Jika pemerintah masih bercita-cita untuk membangun daya saing bangsa, maka penduduk Indonesia di banyak tempat dengan fasilitas yang sangat sedikit, harus menjadi perhatian. Presiden Jokowi memang sudah mencita-citakan membangun masyarakat dengan karakteristik tersebut. Membangun masyarakat dari peri-peri bisa diartikan secara fisik mau pun non-fisik. Bisa berarti masyarakat yang tinggal di daerah terluar Indonesia. Bisa juga berarti masyarakat Indonesia di manapun dengan penghasilan yang masih minim.
Upaya ini masih memerlukan waktu dan biaya yang sangat besar. Untuk sementara masih akan seperti itu. Sebabnya, sumber daya saat ini masih diarahkan ke pembangunan infrastruktur dasar yang selama beberapa masa pemerintahan sebelumnya terabaikan. Program-program subsidi untuk pendidikan juga dilakukan. Tetapi, sebaran penduduk Indonesia di 6600-an pulau, masih belum seluruhnya mendapatkan pelayanan publik.
Kebijakan pembangunan yang sentralistris sebelumnya, harus dibalikkan. Sayang, belum semua pejabat di pemerintahan yang sepaham dengan presiden. Buktinya, sudah 6 kepala daerah yang tertangkap KPK selama sembilan bulan di tahun 2017 ini.
Masyarakat miskin masih harus berjuang keras meskipun hasil perjuangannya hanya untuk mendapatkan layanan publik yang merupakan layanan dasar. Layanan yang dinikmati penduduk kota dengan sangat murah atau pun sangat mudah.
Sementara masyarakat miskin bahkan di Jawa sekalipun, masih harus membayar lebih mahal untuk layanan itu. Karena tidak mudah diakses. Memerlukan biaya yang lebih mahal bagi penduduk miskin hanya untuk mendapatkan akses layanan dasar itu.
Jadi, jika masyarakat kota masih teriak karena dibatasi motornya masuk jalan protokol, maka masyarakat yang miskin dan tinggal di daerah terpencil, harus bertarung keras hanya untuk mendapatkan bahan bakar. Jika tidak dapat, mereka hanya bisa diam saja. Suara mereka tidak akan kedengaran.
Jika ada yang teriak karena syarat untuk membeli mobil harus ada garasi, maka seharusnya  mereka malu, terlalu ribut. Karena masyarakat di Mentawai untuk mendapatkan bensin saja perlu perjuangan. Mereka menerima saja keadaan itu tanpa ribut.
Kalau ada masyarakat kota komplain karena macet yang luar  biasa, maka masyarakat di Kampung Cibulao yang hanya berjarak sekitar 70 kilometer dari Jakarta, harus menerima kenyataan membayar lebih mahal untuk mendapatkan kebutuhan mereka ditengah pendapatan yang sangat minim.
Mereka jauh lebih miskin, tetapi masih harus membayar lebih untuk mendapatkan askes layanan publik. Pemerintah harus lebih memperhatikan masyarakat yang terletak di kantong-kantong kemiskinan, tempat-tempat terpencil. Karena sudah lama mereka bekerja keras luar biasa hanya untuk mendapatkan sedikit.
Jika ini tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, maka lingkaran kemiskinan seperti di Cibulao itu akan selalu berulang. Tidak putus. Tidak berhenti di satu generasi berikutnya. Tetapi akan menjadi abadi. Lalu, generasi berikutnya di Desa Cibulai akan mengulang kalimat Jumpono. "Kalau sakit, lebih baik mati!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H