini pun sudah terjadi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun