Anggaran yang akan diberikan naik hingga 100 persen. Bayangkan, tanpa perlawanan, anggaran naik dua kali lipat. Jangankan cuma lobster, makanan sekelas Kaviar pun mungkin akan dapat dibeli. Belum lagi, untuk menjadi lebih priyayi, maka air mancur harus dihadirkan. Bukankan di keluarga kaya raya harus ada air mancur. Maka mengalirlah juga anggaran sebesar Rp. 650 juta.
Disamping itu, priyayi juga tidak boleh bau. Ruangan harus tetap wangi meskipun tidak pernah dipakai untuk membahas peraturan yang meningkatkan kesejahteraan rakyat kecuali kesejahteraan sendiri. Untuk ini anggaran sebesar hampir Rp. 350 juta dikucurkan untuk membeli refill pewangi ruangan. Jangan marah, itu perlu menjaga kepriyayian mereka.
Melengkapi semuanya, baru-baru ini setidaknya dari Wakil Gubernur, memberikan kewenangan kepada RT untuk memungut uang Rp. 100 ribu dari tiap keluarga untuk membersihkan selokan. Uang itu akan, katanya, digunakan untuk mengontrak kontraktor yang bertanggung-jawab untuk membersihkan lingkungan.
Kenapa bukan PPSU? Mengurus karya bekas Ahok itu merupakan sesuatu yang harus dihindarkan. Sialnya, pungutan itu sukarela. Ini uang masyarakat mau digunakan untuk kepentingan publik, tetapi tidak ada aturannya. Gimana ini Tuan Gubernur? Ini bukan soal seratus ribunya. Pertanggung-jawabannya gimana?
Akh, lupa! Jangan-jangan jika dimintakan pertanggung-jawaban malah akan merepotkan. Bukankah priyayi tidak boleh repot. Mereka harus merasakan nikmat dan rakyat harus mulai terbiasa dengan melayani mereka. Tidak boleh sama dengan masa Ahok.
Di masa Ahok, mereka sudah sangat kelelahan dan kekeringan. Jadi, tidak ada salahnya kalau kepriyayian mereka dikembalikan. Caranya, jarak dijauhkan, naikkan anggaran dan tentunya berikan kesempatan memungut sesuka hati. Menjadi itu priyayi harus nikmat dan tidak boleh repot. Harus juga wangi semerbak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H