Di tengah letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Â yang tidak jelas kapan berhentinya, tersiar sebuah berita mengejutkan. Masyarakat protes atas kebijakan pemerintah merelokasi penduduk terdampak bencana.
Demonstrasi yang berujung ricuh itu menewaskan seorang warga. Peristiwa itu terjadi pada Jumat (29/7/2016). Masyarakat setempat menolak keras program relokasi masyarakat terdampak erupsi Gunung Sinabung ke desa mereka, Desa Lingga.
Alasan masyarakat yang menolak wilayahnya menjadi tempat relokasi penduduk terdampak berjumlah sekitar 1.600 orang, cenderung karena akan terjadi persaingan yang tinggi dalam mata pencaharian. Luas lahan tersedia untuk masyarakat setempat tidak cukup untuk sumber penghidupan. Rata- rata, satu keluarga hanya hanya memiliki 2 hektar untuk bercocok tanam.
Jika ada tambahan masyarakat baru dalam jumlah besar, ujungnya akan mempersempit lahan pertanian. Lahan yang menjadi sumber penghidupan, lahan yang menjadi faktor keberlanjutan hidup, akan berkurang drastis. Penolakan yang berujung rusuh tersebut menjadi sebuah gambaran yang nyata akan dampak lain dari bencana berupa munculnya konflik sosial.
Kejadian yang relatif sama terjadi juga di Kabupaten Mentawai pasca tsunami tahun 2010. Penduduk yang direlokasi dari tempat yang rawan tsunami ditolak oleh masyarakat yang menghuni desa yang akan dijadikan tempat relokasi. Relokasi di Pagai Utara itu ditentang penduduk setempat karena akan mengurangi lahan mereka.
Seringkali, bukan perencanaannya yang bermasalah, tetapi ketersediaan sumber daya termasuk lahan-lahan aman untuk relokasi. Konflik yang terjadi tidak melulu antara masyarakat dengan masyarakat, tetapi juga antara masyarakat dengan pemerintah.
Program Pemulihan yang Masih Menyimpan Bara
Konflik yang masih tersisa bisa dilihat di Magelang pasca letusan Gunung Merapi tahun 2010. Keputusan meninggalkan lahan yang ditempati ditolak masyarakat. Meskipun lahan mereka masuk area terdampak langsung. Area dimana pemerintah melarang sebagai tempat tinggal.
Kurang lebih 600 kepala keluarga menolak direlokasi ke daerah aman. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memindahkan mereka dalam upaya menghindarkan terkena bencana di kemudian hari. Tetapi, ketergantungan akan penghidupan dan sumber-sumbernya membuat masyarakat terdampak menolak meninggalkan tempatnya.
Lokasi relokasi ternyata jauh dari lokasi asal. Ukuran lahan dan rumah mengecil. Masyarakat terbiasa dengan rumah luas dan pekarangan besar. Mereka direlokasi dan diberi lahan hanya 100 meter persegi. Masyarakat pun menolak
Luas tanah dan rumah lebih kecil yang ditawarkan pemerintah terkait dengan kemampuan pemerintah menyediakan pendanaan dan terbatasnya lahan yang tersedia. Lahan-lahan yang aman dari letusan Gunung Merapi tidak cukup luas.
Untuk masyarakat yang mau direlokasi, mereka terpaksa melakukan penyesuaian, termasuk cara penghidupan. Dari yang biasanya bertani, menjadi industri rumahan. Sebagian juga mengubah sumber pendapatan dengan memproduksi kerajinan.
Memang pemerintah melakukan pelatihan-pelatihan untuk mempersiapkan masyarakat. Tetapi, kembali karena keterbatasan, pelatihan dan pendampingan hingga masyarakat mandiri termasuk mencarikan pasar, tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan. Ini menciptakan kondisi yang rentan akan terjadinya konflik sosial lagi.
Nyatanya, meskipun pemerintah berusaha memberikan pemecahan kepada masyarakat, tetapi ketika berbeda dengan kehidupan yang sebelumnya, akan terjadi penolakan. Bisa saja menerima tetapi harus berjuang keras untuk mengubah penghidupan. Pemikirannya, tinggal di tempat yang lebih aman.
Bahkan yang sekarang terjadi di daerah Merapi, Sleman Yogjakarta, lahan-lahan yang dulu ditinggalkan dan dilarang untuk ditempati, yang disebut sebagai area terdampak langsung, kini berangsur dihuni.
Alasannya karena rumah yang diberikan pemerintah tidak cukup lagi menampung anggota keluarga yang kian bertambah. Di samping itu, penghidupan sebagai petani dan peternak di daerah relokasi tidak cukup menampung jumlah ternak yang semakin berkembang biak.
Tampaknya, pemerintah daerah akhirnya menutup mata dengan perkembangan terakhir ini karena tidak bisa memberikan pilihan jalan keluar.
Masyarakat sangat tergantung kepada penghidupan dan sumber-sumber penghidupannya. Ketika dikeluarkan dari lingkungan dimana sumber penghidupan itu berada, maka mereka pasti akan kembali.
Pemandangan yang sama terjadi di Aceh. Di daerah Alue Naga, yang merupakan perkampungan nelayan dahulunya, perlahan-lahan mulai terisi kembali. Masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan sebagai nelayan tentunya tidak bisa dipindahkan ke daerah perbukitan di Indragiri Aceh Besar berjarak 20 kilometer dari tempat asal.
Masyarakat biasa mencari ikan di laut sebagai penghidupan. Mengganti penghidupan dengan berladang dan bertani tentunya membutuhkan waktu penyesuaian yang lama yang tidak bisa diterima masyarakat.
Akhirnya mereka kembali ke daerah pantai, Alue Naga, yang termasuk daerah paling parah terkena tsunami 2004 lalu. Masyarakat kembali berhadapan dengan ancaman tsunami. Aturan dan anjuran pemerintah tidak berkelindan dengan kenyataan hidup dimana sumber-sumber penghidupan mereka ada di laut, di Alue Naga itu.
Kembali, persoalannya bukan pemerintah tidak ingin menyelesaikan permasalahannya, tetapi memang jalan keluarnya tidak selalu ada. Pemerintah melarang masyarakat untuk pindah ke daerah yang lebih aman dari ancaman tsunami, tetapi tidak bisa menyediakan penghidupan di daerah relokasi.
Tiga Pendekatan dalam Kebencanaan
Memang dalam konteks kebencanaan ada tiga pendekatan yang mungkin dilakukan. Pertama, berupaya memindahkan ancaman bencana dari masyarakat dan asetnya. Kedua, memindahkan masyarakatnya dari lokasi ancaman bencana. Ketiga, berusaha hidup harmonis dengan ancaman bencana. Kemungkinan pertama dan kedua telah dilakukan tetapi tidak dengan mudah juga.
Kita bisa melihat yang dialami pemerintah DKI Jakarta ketika memindahkan masyarakat dan juga memindahkan banjir dari lingkungan masyarakat pada Agustus 2015.
Proses relokasi masyarakat di Kampung Pulo dan Bukit Duri mengobarkan kericuhan dan masih menyimpan potensi konflik. Pemerintah memindahkan masyarakat ke rumah susun dengan proses yang sangat keras dan cenderung brutal.
Di samping karena banyaknya kepentingan di dalam proses itu sendiri, hidup di rumah susun bukanlah sesuatu yang biasa bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Perubahan yang drastis dari rumah tapak ke rumah susun, mendorong masyarakat menolak program revitalisasi sungai Ciliwung.
Dengan program revitalisasi itu, ancaman banjir dapat dipindahkan. Banjir tidak lagi terjadi di wilayah yang dulu selalu menjadi langganan. Tetapi, perlawanan tidak berhenti. Konflik tidak padam total. Setidaknya saat ini banyak masyarakat yang direlokasi tidak mampu membayar uang sewa.
Pada kasus lain, pemerintah Kabupaten Bantul dengan dukungan sebuah organisasi multilateral pada tahun 2009-2010 melakukan kajian ancaman tanah longsor di Desa Wukirsari dan Srimartani.
Hasil dari kajian merekomendasikan bahwa 618 kepala keluarga harus segera dipindahkan, karena berlokasi dilahan yang paling tinggi ancaman tanah longsornya. Gelombang pertama dilakukan relokasi 68 rumah. Selanjutnya menjadi tanggung-jawab pemerintah Kabupaten Bantul.
Tetapi, karena terbatasnya keuangan, pemerintah hanya mampu memindahkan 5 rumah per tahun. Meskipun demikian, pemerintah tetap mencari ruang-ruang fiskal dari berbagai sumber untuk memindahkan masyarakat segera.Â
Sementara masih ada ratusan keluarga yang was-was akan ancaman longsor. Hidup sungguh tidak tenang. Hati selalu was-was. Tidur tidak pernah nyeyak. Terbayang tanah menggusur kehidupan mereka.
Pemahaman akan ancaman gempa, tindakan siap-siaga lewat upaya-upaya bersama masyarakat dengan pemerintah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan pemerintah dapat menghindarkan konflik yang dipicu oleh kejadian bencana. Ini berkaitan dengan pendekatan ketiga. Kenyataannya, kita harus hidup dengan ancaman bencana. Sehingga upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana menjadi penting.
Justru, upaya-upaya itu sangat minimalis dilakukan karena keterbatasan ruang fiskal pemerintah. Sehingga masyarakat hanya bisa pasrah dan menganggap bencana sebagai God's act alias takdir.
Informasi yang jelas dan program yang transparan mungkin akan mengurangi konflik sosial bahkan 'brutal' pasca kejadian bencana dan juga upaya mitigasinya.
Bencana akan selalu ada di negara tercinta ini. Sepertinya juga, bencana dan konflik menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Tetapi, kita berharap bencana tidak harus melahirkan konflik yang berkepanjangan. Meskipun pada kenyataannya, persoalan kebencanaan, pemulihan dan prosesnya yang rumit, tidak pernah benar-benar tuntas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI