Mas Menteri Pendidikan yang dikenal dengan motonya Belajar Merdeka menyampaikan bahwa masa belajar dari rumah kemungkinan akan diperpanjang hingga Desember 2020. Dalam laporan Penilaian Kebutuhan Cepat (Rapid Need Assessment) terkait Covid 19, Save the Children, sebuah organisasi nirlaba berfokus pada anak dan telah berusia 100 tahun serta berada di Indonesia sejak 1976, Â menggambarkan bahwa saat ini terdapat 68 juta anak didik di bawah Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama yang belajar di rumah. Suatu jumlah yang sangat besar.
Belajar dari rumah yang awalnya hanya untuk masa dua minggu terpaksa harus diperpanjang karena pandemi Korona ini belum juga bisa dijinakkan. Angka-angka positif terinfeksi yang muncul setiap hari dari laporan harian Gugus Tugas Percepatan Penangangan Covid 19 belum menunjukkan penurunan yang berarti. Grafiknya belum melandai. Itu istilah yang sering dipakai. Akhirnya belum jelas kapan. Meskipun banyak prediksi yang dimunculkan jika akhir pandemi ini di Indonesia berada jauh lebih awal dari Desember 2020, yakni Juni atau Juli 2020.
Masa ini akan memperpanjang jarak dan lama perpisahan antara guru dan anak didik. Guru dan anak didik tidak lagi dapat berinteraksi langsung. Suara-suara anak-anak akan dirindukan guru. Gurauan teman-teman akan dirindukan anak-anak. Kantin sekolah yang menyimpan banyak kenangan akan lebih lama berdebu. Coretan-coretan kasmaran di sudut-sudut sekolah menunggu balasan.
Di luar itu, jarak antara guru dan anak didik berkonsekuensi pada hilangnya peran aktif guru yang selama ini menjadi hal penting dari fungsi guru itu sendiri. Guru, sering diartikan digugu dan ditiru. Digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan oleh guru senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh murid. Ditiru, artinya seorang guru harus menjadi teladan bagi muridnya. Peran guru tidak hanya mengajar, teapi juga mendidik.
Guru menjadi semacam pembentuk karakter anak didik. Anak didik menghabiskan waktu yang signifikan dengan guru di lingkungan sekolah. Peran guru sangat penting. Karena peran guru sangat penting, pemerintah orde baru bahkan memberikan gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi mereka. Walaupun, ada juga yang mengatakan ini bernuansa politik dengan tujuan agar guru tidak berontak ketika dibayar murah.
Di masyarakat sendiri, peran guru sangatlah penting. Ada jaman dimana guru menempati posisi terpandang di masyarakat selain dokter dan pengacara. Terlebih lagi, untuk menjaga marwah guru, masyarakat menciptakan peribahasa untuk guru agar selalu berhati-hati dalam bertindak dan berkata-kata. Peribahasa itu berbunyi guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Maknanya murid biasanya bulat-bulat mencontoh gurunya. Dengan demikian, guru sebaiknya jangan memberikan contoh yang buruk.
Kegiatan menggugu dan meniru guru hanya bisa dilakukan jika ada pertemuan yang intens seperti yang selama ini dilakukan di sekolah sebelum terjadinya krisis pandemi ini. Guru dilihat, didengarkan, diperhatikan dan dicermati oleh murid. Setiap tingkah laku, polah, suara dan tindak-tanduk menjadi keseharian anak-anak murid. Dalam konteks ini, semuanya harus pada karakter yang layak ditiru.
Bermain dengan murid, berdialog dengan anak-anak didik, meneriaki jika murid bertindak kelewatan dan memberikan sanksi yang membangun secara langsung dan tentunya dibungkus dalam kasih sayang, hanya dapat terjadi bila ada pertemuan langsung dan tidak berjarak.
Tetapi, semuanya berubah. Keriuhan yang ditimbulkan suara anak-anak yang berlarian di halaman sekolah hilang. Denting bel sekolah untuk mengingatkan anak didik dan guru untuk masuk kelas juga tidak lagi ada. Bau keringat anak-anak yang berlarian di tengah hari yang panas tidak lagi tercium. Teriakan-teriakan murid perempuan ketika diusik teman laki-lakinya tidak lagi terdengar. Semuanya hilang dan entah kapan akan kembali.
Pandemi Covid 19 yang diakibatkan virus korona baru telah mengakibatkan perubahan itu. Anak-anak dan gurunya harus saling berjauhan. Anak-anak dan guru harus tinggal di rumah masing-masing. Tidak bisa lagi bersitatap. Tidak bisa lagi menyapa setiap saat. Sekarang semuanya harus dilakukan dengan dukungan teknologi. Pertemuan-pertemuan dan kelas-kelas semuanya menjadi maya.
Tampang-tampang buram muncul di layar komputer. Suara guru yang mengajar kalah dengan suara riuh anak-anak lain yang belum terbiasa dengan belajar jarak jauh menggunakan perangkat seminar berbasis peramban. Guru menjelaskan tanpa anak bisa menanyakan secara langsung. Gangguan-gangguan dari lingkungan sendiri bermunculan.Â
Cara guru yang juga tidak terbiasa mengadakan pembelajaran jarak jauh ini menghabisi semangat murid. Tugas-tugas yang diberikan tanpa penjelasan yang memadai menjadi musuh. Tenggat yang diberikan seperti tenggat wartawan dalam mengejar berita utama. Semua serba tergesa. Semua serba dipaksakan. Semuanya tiba-tiba menjadi tidak ramah lagi.
Guru dalam kegagapannya berusaha menggapai muridnya. Tidak bisa karena tidak biasa. Ingin menjelaskan lebih lanjut ternyata ada tuntutan biaya yang tidak murah. Jaringan yang kadang-kadang tidak ramah menghambat proses mengajar. Guru menjadi dingin. Guru serasa menjadi hanya pemberi tugas. Bagi orang tua pun, guru menjadi tidak seperti kawan lagi.
Orang tua mengambil alih peran guru. Orang tua yang terdampak pandemi dan harus tinggal di rumah harus menerima peran menjadi guru. Orang tua menggantikan peran guru dalam mengajar, memastikan anak belajar, memastikan tugas diserahkan tepat waktu, membuat semuanya harus sesuai permintaan guru. Orang tua memandang guru tidak lagi sebagai guru, karena beban tambahan yang dialihkan ini. Peran guru tergantikan.
Proses belajar mengajar jarak jauh ini memang menjadi pilihan yang tersedia saat ini. Virus korona yang sangat mudah menular memaksanya. Tetapi, proses pembelajaran seperti ini menghilangkan hakikat dari seorang guru. Jarak fisik yang ada antara guru dan murid menghilangkan prinsip digugu dan ditiru itu.
Jika murid hanya bertemu guru dalam waktu dua jam dalam satu sesi pembelajaran, maka nilai-nilai seperti apa yang akan bisa digugu dan ditiru. Hanya kelihatan wajah guru dan suaranya yang bisa jadi kadang terputus-putus. Tidak ada proses mendisiplinkan. Tidak ada proses memberikan contoh baik dalam memperlakukan teman. Tidak ada lagi perkataan-perkataan yang menenangkan secara langsung. Guru hanya sebentuk layar komputer, yang dengan gampang dapat ditinggalkan, tanpa guru dapat mencegah.
Akhirnya memang harus diakui jika pandemi ini mengubah sesuatu secara radikal khususnya proses belajar mengajar dan mendidik di sekolah. Banyak yang membanggakan jika ini bisa jadi sebuah kemajuan jaman. Tetapi, mengajar tidak sama dengan mendidik. Guru itu adalah pendidik, bukan hanya pengajar.Â
Dalam konteks digugu dan ditiru itu, guru adalah pendidik yang menjadikan anak memiliki karakter yang baik lewat contoh-contoh baik yang ditunjukkan oleh guru lewat perilakunya sehari-hari dan disaksikan anak-anak murid.
Pandemi ini telah mengancam hakikat guru itu sendiri. Guru tidak akan menjadi digugu dan ditiru lagi jika proses pembelajaran jarak jauh ini terus berlangsung. Proses mendidik tidak akan terjadi lagi. Tidak ada lagi empati, simpati dan kasih sayang yang ditunjukkan ketika berhadapan langsung dengan anak-anak didik itu sendiri.
Harapannya, segeralah pandemi ini berlalu. Biar guru bisa lagi digugu dan ditiru. Bukan hanya mengajar secara dingin lewat layar komputer yang tidak berperasaan dan buram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H