Udara dingin menyelimuti Balai Kampung Desa Surbakti, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Hujan yang turun sepanjang hari di daerah dengan ketinggian 1200-an meter itu, mengurangi derajat suhu udara. Malam hampir menjelang. Masyarakat berkumpul di tempat yang dalam bahasa lokal disebut jambur. Semua peserta rapat yang terdiri dari masyarakat dan pengurus desa mengenakan jaket. Memberikan pertahanan serangan dingin yang semakin menggigit kulit. Angin yang bertiup kencang menyempurnakan suhu udara yang bisa membuat seseorang ingin menarik selimut dan bersembunyi di baliknya.
Rapat yang dilakukan terkait perencanaan desa. Program percontohan dari pemerintah pusat di Desa Surbakti. Satu dari desa yang terdampak erupsi Gunung Sinabung sejak 2014. Programnya membantu masyarakat untuk memformulasikan Rencana Pembangunan Desa (RPP). Di dalam bahasa Inggrisnya sering disebut CSP. Terjemahannya, Community Settlement Plan.
Pada intinya program pendampingan masyarakat ini bertujuan memformulasikan perencanaan pembangunan masyarakat Desa Surbakti yang didasarkan kepada permusyarawatan di dalam masyarakat. Program-program yang akan dimasukkan dalam perencanaan ini harus digali dari kebutuhan nyata masyarakat. Formulasi program digunakan dengan mekanisme rembug atau runggudalam Bahasa Karo.
Formulasi program-program ini dapat menjadi masukan kepada Rembug Desa, Rembug Kecamatan, Rembug Kabupaten dan seterusnya hingga Rembug Nasional.
Rembub-rembug yang bertingkat ini sering dilakuan secara seremonial saja. Kebutuhan real masyarakat sering absen. Persoalannya, tidak ada proses berdiskusi dan berdialog dengan masyarakat. Jika pun ada seringnya terjadi elite capture. Artinya, hanya petinggi desa yang dipanggil untuk melakukan perencanaan. Artinya juga, hanya kebutuhan elit desa yang tertangkap. Ini yang menyebabkan kebutuhan real masyarakat sering tidak terformulasikan secara jelas.
Melalui program formulasi RPP ini, masyarakat dilibatkan termasuk perempuan. Dalam konteks ini, pelibatan Ibu Rumah Tangga menjadi sentral. Dalam bahasa pembangunan, gender balance diupayakan terjadi.
Setelah sholat Maghrib, dari pengeras suara yang suaranya timbul tenggelam, berisik dan tidak terlalu jelas kedengaran, pembawa acara menyapa warga dan mengajak supaya berkumpul semuanya. Acara sudah akan dimulai.
Dan, tidak berapa lama kemudian, dalam balutan jaketnya yang tampak tebal, ditambah topi yang dikenakan untuk menghindari dingin ke kepala, pria pembawa acara kemudian berkata, "Bapak dan Ibu sekalian, acara ini akan dibuka dengan doa agama Islam dan ditutup nanti dengan doa agama Kristen."
Suaranya memang agak tenggelam, tetapi pesan yang ingin disampaikan tersampaikan. Acara yang dihadiri masyarakat dengan agama yang berbeda itu, mengakomodir pendekatan pembukaan acara dengan kepercayaan masing-masing. Sebuah keajaiban. Kejadian yang bagi banyak orang adalah langka.
Kejadian itu menjadi sangat penting dalam konteks banyak peristiwa negatif yang terjadi beberapa waktu belakangan di Indonesia. Di tengah kayanya Indonesia dengan berbagai keragaman agama, suku bangsa, bahasa, kebiasaan, kepercayaan, aliran politik dan adat-istiadat, ada sekelompok masyarakat yang tidak ingin dan merasa tidak nyaman dengan segala perbedaan itu.
Banyak yang mengatakan bahwa perbedaan ini adalah unik. Karena tidak semua bangsa di dunia memiliki kekayaan yang sedemikian rupa. Sewajarnya, perbedaan tidak harus menjadi masalah jika ada penerimaan atas kenyataan ini. Kebhinekaan menjadi kata kunci yang tidak bisa dielakkan melihat kodrat bangsa ini.