Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Puan Masih Belum Jadi Beban untuk PDIP dan Koalisinya

26 Februari 2018   18:48 Diperbarui: 26 Februari 2018   19:13 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah adagium yang sangat terkenal. Dalam politik, tidak ada pertemanan dan permusuhan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Semua tindak-tanduk mereka yang terlibat dalam politik pasti berfikir dampaknya kepada kepentingan diri dan partai. Kepentingan yang cenderung pada manfaat ekonomi.

Jika dari tindak-tanduk atau pelaku politik suatu partai telah mengganggu kepentingan partai atau pimpinan, bisa dipastikan dukungan bagi orang tersebut akan dilepas. Kasus sebesar apa pun yang menimpa seorang partai, selama orang tersebut masih membawa keuntungan bagi partai, niscaya akan dibela sekuat tenaga.

Bisa diambil kasus dalam negeri dan juga luar negeri. Dikutip dari kompas.id (19/02/2018), diambil contoh kasus Jakob Zuma. Jakob Zuma, yang bersama-sama Nelson Mandela melepaskan Afrika Selatan dari politik Apharteid, dilengserkan dari kursi presiden oleh partai pendukungnya, African National Congres (ANC). Alasannya, untuk membersihkan citra partai dan sekaligus menjaga persatuan bangsa. Seorang yang dianggap pahlawan sekalipun, jika telah menjadi beban pasti akan dilepaskan.

Cerita yang sama bisa kita lihat di Setya Novanto. Bisa dikategorikan sama dengan Jakob Zuma itu. Soalnya, pada awalnya narasi para tokoh Golkar cenderung normatif dan mengarah pada membela Setya Novanto. Tetapi, ketika tingkahnya sudah kelihatan 'konyol' dengan mendadak sembuh dari penyakit yang terparah setelah kemenangan praperadilan,  tampaknya jadi kerugian besar bagi citra partai. Akhirnya, Setya dibiarkan berjuang sendiri. Tidak ada rekan yang galak yang menjaganya seperti kasus papa minta saham yang lalu.

Pola yang sama persis dapat diasumsikan dengan kasus e-KTP yang menyebut-nyebut nama Puan Maharani. Jika ditilik lebih jauh, seperti dikutip dari tribunnews.com (22/02/2018), dari fakta persidangan mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiarto, setidaknya ada tiga partai besar yang kecipratan rejeki curang pengadaan e-KTP dengan nilai berbeda mulai Rp. 80 milyar hingga Rp. 100 milyar. Meratanya aliran uang ke berbagai partai ini tentunya bisa menjadi semacam buffer bagi masing-masing partai yang dikaitkan dengan kasus megakorupsi ini.

Sejauh ini, posisi Puan masih 'aman'. Bahkan KPK pun belum memanggilnya untuk dijadikan saksi. Dilansir dari liputan6.com (04/02/2018), KPK beralasan yang diperiksa yang terdekat dengan kasus tersebut terlebih dahulu.

Alasan yang dimajukan oleh KPK bisa saja benar. Tetapi, ada kemungkinan lainnya, yakni dari sisi politik karena para pemainnya kebanyakan partai politik. Bisa dikatakan bahwa posisi Puan saat ini kuat. Partainya Puan pemenang pemilu 2014, meskipun tidak mendapatkan kursi pimpinan, masihlah kuat di DPR. Pemerintahan sekarang, bisa dikatakan juga di tangan PDIP. Partai-partai yang terlibat, mungkin bisa saling menjaga. Ibas juga hingga kini tidak dipanggil meskipun pernah disebut-sebut.

Hal lain yang masuk akal juga, tidak ada tekanan politik menyerang dan mendesak agar Puan diperiksa dan segera diproses. Semua fokus pada pilkada 2018 dan pilpres 2019. Kesalahan Puan mungkin tidak terlalu besar jika pun ada. Soalnya, fakta hukum yang ada mengatakan bahwa Ganjar hanya melaporkan perkembangan kasus ke Puan. Partainya yang mendapatkan bagian. Dilansir dari liputan6.com (04/02/2018).

Maka, Puan masih belum menjadi faktor yang memberikan negatifitas bagi PDIP yang merugikan partai berlambang banteng moncong putih ini. Sehingga, dukungan masih sangat kuat untuk 'menjaga' Puan dan nasibnya tidak seperti Setya Novanto ataupun Jakob Zuma.

Pernyataan Masinton, salah satu anggota DPR dari PDIP dikutip dari viva.co.id (07/02/2018) yang berbunyi bahwa penyebutan nama Puan Maharani di kasus korupsi e-KTP merupakan tuduhan tidak berdasar, bisa jadi contoh sebuah pembelaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun