Pasca pengakuan Amerika Serikat yang dinyatakan Trump atas Jerusalem sebagai ibu kota Israel, ketegangan di berbagai wilayah bermunculan. Sikap menentang atas keputusan Trump itu tidak hanya berasal dari lawan-lawannya, tetapi juga negara sekutunya.
Tetapi sekutunya cenderung hanya mengeluarkan pernyataan normatif. Pernyataan yang tidak memberikan dampak drastis bagi Trump. Trump akan terus melaju dengan keputusannya itu. Mungkin masih akan banyak lagi keputusan kontradiktif yang diambil Trump. Ini bisa dilihat dari sikapnya yang keras kepala, tidak mau diatur dan mau menang sendiri.
Proses pengakuan itu sebenarnya tidak lepas dari keinginanannya menjadikan Amerika berjaya lagi. Make America Great Again diwujudkan dalam berbagai keputusan. Keluarnya dari KTT Paris terkait perubahan iklim salah satu contohnya.
Pada kenyataannya yang di maksud Trump tentang menjadikan Amerika  great again yakni menjual sebanyak-banyaknya hasil industri dalam negerinya, termasuk industri senjata. Trump menggunakan terma "Buy American".
Dikutip dari kompas.id (03/02/2018), yang dirilis dari Amnesty International, belanja global untuk pertahanan mencapai USD 1,6 Trilyun. Nilai ini setara dengan Rp. 21.500 Trilyun. Secara kasar, nilai ini setara dengan 10 kali APBN Indonesia tahun 2018. Pastinya, yang memegang bagian terbesar, bahkan hampir mencapai 50%, adalah Amerika.
Industri pertahanan Amerika terdiri dari berbagai produk mulai dari pesawat tempur hingga senapan mesin. Rudal-rudalnya juga termasuk pertahanan anti rudal Terminal High Altitude Defense (THAD) buatan Lockheed Martin, yang baru dijual ke Korea Selatan, dalam rangka menghadang serangan dari Korea Utara.
Dengan nilai transaksi yang sangat raksasa itu, industri senjata menjadi salah satu andalan  negara-negara pengimpor untuk menumbuhkan ekonominya. Bahkan Australia berkeinginan masuk dalam 10 besar eksportir industri pertahanan.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan pertumbuhan dan perkembangan itu dijaga. Jika dilihat dari konteks supply dan demand, penawaran dan permintaan, maka kedua sisi itu harus dijaga dan dikembangkan. Jika tidak ada demand, maka akan diciptakan. Karena supply sudah terus berproduksi. Bagaimana wujudnya?
Pastinya, kebutuhan akan alat-alat pertahanan ini hanya oleh negara-negara yang merasa terancam. Di samping itu, kawasan-kawasan perang juga membutuhkan alat-alat ini. Selanjutnya, jika industri ini mulai mengalami penyusutan, maka bisa dicurigai para industriawan senjata ini akan menciptakan dan atau menjaga konflik yang sudah ada tetap menyala bahkan membara.
Dengan logika itu, perang yang ada di Suriah mungkin tidak akan segera berakhir. Afganistan dan Irak sudah mulai ditinggalkan, tetapi tetap ada. Mungkin tidak ada kemenangan di sana bagi Amerika. Tetapi ini bukan soal kemenangan. Ini sederhananya hanya soal bisnis. Bisnis mesin perang yang berbau kematian. Seperti dirilis dari kompas (03/02/2018).
Patut dicurigai, Trump yang memberikan pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember 2017, seperti dilangsir dari bbc.com (08/12/2017), sebagai upaya selaras dengan Make America Great Again. Industri senjatanya harus maju. Konflik dan perang memerlukan senjata. Â
Pada gilirannya, konflik-konflik itu akan diciptakan jika belum ada, dipelihara dan dinaikkan eskalasinya tanpa harus menjadi perang terbuka seperti di Timur Tengah dan di Semenanjung Korea. Tingkat ancaman diatur sedemikian rupa. Tingkat rasa terancam juga dimaksimalkan.
Industriawan senjata itu tampaknya tersenyum menikmati kucuran fulusdari industri mematikan itu. Trilyunan dolar mengalir ke kantong mereka dari hasil mengolah, menjaga, meningkatkan dan menciptakan konflik dan perang. Siapakah negara-negara itu? Lima besarnya, dikutip dari kompas.id (03/02/2018) yakni China, Perancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat. Harapan menciptakan dunia damai rasanya hanyalah sebuah utopia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H