Di satu sisi, realitas yang muncul adalah bahwa selama tiga tahun memerintah, Jokowi dikatakan berhasil. Catatan keberhasilan dilihat dari berbagai proyek infrastuktur yang sudah terbangun, selesai, sedang berjalan dan yang sudah direncanakan di dalam sisa waktu yang dimilikinya.
Jalan-jalan bebas hambatan sudah beberapa yang diresmikan dan dioperasikan. Jaringan jalan dan kereta api yang dirancang puluhan tahun yang lalu perlahan tetapi pasti membentuk jaringan. Infrastruktur penggerak pembangunan di sektor kelautan juga dibangun dan diperbaiki dalam satu konsep tol laut. Pelabuhan-pelabuhan baru dan dikembangkan terus untuk mendukung logistik berbasis air.
Di sisi lain, praktis berseberangan. Apa yang dilakukan Jokowi sama sekali tidak dianggap. Semua didasarkan pada pandangan yang terbangun dibenak mereka. Jokowi disematkan hanya sebagai penerus segala sesuatu yang telah dirancang oleh pendahulunya. Terlebih lagi data-data disorongkan untuk mendukung argumentasi kegagalan Jokowi di dalam pelaksanaan tugasnya sebagai kepala negara sejak dilantik 20 Oktober 2014.
Angka-angka kemiskinan dilampirkan, kesenjangan digambarkan memburuk, kemisikinan disampaikan bertambah dan perdagangan mengalami lesu darah ditandai penutupan banyak pedagang ritel. Ujungnya pada kesimpulan rendahnya prestasi Jokowi. Jokowi dianggap gagal membangun bangsa ini. Jokowi dicap tidak mampu merealisasikan janji-janjinya semasa kampanye. Realitas yang mengatakan Jokowi presiden yang harus dilengeserkan. Separah itu realitas lainnya.
Dari dua pandangan ini, yang mana sebenarnya realitasnya. Dua-duanya merupakan dua realitas relatif dari sisi pandang umum. Tetapi dari sisi pandang masing-masing sisi, realitas itu memang nyata. Karena cara pandang yang digunakan berbasis kepada nilai-nilai, norma-norma, pandangan-pandangan, kebenaran-kebenaran yang dikonstruksi dan juga hal-hal yang diyakini.
Ini, dalam pandangan penulis, berbeda dengan post-truth. Post-truth secara umum dimaknai sebagai sebuah pandangan yang menerima kebenaran berdasarkan emosi dan keyakinan yang sifatnya bisa berbasis primordialisme.
Dalam konteks post-truth, kata kebenaran masih dipakai. Sementara kebenaran itu tidak pernah ada. Kebenaran hakiki sangat sulit ditemukan. Kebenaran itu hanya sifatnya parsial. Kebenaran yang digunakan dalam post truth itu sendiri pun tidak sepenuhnya benar. Kebenaran yang bagaimana yang dianggap sebuah kebenaran. Kebenaran bukanlah kebenaran jika tidak hakiki. Kebenaran individu tidak menjadi kebenaran yang hakiki.
Sementara dalam pandangan ini realitas yang terbentuk tidaklah soal sebuah kebenaran. Realitas dimaknai sebagai sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang dibentuk setiap orang berdasarkan pada segala sesuatu yang diyakini. Rekonstruksi sebuah realitas individu yang didasarkan pada emosi, keyakinan seperti faktor yang menjadi dasar kebenaran seseorang dalam teori post-truth atau pasca kebenaran.
Terbentuknya realitas berdasarkan keyakinan itu serta merta menjadi sebuah konsekuensi dari luapan informasi yang menyerbu ruang-ruang pribadi melalui perangkat-perangkat personal. Smartphone dan perangkat mobile lainnya. Bahkan, akun-akun personal pun tidak luput dari hantaman serangan informasi.
Pada akhirnya, setiap orang di tengah kebingungannya, menentukan realitasnya berdasarkan segala sesuatu yang diyakini berdasarkan nilai-nilai, norma-norma bahkan kepercayaan. Ini menjadi keterpaksaan. Sebab, jika tidak, kebingungan yang akan terjadi.
Dalam arus tsunami informasi yang sangat dahsyat terjadi setiap hari dan secara terus menerus, mendorong setiap orang untuk merekonstruksi realitasnya sendiri. Realitas yang didasarkan pada yang diyakini. Apa yang diyakini bergantung pada nilai-nilai, norma-norma, pandangan-pandangan dan juga pengetahuan yang dilesakkan ke dalam kepalanya. Baik secara sengaja, tidak sengaja, secara sadar, tidak sadar. Bahkan kadang dilesakkan oleh mereka yang menginginkan kekuasaan.