Koalisi penantang Jokowi tampaknya mulai oleng di tengah persaingan merebut kekuasaan untuk masa 5 tahun ke depan. Koalisi yang terbentuk dengan banyak friksi ini terdiri atas Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Dua partai baru mengekor yakni Partai Garuda dan Berkarya yang merupakan besutan keluarga Soeharto.
Perkawinan dengan berbagai partai pembentuk koalisi ini, Gerindra memiliki hubungan yang awet rejet. Dalam bahasa Sund artinya hubungan yang saling menyakiti tidak mau pisah. Hubungan yang dilalui dengan pertengkaran-yang mengakibatkan luka. Tetapi, janji perkawinan membuat hubungan tidak mau putus.
Keikutsertaan Demokrat dalam koalisi ini tentunya bukan dengan dukungan yang gratis. Demokrat mau masuk koalisi dengan mengusulkan Agus Harimukti Yudhoyono sebagai calon wakil presiden Prabowo. Dukungan koalisi dalam perspektif Prabowo tidak dukungan suara saja, tetapi juga logistik.
Justru disinilah persoalannya. Demokrat yang merasa memiliki posisi lebih tinggi dari partai koalisi lainnya merasa cukup dengan menyodorkan dukungan tanpa ada bantuan logistik. Prabowo merasa itu saja tidak cukup.
Lalu, meluncurlah Sandiaga Uno dengan gerbong logistiknya dan membabat semua calon wakil presiden yang diajukan partai koalisi lainnya. Demokrat pun mulai mengalami luka. Sehingga sempat ada istilah Demokrat bermain di dua kaki karena partai berlogo mercy ini mempersilahkan kadernya untuk memilih sesuai hati nuraninya. Kondisi ini pun ternyata menyimpan magma kemarahan di Prabowo.
Cerita berlanjut, masa kampanye pun mengalir dan berkelindan dengan berbagai isu-isu yang saling muncul dan tenggelam, saling menyerang antara tim petahan dan penantang. Riak-riak hubungan Gerindra dan Demokrat ternyata tetap terjadi menambah luka Demokrat.
Dalam satu kesempatan menjelang pidato kebangsaan Prabowo pertama di JCC, Senayan, Jakarta, pada 14 Januari 2019, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dianggap seperti angin lalu oleh Prabowo.
Tampak dalam gambar yang ditayangkan langsung televisi swasta tersebut, Prabowo meninggalkan sang Ketua Demokrat tanpa sepatah kata pun ketika bertemu seorang asing, teman Prabowo. Â Prabowo berlalu begitu saja tanpa diperkenalkan dan tanpa bicara ke ketua partai berwarna biru tersebut. Kekecewaan tampak di wajah sang Ketua Partai. Padahal, pidato kebangsaan tersebut ternyata atas usulan dan arahan beliau, sang mantan presiden 2004-2014.
Di lain kesempatan, masih di Januari 2019, Prabowo -- Sandi mengusik para partai koalisinya. Pasangan calon ini di bulan keempat masa kampanye gerah dengan sedikitnya atau tidak adanya dukungan logistik dari anggota partai koalisi. Sebagai partai yang dianggap kaya dan terbesar kedua, Demokrat merasa ini merupakan sindiran bagi partai mereka.
Ini menambah kekesalan dari ketua partai yang terkenal dengan kesensitifannya. Tidak lama kemudian, sindiran ini berbalas ucapan dari Agus Harimurti bahwa tidak ada kewajiban bagi anggota partai koalisi untuk mendukung logistik. Kondisi ini makin memperparah relasi kedua partai yang berada di urutan ketiga dan keempat di pemilu 2014.
Di samping perang antar ketua, masih terdapat juga perang antar kader. Andi Arief salah satu pengurus partai Demokrat sering menyerang Gerindra dengan berbagai istilah, salah satunya yang terkenal adalah Jenderal Kardus. Di lain kesempatan Ferdinand Hutahean dari Demokrat juga beradu mulut di dunia maya dengan Arief Poyuono kader Gerindra. Bahkan saling mengirimkan gambar-gambar yang tidak senonoh yang melibatkan petinggi kedua partai. Pertarungan ini dikenal dengan insiden  'Sempak Merah'.