Informasi dalam buku itu sangat mengejutkan. Di buku berjudul The Race of What's Left karya Michael T. Klare dari Hampshire College, Massachusetts, AS, diutarakan bahwa pertempuran-pertempuran yang terjadi di berbagai belahan dunia berfokus pada satu hal, penguasaan atas energi dan sumber-sumbernya. Buku yang dirilis pada 2012 itu, menjelaskan betapa setiap negara bahkan pemimpin negara berusaha untuk menguasai energi dan sumbernya. Motifnya bisa demi kepentingan bangsa, bisa juga kepentingan pribadi penguasa demi kelanggengan kekuasaan. Â
Bagi penguasa, menguasai energi di negaranya berarti menguasai sumber pundi-pundi yang sangat luar biasa nilainya. Negara-negara besar dengan perekonomian raksasa, memerlukan kepastian energi yang berkelanjutan.
Bahkan, organisasi-organisasi radikal juga berupaya untuk menguasai ladang-ladang minyak seperti di Irak dan Suriah. Penguasaan sumber-sumber energi ini memastikan keberlanjutan perjuangannya. Negara-negara yang berusaha memenuhi cadangan energinya, membeli minyak dari organisasi radikal ini. Mereka menutup mata akan asal muasal energi itu. Terpenting baginya adalah mendapatkan minyak, yang bisa jadi lebih murah, demi menjaga kebutuhan. Â Pernah ramai diberitakan di media jika Turki, Syria dan Iraq termasuk negara yang membeli minyak dari kelompok radikal ini.
Perkembangan terbaru bisa dilihat di berbagai belahan dunia. Rusia menganeksasi Crimea hanya untuk mengamankan jalur gasnya ke daratan Eropa sebagai pembeli utama energi Rusia, sekaligus mengamankan teritori di Laut Hitam yang kaya minyak dan gas. China berusaha menguasai Laut Cina Selatan yang kaya minyak, untuk memastikan cadangan minyaknya tersedia demi menggerakkan perekonomian raksasanya.
Sepertinya, di dunia bercorak energy-centric ini pertarungan untuk menguasai energi dan sumber-sumbernya tidak akan pernah berhenti. Para aktor yang berkecimpung di bidang energi, harus bekerja keras untuk memastikan kelangsungan hidup bangsa dan negaranya lewat tersedianya energi. Dalam konteks Indonesia, hal yang sama terjadi. Masih dalam konteks Indonesia, bebannya berada di pundak Pertamina.
Kedaulatan, Kemandirian dan Ketahanan Energi
Setelah mengalami transformasi sejak pendirian tahun 1957, Pertamina didorong oleh kesadaran akan dinamika global terkait minyak dan gas sebagai sumber energi berbasis fosil yang semakin menurun, pada 2011 Pertamina menciptakan visi baru yakni 'Menjadikan Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia'.
Dalam visi baru ini, Pertamina sebagai perusahaan negara yang harus memastikan tersedianya energi bagi kelangsungan bangsa bergerak dalam tiga elemen yang harus dipastikan terjaga. Dalam konteks kebangsaan, Pertamina memiliki tugas berat untuk mewujudkannya, yakni kedaulatan, kemandirian dan ketahanan energi.
Kedaulatan energi berkaitan dengan hak negara sepenuhnya mengelola energi dan sumber-sumbernya demi kesejahteraan rakyat. Kemandirian energi berkaitan dengan kemampuan sumber daya Indonesia dalam mengelola energi dan sumber-sumbernya.
Dengan demikian, Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang mampu dan mumpuni serta ruang fiskal yang mencukupi. Terkait ketahanan energi, Indonesia harus mampu menyediakan (availability) energi dalam harga yang terjangkau (affordability) dan dapat ditemukan dengan mudah (accessability) secara terus menerus (sustainability).
Meskipun tiga hal di atas adalah tugas dari negara, tetapi operasionalisasinya berada di pundak Pertamina, yang berulang tahun ke-60 pada tahun ini. Pertamina dengan logo anak panah berwarna merah, hijau dan biru ini, harus memastikan bahwa negara bisa mewujudkan tiga hal di atas.