Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lebih Miskin tapi Membayar Lebih

24 September 2017   21:57 Diperbarui: 26 September 2017   19:39 2890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karena tidak memiliki akses ke air bersih dan tidak adanya layanan air bersih di pemukimannya, penduduk terpaksa membeli air bersih dari pedagang gerobak air dengan harga yang lebih mahal. Orang miskin membayar jauh lebih mahal daripada orang kaya untuk jumlah air bersih yang sama. Sumber: matarakyatmu.com

"Kalau sakit, lebih baik mati!". Ujaran tegas itu mengalir dari mulut Jumpono dalam sebuah diskusi di rumahnya di Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Ujaran keluar dari mulutnya terkait kekesalan karena sangat terbatasnya layanan kesehatan yang bisa didapatkan masyarakat di kampungnya.

Jarak Kampungnya tidak terlalu jauh dari Jakarta. Hitungan kasarnya, hanya sekitar 70 kilometer. Tetapi, di kampung yang dihuni sekitar beberapa belas  keluarga ini, segala sesuatu berkaitan dengan pelayanan publik bisa dikatakan minus.

Kampung ini terletak di tengah perkebunan teh. Umumnya penduduknya bekerja di kebun teh swasta dengan penghasilan yang sangat minim. Hanya Rp. 26.000 -- Rp. 27.000 per hari. Mereka bekerja dari pagi hari hingga siang hari. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan. Sistem upah ini membuat mereka tidak dapat mengakses berbagai layanan publik. Jika pun suami istri bekerja, pendapatan dengan hari kerja 22 hari hanya sekitar rp. 1,1 juta. Bersih. Jika sakit, alamat tidak mendapatkan upah.

Anak-anak banyak yang putus sekolah di bangku SD. Bukan karena mereka tidak ingin sekolah, tetapi tidak ada biaya untuk menyekolahkan anak-anak. "Anak-anak disini putus sekolah dan langsung bekerja di perkebunan ini. Rata-rata mulai bekerja di usia 13-14 tahun" ujar Yono, kakak kandung Jumpono yang sore itu ikut dalam diskusi refleksi di hari kedua dalam sebuah kegiatan kelas Hutan periode pertama yang difasilitasi oleh Forest Watch Indonesia pada tanggal 7-8 September 2017 yang lalu.

Fasilitas kesehatan, layanan administrasi publik seperti mengurus KTP dan surat-surat sipil lainnya harus dilakukan di kantor Desa. Jarak yang jauh dan akses yang sulit membuat biaya semakin mahal. Masyarakat dengan penghasilan yang sangat kecil itu, hanya pasrah dengan semua konsekuensi yang ada, yakni layanan yang lebih mahal untuk dijangkau.

Keterbatasan akses dan tidak adanya infrastruktur yang memadai menjadi gambaran umum yang ada di permukiman masyarakat miskin. Dengan kekuatan ekonomi yang sangat minim, pilihan-pilihan lokasi tempat tinggal tidak banyak bagi mereka. Biasanya masyarakat miskin akan tinggal di lingkungan yang tidak terjangkau layanan publik termasuk listrik, air bersih dan juga pelayanan publik lainnya. Sehingga cenderung bagi masyarakat ini, mengakses layanan publik akan lebih mahal.

Tidak usah berbicara di luar Jawa atau di luar Jakarta seperti kisah Jumpono dan Yono di atas. Dua bersaudara yang hanya lulus kelas 3 SD ini. Di kawasan Marunda Jakarta Utara seperti digambarkan karikatur ilustrasi, masyarakat membayar sangat mahal untuk mendapatkan air bersih. Kawasan Utara Jakarta ini, air tanahnya sudah sangat payau. Untuk air bersih, masyarakat terpaksa membeli dari pedangang air dengan harga yang jauh lebih mahal dari pada masyarakat yang hidup di daerah yang terlayani air bersih.

Pengeluaran yang tinggi untuk air mendorong masyarakat untuk menghemat pengeluaran lainnya termasuk untuk kesehatan dan juga pendidikan. Lingkaran kemisikinan akan selalu terjadi dalam kelompok masyarakat seperti ini.

Seperti dikutip dari Mongabay Indonesia dari artikel per 25 Maret 2017, perlu setidaknya satu keluarga nelayan di  Muara Baru dan Marunda, Jakarta Utara, mengeluarkan Rp. 10 ribu untuk 100 liter setiap hari. Pendapatan mereka hanya Rp. 25 ribu perhari. Hampir 50 persen dari pendapatan digunakan untuk membayar air bersih. Lalu, bagaiaman dengan kebutuhan lainnya? Mungkin akan diabaikan karena tuntutan perut juga sangat tinggi.

Dalam skala yang lebih luas, bisa dilihat di daerah-daerah terpencil lainnya. Penulis pernah mengunjungi Mentawai. Untuk mendapatkan minyak tanah, perlu biaya jauh lebih mahal dari mereka yang hidup di perkotaan. Harga bisa dua kali lipat dari harga di kota Padang. Sementara pendapatan masyarakat juga tidak banyak. Kebanyakan penduduk berladang.

Masyarakat harus juga membayar lebih mahal untuk bahan bangunan. Keterbatasan ini mengakibatkan masyarakat banyak yang membangun rumahnya dari kayu dan beratap rumbia, yang gampang lapuk karena cuaca yang lembab. Untuk soal kesehatan, jangan ditanya. Untuk sakit berat, masyarakat harus pasrah untuk menunggu feri yang datang menyapa masyarakat sekali seminggu. Untuk menyewa perahu, untuk menyeberangkan ke Padang, sangat mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun