Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menelisik Celoteh Pigai

26 November 2024   21:05 Diperbarui: 26 November 2024   21:11 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Natalius Pigai, Menteri HAM, meminta kenaikan anggaran kementerian HAM hingga Rp. 20 triliun (Sumber: kompas.com) 

Dalam konteks perencanaan pembangunan, Indonesia menerapkan prinsip money follows program. Maknanya, anggaran akan mengikuti program-program yang direncanakan oleh kementerian dan lembaga. Program dibuat, dan uangnya disediakan. Ini hanyalah prinsip dasar, dan tidak pernah bisa dilaksanakan.

Faktanya, yang terjadi adalah program harus mengikuti anggaran yang ada. Anggaran yang ada di APBN, sifatnya indikatif. Pagu yang dicantumkan di APBN dan didukung dengan Undang-Undang APBN, bukanlah jumlah yang sudah tersedia. Istilahnya adalah pagu indikatif, yang artinya hanya sebagai acuan. Anggaran itu belum tentu dipenuhi sepenuhnya. Uangnya pun belum tersedia, tergantung kepada kemampuan kementerian keuangan untuk mengumpulkannya dari berbagai sumber pendapatan negara yang sah.

Selain itu, dari pengalaman penulis mengikuti proses perancanaan anggaran di salah satu lembaga, ada kemungkinan kementerian dan lembaga membuat anggaran yang sangat besar (budget maximizing). Hal ini karena dipicu oleh, dalam prosesnya, akan ada penyesuaian yang dilakukan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasioanl dan  Menteri Keuangan di pertemuan perencanaan yang dikenal sebagai Tri-lateral meeting. Pertemuan tiga kementerian -- kementerian/lembaga teknis, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Keuangan. Pertemuan ini bisa dilaksanakan 3-4, hingga pengesahan APBN, biasanya di November setiap tahunnya.

Dapat dipastikan, program yang diajukan kementerian/lembaga akan dikoreksi. Belum selesai, anggaran yang sudah disetujui oleh Kemen PPN dan Kemenkeu, akan mendapat  masukan lagi dari DPR. Sehingga, kecenderungannya, kementerian/lembaga akan membuat anggaran jauh lebih besar, untuk menargetkan anggaran yang dipersepsikan akan dibutuhkan.

Dalam perjalanannya, ada kemungkinan anggaran dipotong. Hal ini terjadi, jika target pendapata tidak tercapai, Kementerian Keuangan akan meminta kementerian dan lembaga memotong anggarannya. Ini bukan perkara mudah. Misalkan anggaran diminta dipotong 5%. Ini tidak semudah mengurangkan 5% dari total anggaran secara agregat. Di tingkat kementerian/lembaga, seperlu melihat secara detail anggaran-anggaran yang dapat dikurangi. Pastinya, karena ada komitmen-komitmen yang sudah direncanakan dan dilaksanakan dengan masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya. Memelototi satu persatu anggaran yang bisa dipotong dari ribuan mata anggaran di kementerian dan lembaga membutuhkan waktu. Terlebih lagi, untuk memastikan pemotongan tersebut totalnya 5%. Masih ada kemungkinan, pemotongan anggaran tidak terjadi satu kali dalam tahun berjalan. Jika terjadi lebih dari satu kali, makin peninglah para menteri dan pemimpin lembaga tersebut.

 

Perencanaan Praktis

Bisa jadi, Menteri Pigai sangat mengerti dengan proses-proses perencanaan kerja dan keuangan yang terjadi dan kemungkinan pengurangan anggaran tahun berjalan. Dengan demikian, beliau ingin memastikan dulu nilai anggaran yang memungkinkan dapat dialokasikan. Jika hanya Rp. 64 milyar, rencana kerja yang dibuat mungkin hanya pertemuan-pertemuan yang tidak banyak. Menterjemahkan misi di atas, memerlukan anggaran yang besar untuk memastikan terpenuhinya hak azasi manusia Indonesia yang berkelanjutan. Dengan jumlah penduduk hampir mencapai 280 juta jiwa dan tersebar di kurang lebih 6.600 pulau, pastinya bukan pekerjaan kecil.

Menjadi sah kemudian, dengan gambaran proses penganggaran yang dijabarkan di atas, dan potensi tidak terpenuhinya anggaran indikatif, serta besarnya tanggung-jawab yang diberikan, ketika Menteri Pigai enggan menjawab kala ditanyakan apa rencananya untuk 100 hari pertama. Apa yang bisa dilakukan dengan anggaran Rp. 64 milyar, yang masih bersifat indikatif? Tidak banyak, jika tidak hendak mengatakan tidak ada.

Pada akhirnya, Menteri Pigai hanya bisa menelan kenyataan, bahwa anggarannya sangat kecil dan tidak sesuai dengan misi yang diemban. Sangat sulit membuat rencana kerja, yang hanya cukup untuk belanja pegawai saja. Prinsipnya, menjadi perencanaan praktis saja. Tidak ada rencana kerja yang muluk-muluk, hanya membiayai belanja pegawai.

Sangat disayangkan, namun bisa jadi itulah fakta yang melatarbelakangi celoteh Menteri Pigai untuk menambah anggaran kementerian yang dipimpinnya menjadi Rp. 20 triliun. Mungkin, dengan kondisi itu, Menteri Pigai belajar dari Jensen Huang, CEO Nvidia. Jensen mengatakan tidak ada perencanaan jangka pendek dan jangka panjang di Nvidia. Mengalir saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun