Tukang pos itu ditunggu dengan gelisah. Kalender telah menunjukkan kemudaannya lagi. Tidak juga bunyi motor yang khas itu tiba. Jika bunyi itu tiba, alamat hidup bisa diperpanjang sebulan. Itu sudah pasti. Pak Pos itu akan membawakan wesel. Wesel yang menjadi alat pengiriman uang bulanan.
Jika wesel sudah diterima, belum tentu langsung bahagia. Persoalannya bukan pada jumlah yang mengecil, tetapi harus ada proses lanjutan. Mencairkan wesel di kantor pos. Prosesnya bisa lama dan juga bisa cepat. Tergantung antrian.
Selanjutnya, perjuangan menahan godaan. Soalnya, uang bulanan langsung dipegang seluruhnya. Perlu kekuatan ekstra menata dan mengaturnya agar bisa bertahan hingga akhir bulan kala wesel berikutnya akan datang. Itu pun jika rejeki orang tua tidak seret. Cerita di atas merupakan sekelumit nasib anak kos pada tahun 1990-an. Hidup sangat tergantung dengan wesel.
Cerita di atas sepertinya telah menjadi dongeng bagi generasi milenial yang telah terbiasa dengan dunia digital. Proses transaksi sekarang semudah menyentuh layar telepon pintar. Dengan teknologi yang sangat maju, banyak proses dilakukan dengan sangat mudah dan praktis.
Penggunaan teknologi tentunya mempercepat proses itu, melipat volume transaksi dan menjanjikan layanan yang lebih mumpuni. Meskipun harus diakui bahwa masih harus diciptakan ekosistem yang memadai termasuk infrastrukturnya. Setidaknya saat ini di Indonesia.
Proses percepatan ini semakin dahsyat setelah tibanya era internet. Era dimana semua manusia bisa terhubung baik dengan manusia lain dan juga mesin. Bahkan sekarang pun mesin bisa berhubungan dengan mesin melalui penggunaan kepintaran buatan.
Semua lini saat ini rasa-rasanya telah dibantu oleh teknologi internet. Sekarang semuanya sudah dalam jaringan. Dalam revolusi industri ke-4 ini, proses peri kehidupan manusia sudah mencapai internetisasi. Dalam bahasa Mark Zukerberg, pendiri Facebook, disebut Internet of Things (IoT).
Maknanya yakni segala sesuatu dilakukan dengan teknologi internet yang merupakan platform jaringan. IoT ini bisa telah merambah semua lini kehidupan meskipun masih dalam tahap terbatas. Penyebabnya,  karena belum seluruhnya terhubung dengan infrastruktur internet berkecepatan tinggi yang menjadi syarat terjadinya  IoT.
Bisnis-bisnis yang dulunya dilakukan dengan model konvensional, sekarang diletakkan di platform internet, sehingga sering disebut dengan bisnis OTT. Bukan operasi tangkap tangan seperti yang sering dilakukan KPK. Tetapi, secara harfiah,  over the top artinya meletakkan bisnis di atas jaringan internet. Bisa dikatakan menggunakan jaringan internet berkecepatan tinggi yang memungkinkan terjadinya big data yang menjadi basis dari terlaksananya pelipatan volume transaksi dan penyempitan waktu proses.
Semua bidang tidak terlepas dari era IoT ini. Hal ini telah lama digunakan oleh Amazon dalam berjualan. Whatsappjuga menggunakannya untuk menciptakan komunitas dan percakapan. Terlebih-lebih Google yang telah lama menggunakan internet untuk mendapatkan data pengguna yang jumlahnya luar biasa besar.Â
Data ini dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Informasi data ini merupakan tambang emas yang harus dijaga. Tidak heran, semua aplikasi yang diunduh baik berbasis Android, IOS dan Windows selalu meminta meminta persetujuan untuk mengakses semua kontak di phonebook dan email pengguna.
Bidang Keuangan Tidak Ketinggalan
Bidang keuangan juga menjadi arena yang disentuh oleh teknologi ini. Sering disebut dengan Fintech yang merupakan singkatan dari Financial Technology. Terma dalam Bahasa Indonesia menjadi Tekfin yang berarti teknologi finansial.
Jika memahami secara semantik, frasa ini kurang pas dengan arti dari tekfin itu sendiri. Tekfin itu bisa diartikan sebagai pemanfaatan teknologi dalam aktivitas keuangan. Dalam konteks tekfin ini yang dimaksudkan yakni teknologi komputasi dan internet kecepatan tinggi yang memungkinkan terwujudnya big data.
Tekfin akhir-akhir ini semakin menemui bentuknya di Indonesia. Penggunaan teknologi internet dalam berbagai kegiatan keuangan dikembangkan. Tetapi pada kenyataanya jika bicara tekfin, sebenarnya sudah lama diterapkan.
Bisa dilacak hingga tahun 1950, menurut Forbes (13/12/2015), bahwa teknologi telah memainkan perannya dalam industri keuangan. Penggunaan kartu kredit contohnya. Pada tahun 1960-an, ATM menjadi populer. Pada tahun 1980-an penjualan saham melalui alat elektronik yang sering disebut paperless stock. Di tahun 1980-an ban-bank mulai menggunakan penyimpanan data dengan server-server komputer. Pada 1990-an internet mulai berkembang dengan dunia dot.com-nya.
Bedanya dengan sekarang, proses keuangan dilakukan dalam format digital yang memungkinkan prosesnya di platform internet. Sejalan dengan IoT yang dikembangkan, maka transaksi keuangan juga masuk dalam 'cengkraman' internet.
Dengan digitalisasi, proses-proses transaksi keuangan dapat dilakukan di atas platform internet. Dengan maraknya penggunaan telepon pintar dan gawai cerdas, serta infrastruktur internet yang semakin kuat dan meluas, proses-proses keuangan menjadi lancar, cepat dan masif.
Proses-proses belanja dalam jaringan, misalnya, Â mendapatkan keuntungan dengan dukungan teknologi internet ini. Dengan adanya jaringan internet ini, pembayaran dapat dilakukan secara online. Bisa dengan menggunakan kartu kredit ataupun virtual account semacam e-wallet.
Hal ini juga mempermudah dalam mengumpulkan sumbangan atau yang disebut dengan crowd funding. Orang-orang dengan mudah memberikan sumbangan untuk sesuatu kemalangan orang lain yang juga disebarkan lewat internet. Ini mendapat tempatnya, karena penyumbangnya tidak harus diketahui dan prosesnya tidak bertele-tele. Sedikit 'dramatisasi' juga dapat disebarkan melalui gambar dan narasi.
Untuk hal ini, kitabisa.com telah melakukannya dan  mengolah kapitalisasi mendekati Rp. 184 milyar dari lebih 500 ribu penyumbang dengan sedikit kurang dari 8000 kampanye terdanai. Tidak perlu menjulurkan jaring di jalan untuk mendapatkan uang. Teknologi internet telah memungkin ini terjadi. Transaksi menyumpang dilakukan dengan sentuhan ringan.
Dalam konteks perbankan, tekfin dapat dikatakan semacam platform yang dapat merelaksasi kekakuan (rigiditas) dunia perbankan konvensional. Berikut jabarannya.
Di Indonesia, banyak usaha kecil menengah yang tidak bankable. Artinya, tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit bank. Umumnya terkait dengan persyaratan misalnya jaminan (collateral), laporan keuangan (audited) dan juga menunjukkan trendperkembangan yang positif. Bahkan omzet per tahun serta nilai aset perusahaan menjadi poin yang dipelototi oleh credit analyst perbankan konvensional. Usaha kecil dan menengah ini tidak dapat memenuhi.
Investree mencoba menerobos kekakuan ini dengan mengembangkan peer to peer lending (p2p). Sederhananya menemukan kreditur (pemilik uang) dan debitur (pengutang). Di workshop Danamon Enterpreneur Awards bertema Fintech Solusi Literasi di Era Digital atas kolaborasi Kompasiana dan Bank Danamaon (07/12/2017) Adrian Gunadi, pendiri Investree, memaparkan bahwa banyak usaha kecil menengah yang butuh dana. Di sisi lain, banyak juga yang ingin menginvestasikan uangnya, tetapi jumlahnya tidak banyak.
Dengan memanfaatkan platform internet, Investree mencoba mempertemukan demand dan supplyini, kreditur dan debitur atau dalam istilah Investree Lender dan Borrower. Hingga hari ini, Investree telah mengelola kapitasilasi hingga Rp. 448 milyar.
Pinjaman ini sudah disalurkan pada hampir 1200 peminjam. NPL (Non-performing loan) alias gagal bayarnya 0 (nol) persen dengan tingkat pengembalian rata-rata 16,7%. Siapa yang tidak tertarik dengan return on investment sebesar itu dengan tenor 90 hari hingga setahun. Deposito bank konvensional kalah jauh. Fintech telah melakukan 'keajaibannya'.
Karena menggunakan internet, semua proses dan data haruslah terdigitalisasi. Jika masih ada yang belum terdigitalisasi, tampaknya, ada yang kurang. Kurang layak disebut tekfin. Untuk ini salah satu yang penting dari proses ini yakni tanda-tangan digital (digital signature).
Masih di kesempatan yang sama, Marshal Pribadi dari PrivyID, menjelaskan bahwa saat ini penggunaan digital signature sudah berkembang dan diterapkan banyak perusahaan. Digital signature menjadi penting, karena merupakan sebuah tanda-tangan yang digunakan untuk pengesahan transaksi secara ditigal.
Tentunya jika dulu digital signature benar-benar membuat tanda tangan di layar, sekarang cukup menyentuh tombol, maka sistem akan 'menandatangani' untuk pelanggan. Tanda tangan pelanggan yang sudah disimpan sebelumnya dan dienkripsi dengan sistem pengamanan tinggi.
PrivyID yang dipimpin Marshal bergerak dalam penyediaan jasa digital signature ini. Menurut pria yang memiliki tiga gelar di bidang Hukum, Ekonomi dan Teknologi Informasi ini, untuk saat ini masih diperlukan upaya peningkatan awareness yang terus menerus untuk makin banyak pengguna digital signature ini. Peningkatan ini tentunya membutuhkan mitigasi yang juga terus menerus.
 Mitigasi Ancaman
Fintech memang sangat menjanjikan. Dalam kasus Investree, harus dilakukan mitigasi setidaknya pada dua sisi. Pertama pada sisi lending-nya terutama kriteria borrower-nya. Meskipun tidak seketat perbankan konvensional, Adrian menjelaskan bahwa saat ini Investree menggunakan 'kontrak pasti' sebagai kriteria untuk menerapkan unsur prudence-nya. Kontrak pasti ini yakni kontrak borrower, yang biasanya UMKM, Â dengan perusahaan yang sudah bonafid, mapan ataupun dikenal memiliki integritas.
Mitigasi lainnya, pada sisi infrastruktur teknologinya terutama sistem pengamanannya. Karena semua data sudah digital dan dijalankan pada platfrom internet, pasti selalu ada pihak-pihak yang mencoba mencari celah sehingga bisa mendapatkan keuntungan 'curang' dari proses ini. Terkait digital signature juga ini relevan.
Untuk itu, berbagai pengamanan sistem jaringan harus terus menerus diupayakan. Jika gagal, maka lender tidak akan mau lagi menanamkan uangnya. UMKM tidak mendapatkan fasilitas dananya.
Faktanya teknologi finansial mempermudah, mempercepat dan juga menghemat. Masih di acara yang sama, Marshal memaparkan bahwa salah satu kliennya, perusahaan pembiayaan kredit kendaraan, menghemat biaya transaksi yang sangat besar dengan penggunaan tekfin dimana digital signature dari PrivyID diterapkan.
Jika sebelum penerapan tekfin, perusahaan itu mengeluarkan biaya hingga Rp. 2 milyar untuk proses dokumen pengajuan kredit. Belum lagi penyimpanan dokumen yang beratnya mencapai 42 ton setahunnya. Sekarang, biaya yang dikeluarkan tidak lebih dari 200 juta. Biaya gudang tidak ada lagi. Pemotongan biaya hingga 90%.
Penghematan ini menjanjikan, tetapi menyimpan ancaman. Â Masyarakat Indonesia tentunya harus siap. Siap dalam pengertian kesadaran dalam penggunaan teknologi finansial. Siap juga, bakal terjadi pengurangan tenaga kerja yang signifikan. Ini yang juga perlu dimitigasi.
Untuk ini, pemerintah harus menyiapkan strategi untuk mengantisipasi. Terutama bonus demografi sudah didepan mata. Dimana, generasi milenial akan menjadi yang terbanyak dalam komposisi penduduk Indonesia di tahun 2030-2045.
Jika masih diam dan tidak bertindak, bangsa ini akan kalah dalam banyak hal. Slogannya adalah berubah atau mati. Tidak hanya untuk entitas bisnis, tetapi juga bangsa tercinta ini. Lalu dengan adanya tekfin, wesel pun hanya akan menjadi bagian dari cerita romantisme generasi digital migrant dan digital refugee.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H