Pesan yang disampaikan di Surat Kepada Redaksi Kompas cetak beberapa waktu lalu itu menggambarkan keheranan sekaligus keresahan. Keresahan seorang anggota masyarakat senior. Diceritakan keheranan orang tua tersebut atas fakta yang menggambarkan ketidaktahuan seorang pelayan di sebuah restoran berusia millennial soal pelajaran Geografi.
Ujung dari surat itu mengkritik tentang pendidikan dan sistemnya. Sistem yang gagal mencerdaskan generasi muda. Setidaknya dalam pemahaman orang tua tersebut. Pendidikan tidak memberikan modalitas yang cukup bagi generasi muda untuk berkembang. Begitu kira-kira pesan utamanya.
Padahal pertanyaannya sederhana, masih menurut orang tua itu. Pertanyaan adalah dimana kah negara Nigeria? Apa itu Boko Haram yang berada di Sudan? Pelayan muda itu menjawab tidak tahu. Orang tua itu terheran-heran. Benarkah sistem pendidikan kita telah salah dalam memproses generasi millennial ini, sehingga hal-hal sepele seperti itu, yang sangatlah sederhana, tidak bisa dijawab.
Membayangkan kejadian tersebut, timbul sebuah imajinasi tentang kejadian sebenarnya. Orang tua itu keheranan dengan ketidaktahuan pelayan muda itu. Si pelayan muda itu heran dengan pertanyaan orang tua itu. Untuk apa juga mengerti soal Nigeria dan Boko Haram, pikir si Millennial. Dua sisi yang berbeda dan saling berlawanan di dua generasi dengan rentang usia puluhan tahun.
Orang tua itu terkenang dengan sistem pembelajaran yang dialami sewaktu muda dulu. Pelajaran Geografi. Di pelajaran ini negara-negara, ibukota-ibukota, pulau-pulau dan segala sesuatu tentang lokasi di bumi ini menjadi bahan yang diulik. Harus mentok di benak.
Meskipun itu tidak terkait langsung dengan diri sendiri. Apakah itu berhubungan langsung dengan diri sendiri tidak menjadi penting. Segala sesuatu yang disajikan guru akan dilahap langsung tanpa ada protes dan pertanyaan lebih lanjut. Pokoknya, benamkan dalam-dalam dan ingat seumur hidup. Peta buta menajdi terlihat terang benderang.
Sementara generasi terkini, generasi millennial, cenderung tidak perduli dengan segala sesuatu yang tidak dekat dan lekat dengan diri sendiri dan kesehariannya. Sesuatu yang dipandang tidak bersentuhan langsung tidak akan masuk dalam radar pencarian mereka. Sesuatu itu harus berhubungan dengan dirinya (relate) secara logis dan relevan dengan kebutuhannya. Harus ada alasan yang kuat untuk menerima sesuatu, mempelajari sesuatu.
Coba tawarkan pengetahuan tentang, katakanlah, tips and trick menggunakan gawai. Dengan segera mereka akan mengejar dan mencari tahu prosesnya hingga mendalam. Sebabnya, itu terkait langsung dengan kehidupan. Itu soal eksistensi.
Jika pun ada sesuatu yang tidak di pahami, google akan dengan setia dan cepat mencarikan jawaban bagi mereka. Tidak perlu menghapalnya. Tidak bermanfaat juga menghafalnya. Menghabiskan memori otak. Jika nanti diperlukan, segera saja dunia digital akan menjadi batu penjuru referensi.
Di samping itu, faktor relevansi tadi harus dibarengi dengan faktor instan. Kecepatan untuk mendapatkan dan mewujudkan. Artinya, pengetahuan yang akan dicari adalah yang langsung bisa didapatkan dan diterapkan. Tidak sesuatu yang mengawang-awang.
Pembelajaran zaman dahulu, apa yang dilakukan adalah mengetahui banyak hal tetapi tidak mendalam. Murid-murid dulu bisa berbicara tentang banyak hal di luar dirinya, tetapi dalam tataran konsep generik. Jika diuji kedalamannya, maka akan mengalami shocked. Karena yang diberikan di ruang-ruang kelas hanya permukaannya saja. Dalam bahasa anak gaul tahun 2000-an, mirip dengan yang lagu The Moffat. Too much time but so little to do.