Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencata, terdapat sekitar 9,9 juta penduduk generasi muda usia 15 - 24 tahun di Indonesia pada situasi tidak bekerja, tidak sedang sekolah dan tidak dalam masa training (not in employment, education, and training - NEET). Angka ini adalah 22,5% dari total penduduk usia muda 15 -- 24 tahun di Indonesia. Pastinya, kehidupan mereka pastinya ditanggung oleh orang tuanya, dan mungkin keluarga besarnya. Mereka adalah generasi kangguru Indonesia.
Hal ini sangat mungkin terjadi dilihat dari setidaknya 2 (dua) aspek. Pertama, keluarga yang semakin kecil. Ini artinya keluarga sekarang memiliki anak sedikit, paling banyak 2 (dua) anak, dan bahkan tidak sedikit yang hanya menjadi anak tunggal. Sementara, orang tua masih aktif, dan kemungkinan bekerja dua-duanya. Akumulasi kekayaan orang tua dirasa cukup untuk menanggung kehidupannya. Meskipun, perlu kemampuan untuk memastikan keberlanjutan kekayaan ini.
Kedua, gaya hidup yang sekarang sangat mementingkan kesehatan mental (mental health) dan pemahaman akan jargon bekerja dan hidup kudu seimbang (work-life balance). Gaya hidup yang sangat diagung-agungkan generasi milenial dan generasi Z. Sayangnya, banyak yang bisa menceritakan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan, maka semakin tidak ada waktu untuk memikirkan kesehatan mental, bahkan waktu untuk berlibur (healing). Banyak yang juga berpendapat work-life balance itu adalah sebuah ilusi.
Namun, generasi milenial dan generasi Z terlanjur memiliki pemikiran dan pemahaman keseimbangan hidup dan bekerja adalah keharusan. Kehidupan profesional jangan sampai mengganggu kehidupan personal. Namun, tidak begitu ceritanya, Fergusso!
Â
Dampak Bagi Negeri
Kombinasi generasi roti lapis dan generasi kangguru menjadi sebuah ancaman bagi berjalannya kehidupan negeri. Negaeri membutuhkan orang-orang produktif, yang siap nafas dan uratnya dipakai untuk menggerakan mesin-mesin perekonomian negari, untuk memenuhi konsumsi masyarakat yang semakin banyak setiap harinya.
Kurangnya tenaga kerja produktif ini harus menjadi perhatian pemeritah. Jika mesin ekonomi tidak digerakkan oleh otot-otot yang bekerja keras, maka negara tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Jika penduduk tidak produktif lebih banyak dari penduduk produkifnya, ini adalah sebuah alarm bahaya. Â Di Jepang saat ini, fenomena ini sudah menjadi nyata. Satu tenaga produktif, menanggung 4-5 orang kelompok usia non-produktif. Penduduk produktifnya sudah sangat kelelahan (exhausted).
Apa dampaknya? Negara menjadi miskin dan pemerintahannya bisa terancam. Kecuali, pada suatu waktu nanti kegiatan ekonomi digerakkan oleh mesin-mesin yang bisa bekerja secara mandiri, dengan dukungan kecerdasan buatan (artificial inteligence). Manusia hanya menikmati kehidupan dengan santai, karena yang bekerja adalah mesin-mesin yang tidak kenal lelah, dan bisa bekerja 24 jam tanpa henti. Mesin-mesin yang dapat memproduksi seluruh kebutuhan fisikal penduduk. Namun, sampai kini, Â ini masih sebuah utopia.
Sampai itu terjadi, maka generasi kangguru ini harus diberdayakan. Setidaknya, nanti tidak menciptakan generasi roti lapis ke depannya. Tersebab, generasi ini, jika memiliki keturunan, akan bergantung kepada anak-anaknya. Untuk Indonesia, dua generasi ini sudah ada. Kombinasi yang bisa menghancurkan mimpi negeri menjadi negeri kaya di 2045, dengan generasi emasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H