Untuk masyarakat yang mau direlokasi, mereka terpaksa melakukan penyesuaian, termasuk cara penghidupan. Dari yang biasanya bertani, menjadi industri rumahan. Sebagian juga mengubah sumber pendapatan dengan memproduksi kerajinan.
Memang pemerintah melakukan pelatihan-pelatihan untuk mempersiapkan masyarakat. Tetapi, kembali karena keterbatasan, pelatihan dan pendampingan hingga masyarakat mandiri termasuk mencarikan pasar, tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan. Ini menciptakan kondisi yang rentan akan terjadinya konflik sosial lagi.
Nyatanya, meskipun pemerintah berusaha memberikan pemecahan kepada masyarakat, tetapi ketika berbeda dengan kehidupan yang sebelumnya, akan terjadi penolakan. Bisa saja menerima tetapi harus berjuang keras untuk mengubah penghidupan. Pemikirannya, tinggal di tempat yang lebih aman.
Bahkan yang sekarang terjadi di daerah Merapi, Sleman Yogjakarta, lahan-lahan yang dulu ditinggalkan dan dilarang untuk ditempati, yang disebut sebagai area terdampak langsung, kini berangsur dihuni.
Alasannya karena rumah yang diberikan pemerintah tidak cukup lagi menampung anggota keluarga yang kian bertambah. Di samping itu, penghidupan sebagai petani dan peternak di daerah relokasi tidak cukup menampung jumlah ternak yang semakin berkembang biak.
Tampaknya, pemerintah daerah akhirnya menutup mata dengan perkembangan terakhir ini karena tidak bisa memberikan pilihan jalan keluar.
Masyarakat sangat tergantung kepada penghidupan dan sumber-sumber penghidupannya. Ketika dikeluarkan dari lingkungan dimana sumber penghidupan itu berada, maka mereka pasti akan kembali.
Pemandangan yang sama terjadi di Aceh. Di daerah Alue Naga, yang merupakan perkampungan nelayan dahulunya, perlahan-lahan mulai terisi kembali. Masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan sebagai nelayan tentunya tidak bisa dipindahkan ke daerah perbukitan di Indragiri Aceh Besar berjarak 20 kilometer dari tempat asal.
Masyarakat biasa mencari ikan di laut sebagai penghidupan. Mengganti penghidupan dengan berladang dan bertani tentunya membutuhkan waktu penyesuaian yang lama yang tidak bisa diterima masyarakat.
Akhirnya mereka kembali ke daerah pantai, Alue Naga, yang termasuk daerah paling parah terkena tsunami 2004 lalu. Masyarakat kembali berhadapan dengan ancaman tsunami. Aturan dan anjuran pemerintah tidak berkelindan dengan kenyataan hidup dimana sumber-sumber penghidupan mereka ada di laut, di Alue Naga itu.
Kembali, persoalannya bukan pemerintah tidak ingin menyelesaikan permasalahannya, tetapi memang jalan keluarnya tidak selalu ada. Pemerintah melarang masyarakat untuk pindah ke daerah yang lebih aman dari ancaman tsunami, tetapi tidak bisa menyediakan penghidupan di daerah relokasi.