Dalam suatu kesempatan, seorang lelaki sedang merayu sang perempuannya. Meluncurlah kata-kata manis. Lebih manis dari susu kental manis. Ngomong-ngomong, susu kental manis sebenarnya bukan susu.
Seluruh kata manis dan indah dihamburkan untuk mendapatkan perhatian, cinta dan tentunya menjadikan sang perempuan itu menjadi kekasihnya. Karena keindahan yang luar biasa dan cara menyampaikannya rayuan manis pun masuk ke sanubari sang wanita. Padahal banyak yang tidak masuk akal dari rayuan itu.
Dengan tangkas dia bilang, laut kan kuseberangi, gunung kan kudaki dan badai kan kutempuh. Ternyata di lain kesempatan, ketika gerimis mengguyur kota, alasan berhamburan untuk tidak datang. Ketika ongkos naik angkot tidak ada untuk wakuncar, kencan terpaksa dibatalkan. Jalan kaki tidak menjadi pilihan.Â
Padahal dulu badai akan ditempuh. Tapi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Cinta sudah berlabuh. Pasrah sudah diserahkan. Apa pun yang dikatakan sang lelaki, sudah menjadi tidak ada artinya.
Membaca kisah di atas, penulis selalu teringat dengan kata-kata banyak orang bijak. Jangan percaya mulut manis. Benar sekali, jangan percaya dengan rayuan maut yang seolah-olah semuanya indah. Semuanya seolah-olah mudah. Bahkan kadang rayuan itu bertolak belakang dengan logika paling dangkal sekalipun.
Rasa-rasanya, mencermati satu-satu kata di atas, ada perkara yang sama dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ini di negeri tercinta. Â
Sebuah peristiwa besar yang akan menentukan nasib bangsa ke depan. Tidak hanya lima tahun, tetapi banyak tahun-tahun ke depannya. Kejadian bernama pemilihan presiden.
Salah satu calon presiden, kebetulan sebagai penantang Jokowi sang Petahana, mirip-mirip dengan lelaki perayu seperti kisah itu. Dia menyemburkan rayuan-rayuan maut kepada para calon pemilih.Â
Rayuan-rayuan yang cenderung memabukkan. Bagaimana tidak memabukkan, jika hidup seakan-akan menjadi sangat mudah, indah, mudah, gampang, tidak ada masalah dan seperti hanya meraup kebahagiaan, kenikmatan dan kejayaan yang bertebaran di udara.
Kata-kata semua murah, semua mendapat pekerjaan, semua akan hidup sejahtera, tidak akan ada orang miskin, harga akan murah semua, orang asing akan diusir, menolak impor, memberi pensiun kepada koruptor, pengusaha akan mendapatkan keuntungan; menjadi barisan kalimat keseharian dalam masa kampanye ini. Â Bahkan narasinya kadang bertolak belakang ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang secara tradisional berseberangan.
Tak kala bertemu pengusaha, penantang Jokowi berjanji menaikkan keuntungan mereka. Pada tatap muka dengan buruh, dia berjanji menaikkan gaji buruh. Padahal menaikkan gaji buruh akan menyiksa pengusaha.Â
Mungkin dia akan melakukannya secara simbolis. Penantang yang sudah keempat kali ikut kontestasi pemilihan presiden ini juga bilang ingin menurunkan pajak, tetapi dari Pendapatan Tidak Kena Pajak, tetapi pada yang bersamaan ingin menaikkan gaji pejabat yang tentunya uangnya dari pajak.Â
Cita-citanya akan menaikan secara drastis Tax Ratio ke 19% dari 11% saat ini, padahal dampaknya akan terjadi economy shock. Pada satu saat dia bilang Pertamina akan bangkrut, sementara di saat lain dia bilang akan menurunkan harga BBM.
Semua narasinya serba indah ketika disampaikan. Soal mewujudkannya, itu rahasia. Mungkin dia akan meminta pendapat genderuwo sontoloyo di salah satu hotel terkenal di Jakarta.Â
Tidak ada yang masuk akal dalam prosesnya. Menaikkan gaji pejabat dan menurunkan pajak adalah dua hal yang bertentangan, karena pajak masih menjadi komponen utama penerimaan negara. Dia mau mengambil uang dari mana? Hutang? Bukankah itu yang akan dia akan hapuskan ke depan? "Tidak boleh ada hutang!", katanya.
Narasi sumbang dan tidak logis ini sambung menyambung juga dengan pendamping penantang. Suatu program yang sudah gagal dan hampir menemui ajalnya masih digadang-gadang.Â
Ngoceh-ngoceh tanpa prestasi dan kemampuan yang bisa dijual terpaksa dilaksanakan. Mengutip nasib orang kecil menjadi kebiasaan, menjual kemiskinan. Tidak ada program yang realistis jadinya, ketika semua yang mudah dan murah itu bercampur nantinya dalam pelaksanaannya.
Bahkan yang paling rusak logikanya adalah akan menghentikan program infrastruktur bila terpilih. Di banyak studi ketersediaan infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, bandara dan terminal, jembatan, bendungan dan supra struktrunya akan mendukung peningkatan aktivitas perekonomian yang ujungnya memberikan peningkatan pendapatan negara serta pada gilirannya mendorong kesejahteraan masyarakat.
Tampaknya, kita harus diingatkan bahwa mulut manis itu akan menimbulkan rasa pahit di depan nantinya. Terlebih lagi, ketika semua kemudahan yang disemburkannya tidak berkorelasi dengan prestasi dan juga kinerjanya.
Pada akhirnya, kita harus sadar, kata-kata manis yang disemburkan penantang itu akan mematikan kita. Tidak ada yang logis dari semua kombinasi kemudahan yang diuarkannya.Â
Mari percaya pada logika. Hidup itu tidak soal kemudahan melulu, apalagi soal semuanya adalah kemudahan. Logisnya hidup itu akan indah jika ada kesulitan dan juga kemudahan. Jika semuanya itu kemudahan, pasti itu sebuah utopia. Tidak mungkin! Itu jungkir balik cara berfikirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H