Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan hal yang sangat sedikit. Terlebih lagi sumbernya hanya satu, yakni guru. Guru menjadi semacam dewa yang tidak bisa salah. Guru merupakan segala sesuatu tentang ilmu pengetahuan itu. Guru menjadi tempat bertanya dan mendapatkan jawaban. Tetapi, jawabannya tidak bisa ditanggapi, karena guru adalah sekelas dewa. Guru mendapat tempat tinggi di masyarakat. Guru tidak 'in touch' dengan murid.Â
Anak-anak millennial tidak bisa diperlakukan seperti itu. Ketika mempelajari sesuatu di kelas, pertanyaan pertama adalah mengapa mempelajari pelajaran itu. Perlu alasan yang kuat. Lalu, dengan gawainya, anak-anak itu akan membandingkan penjelasan guru dengan informasi yang didapatkan dari dunia maya. Informasi yang cepat dan penjelasan yang lebih luas dengan data dan contoh, bisa jadi, yang lebih kekinian.
Kemudian pendapat guru dan informasi dari dunia maya itu akan dipertentangkan. Jika jawaban guru cukup memuaskan, maka murid akan dengan rela untuk belajar. Tetapi jika guru tidak memberikan jawaban yang memuaskan, alamat guru tidak akan menjadi sumber ilmu lagi. Anak-anak hanya hadir secara simbolis. Mendengarkan guru yang bersusah payah menjelaskan. Sementara di benak anak-anaknya tertulis, "Ntar gue googling. Beres dah!".
Berargumentasi juga menjadi kebiasaan di dalam kelas terutama di kota-kota besar dengan penetrasi internet yang tinggi. Kepercayaan kepada guru menjadi berkurang dan tidak mendapatkan tempat yang seharusnya di mata anak murid.
Guru hanya wujud simbolis dari institusi pendidikan. Ilmu sebenarnya bisa di cari di ruang-ruang maya yang menyajikan lebih banyak informasi. Informasi yang lebih up to date. Mendapatkan dengan segera dan cepat. Dengan syarat, terhubung dengan internet.
Sehingga pelajaran---pelajaran yang diminati menjadi pelajaran-pelajaran yang terkait dengan bersinggungan dengan teknologi dan dunia internet. Jika guru tidak menggunakan teknologi dan informasi serta media visual di dalam proses pembelajarannya, alamat guru tersebut akan ditinggalkan begitu saja.
Guru harus bisa memberikan pemahaman bahwa segala sesuatu yang diberikan berkaitan dengan diri murid tersebut, digali lebih dalam dengan menggunakan internet dan tersaji secara langsung. Ruang-ruang debat juga diberikan. Tidak melulu guru berusaha menjadi sumber ilmu. Lebih cenderung menjadi fasilitator.
Kecepatan murid-murid sekarang dalam mencari informasi jauh lebih dari kemampuan guru melakukannya. Berbagai sumber dapat mereka temukan di internet berupa teks, grafis, suara, video dan gambar. Seluruh media menjadi berkelindan dalam memberikan pemahaman yang nyata dan cepat.
Seperti ketika mengajarkan tentang tumbuhan, sebagai sebuah misal. Jika guru hanya mengatakan rizoma adalah akar tinggal, dan hanya sebatas itu, maka guru tidak akan mendapatkan appresiasi di mata anak-anak.
Tetapi jika diberikan gambar visual yang menarik, memberikan penjelasnnya, jenis-jenisnya serta dimana ditanam, seperti apa prosesnya, dalam berbagai format yang dijelaskan tadi, proses belajar akan jauh lebih menarik. Jika mengajak anak-anak langsung menyentuhnya, akan lebih baik.
Terlebih jika dikatan bahwa tanaman rizoma itu bisa menyembuhkan jerawat, misalnya. Maka akan semakin besarlah minat dari anak-anak tersebut.