Sebutlah namanya Brady. Dia seorang pekerja di Jakarta dengan gaji sekitar Rp. 8 juta per bulan. Sebagai staf pemula (entry level), sudah berkeluarga, dan memiliki satu anak kecil, gaji sebesar itu sebenarnya sudah mencukupi untuk menopang kehidupannya. Kebutuhan sehari-hari, perawatan, dan bahkan biaya kontrakan senilai Rp. 2 juta per bulan masih dapat ditanggungnya.
Namun, faktanya, lelaki itu merasa pusing tujuh keliling untuk mengatur keuangannya. Apa pasal? Kok bisa? Karena, lelaki yang bekerja di pusat kota dan tinggal di pinggirannya, ini masih harus menanggung orang tua dan adiknya di kampung. Lelaki sulung di keluarganya  itu menjadi tulang punggung,  tidak hanya di keluarga intinya, namun juga di keluarga besarnya. Dia merasa terjepit. Kepala serasa di kaki, dan kaki serasa di kepala. Seperti syair lagu Peterpan, Di Atas Normal.
Kondisi seperti di atas sepertinya jamak akhir-akhir ini. Seseorang yang bekerja untuk menanggung keluarga inti dan keluarga besarnya, dikategorikan sebagai generasi roti lapis (sandwich generation). Mereka seperti terjepit di antara dua lapisan, atas dan bawah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2020), 71 juta penduduk Indonesia masuk kategori ini. Sementara itu, sesuai survei DataIndonesia.id (2023), 46,3% Â generasi Z Indonesia merupakan generasi roti lapis.
Generasi yang paling banyak masuk kategori ini, yakni generasi Y, yang berusia 28 -- 43 tahun pada 2024 ini. Kondisi ini mengakibatkan tekanan yang kuat bagi kelompok ini dan mempersempit peluang untuk bisa menaikkan derajat (vertical mobility). Pada ranah yang lebih luas, situasi ini berpeluang menghambat kemajuan negari.
Faktor-faktor penyebabnya tentunya banyak. Salah satunya adalah kemiskinan, yang diakibatkan oleh berbagai hal, termasuk rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya akses kepada sumber-sumber ekonomi, tidak adanya sistem ekonomi yang mendukung penciptaan pendapatan tinggi dan bisa ditabung.
Fakta-fakta di atas tentunya sudah cukup mengkhawatirkan mereka yang menjadi bagian dari generasi roti lapis, dan pemerintah. Jika pemerintah serius berfikir dan bekerja untuk negeri ini, tentunya. Seperti disampaikan di atas, potensi yang tipis untuk menciptakan kegiatan ekonomi berpeluang untuk membunuh tumbuh kembang sebuah negeri.
Â
Ras Generasi Baru
Rupanya, ketika seluruh negeri sibuk berbicara tentang generasi roti lapis ini, diam-diam muncul bibit generasi baru, yang juga cukup mengkhawatirkan. Ada kelompok generasi yang ternyata hidupnya harus ditopang oleh orang tuanya dan bahkan sampai kakek-neneknya. Keluarga besarnya masih harus berfikir keras dan ikut menanggung kehidupan anak-anak, yang seharusnya sudah mandiri. Generasi ini disebut generasi kangguru. Seperti layaknya anak kangguru yang selalu dibawa oleh induknya di dalam kantong. Tidak seperti hewan lainnya, dimana begitu anaknya lahir, langsung mandiri. Generasi kangguru ini dapat diperkirakan menjadi tanggungan generasi roti lapis.
Fenomena generasi kangguru ini jamak ditemui sekarang.  Di Korea Selatan 66% warga yang berusia 25 -- 34 tahun, masih ditanggung oleh orang tua dan bahkan kakek neneknya. Mereka tidak  bekerja atau pun bekerja tetapi dengan gaji yang tidak mencukupi. Pekerjaan semakin sulit didapatkan, gajinya pun tidak sebanding dengan biaya hidup. Banyak dari generasi ini yang kemudian mengundurkan diri dari pekerjaannya, dan memilih untuk tinggal di rumah saja. Fakta ini sangat membingungkan, sekaligus mengkhawatirkan. Ternyata fenomena ini pun sudah terjadi di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencata, terdapat sekitar 9,9 juta penduduk generasi muda usia 15 - 24 tahun di Indonesia pada situasi tidak bekerja, tidak sedang sekolah dan tidak dalam masa training (not in employment, education, and training - NEET). Angka ini adalah 22,5% dari total penduduk usia muda 15 -- 24 tahun di Indonesia. Pastinya, kehidupan mereka pastinya ditanggung oleh orang tuanya, dan mungkin keluarga besarnya. Mereka adalah generasi kangguru Indonesia.
Hal ini sangat mungkin terjadi dilihat dari setidaknya 2 (dua) aspek. Pertama, keluarga yang semakin kecil. Ini artinya keluarga sekarang memiliki anak sedikit, paling banyak 2 (dua) anak, dan bahkan tidak sedikit yang hanya menjadi anak tunggal. Sementara, orang tua masih aktif, dan kemungkinan bekerja dua-duanya. Akumulasi kekayaan orang tua dirasa cukup untuk menanggung kehidupannya. Meskipun, perlu kemampuan untuk memastikan keberlanjutan kekayaan ini.
Kedua, gaya hidup yang sekarang sangat mementingkan kesehatan mental (mental health) dan pemahaman akan jargon bekerja dan hidup kudu seimbang (work-life balance). Gaya hidup yang sangat diagung-agungkan generasi milenial dan generasi Z. Sayangnya, banyak yang bisa menceritakan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan, maka semakin tidak ada waktu untuk memikirkan kesehatan mental, bahkan waktu untuk berlibur (healing). Banyak yang juga berpendapat work-life balance itu adalah sebuah ilusi.
Namun, generasi milenial dan generasi Z terlanjur memiliki pemikiran dan pemahaman keseimbangan hidup dan bekerja adalah keharusan. Kehidupan profesional jangan sampai mengganggu kehidupan personal. Namun, tidak begitu ceritanya, Fergusso!
Â
Dampak Bagi Negeri
Kombinasi generasi roti lapis dan generasi kangguru menjadi sebuah ancaman bagi berjalannya kehidupan negeri. Negaeri membutuhkan orang-orang produktif, yang siap nafas dan uratnya dipakai untuk menggerakan mesin-mesin perekonomian negari, untuk memenuhi konsumsi masyarakat yang semakin banyak setiap harinya.
Kurangnya tenaga kerja produktif ini harus menjadi perhatian pemeritah. Jika mesin ekonomi tidak digerakkan oleh otot-otot yang bekerja keras, maka negara tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Jika penduduk tidak produktif lebih banyak dari penduduk produkifnya, ini adalah sebuah alarm bahaya. Â Di Jepang saat ini, fenomena ini sudah menjadi nyata. Satu tenaga produktif, menanggung 4-5 orang kelompok usia non-produktif. Penduduk produktifnya sudah sangat kelelahan (exhausted).
Apa dampaknya? Negara menjadi miskin dan pemerintahannya bisa terancam. Kecuali, pada suatu waktu nanti kegiatan ekonomi digerakkan oleh mesin-mesin yang bisa bekerja secara mandiri, dengan dukungan kecerdasan buatan (artificial inteligence). Manusia hanya menikmati kehidupan dengan santai, karena yang bekerja adalah mesin-mesin yang tidak kenal lelah, dan bisa bekerja 24 jam tanpa henti. Mesin-mesin yang dapat memproduksi seluruh kebutuhan fisikal penduduk. Namun, sampai kini, Â ini masih sebuah utopia.
Sampai itu terjadi, maka generasi kangguru ini harus diberdayakan. Setidaknya, nanti tidak menciptakan generasi roti lapis ke depannya. Tersebab, generasi ini, jika memiliki keturunan, akan bergantung kepada anak-anaknya. Untuk Indonesia, dua generasi ini sudah ada. Kombinasi yang bisa menghancurkan mimpi negeri menjadi negeri kaya di 2045, dengan generasi emasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H