Dulu sekali, seorang rekan kantor menyarankan agar berolah raga agar wajah tidak sering kelipat ketika tiba di kantor. Kelipat karena tidak segar. "Berlarilah!", ujar rekan tersebut. Lari adalah olah raga yang paling murah dan meriah. Murah karena tidak membutuhkan biaya yang relatif besar untuk peralatan. Meriah karena banyak yang ikut terlibat dalam olah raga ini. Tampaknya demikian.Â
Nasehat separti itu baik adanya. Tetapi ternyata berlari tidak lagi perkara murah. Meriahnya masih tetap. Masih berwarna warni. Warna-warni mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tetapi, kini berlari tidak lagi murah. Sebabnya, banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli berbagai pernak-pernik lari. Mulai penutup kepala hingga alas kaki.Â
Setidaknya kesan itu muncul dan terbaca dari fenomena berlari yang saat ini sangat marak. Menurut Kompas setidaknya ada 60 even lomba lari yang diadakan di Indonesia setiap tahunnya. Berarti, setiap minggu ada even berlari yang berlangsung. Pesertanya selalu banyak, hitungan ribuan orang. Sebagian kecil pelari serius, sebagian lagi pelari sambilan. Untuk menciptakan 'keriangan' tersendiri, maka dibuatkan berbagai menu lari. Lalu, diberi medali finisher. Semua menjadi pemenang. Semua menjadi riang. Semuanya menjadi penakluk diri sendiri. Semuanya menjadi bergaya dan bagian dari zaman.Â
Untuk berlari atau setidaknya ikut menjadi peserta lomba-lomba lari itu kita seorang perserta harus siap. Memang lomba larinya menyediakan lintasan untuk berbagai kemampuan. Mulai dari 5 kilometer, 10 kilometer, 20 kilometer hingga full marathon. Siap bukan berarti hanya siap dengan fisik prima yang dibutuhkan lomba ini. Siap juga berkaitan dengan segala pernak-pernik yang diperlukan atau 'sengaja' diperlukan. Terlebih lagi terdorong untuk tampil di media sosial. Ini sebuah keharusan. Ini soal perayaan.Â
Mencermati lomba-lomba lari yang dilaksaakan, tergambar betapa perlu kesiapan modal besar untuk menjadi peserta lomba. Disamping biaya ikut lomba yang sudah berbiaya bahkan hingga Rp. 500 ribu, juga benda-benda yang diperlukan untuk berlari.Â
Simak harga-harga benda yang 'diperlukan' untuk ikut lomba lari. Sepatu yang dianggap nyaman dan mendukung berlari, harganya berkisar Rp. 1,2 juta -- Rp. 5 juta. Kaus kaki yang nyaman dan diseiramakan warnanya dengan sepatu berkisar puluhan ribu hingga ratusan ribu per pasang. Celana lari, yang lagi-lagi warnanya dipadu-padankan dengan sepatu dan kaus kaki, memiliki rentang harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Baju lari, kacamata lari, topi lari, head banddan juga wrist band.Â
Dan di atas semuanya perlu gadget untuk mengukur detak jantung, jarak tempuh, kecepatan, dan mungkin informasi terkait kelembaban, suhu udara dan terrain lintasan. Untuk ini sebuah jam tangan dengan segala keistimewaanya bisa hingga 10 juta rupiah. Mahal bukan? Belum lagi menyewa personal trainer, untuk memastikan pemanasan, gerak lari dan sekaligus lebih bergengsi.Â
Untuk menambah tantangan dan juga wawasan, bagi pelari berkantung tebal, mengikuti lomba lari di luar negeri menjadi sebuah keharusan.Â
Apakah semuanya itu terkait dengan kesehatan semata? Tentunya, tidak melihat sebagian yang jor-joran untuk mengikuti sebuah lomba lari. Tidak juga, melihat tingginya animo masyarakat mengikuti lomba lari. Stadion-stadion dimana tempat lari bisa dilakukan, cenderung sepi dari para pelari dengan berbagai kelengkapan itu. Lalu dari mana para pelari itu bermunculan? Lalu, soal apa sebenarnya lomba lari yang laris manis itu?
Gaya Hidup, Kalo gak Gaya gak Hidup
Kemeriahan yang ditandai dengan banyaknya peserta yang ikut dalam loba lari ini, setidaknya dalam pengamatan penulis, ketika bisnis mulai melirik adanya ceruk 'keuntungan' di ajang berlari ini. Sejatinya, peluang yang diciptakan akan mendapatkan keuntungan bagi pelaku bisnis utama dan juga turunannya. Keuntungan tidak melulu finansial tetapi lebih kepada non-finansia misalnya promosi. Untuk daerah yang mendukungnya pun, bisa promosi parawisata di daerahnya. Tetapi, semuanya bisa dipastikan berawal dari pebisnis komersil dengan berbagai teknik marketing-nya. Â
Untuk meningkatkan minat para pelari serius, pelari setengah serius bahkan pelari simpatisan, kegiatan berlari-lari ini dikaitkan dengan gaya hidup. Gaya hidup dimaknai sebagai bagian dari zaman. Jika tidak ikut, maka akan ketinggalan zaman. Tidak gaul dan juga tidak masuk kelas tertentu. Berbondong-bondonglah mereka berlarian dengan berbagai jarak yang ditawarkan. Jika jarak hanya satu jenis, niscaya tidak akan banyak yang ikut. Jika ingin banyak yang ikut, lekatkan dengan gaya hidup, tidak persoalan soal jarak. Yang penting berlari atau ikut berlari.Â
Lalu, banyak kemudian yang tertarik. Siapa yang mau ketinggalan jaman? Siapa yang mau dianggap tidak bergaya? Siapa yang mau dituduh tidak gaul? Siapa yang ingin dituduh kudet? Â Mendorong pesan-pesan itu ke dalam benak setiap orang merupakan gimmick industri dalam kerangka pemasaran. Â
Beberapa hal yang sama bisa disajikan. Pada pertengahan 2000-an, kegiatan olah tubuh di pusat kebugaran (fitness center) pernah menjadi trend beberapa waktu lalu. Pusat-pusat kebugaran menjamur di mal-mal dan pusat perbelanjaan. Kelas-kelas olah raga terlihat padat di saat bubaran kantor. Banyak orang yang rela berkeringat, berbasah-basah di atas treadmill. Mengayuh sepeda dengan RPM tinggi dengan denyut jantung yang menderu. Tendangan-tendangan diiringi suara-suara menghentak terdengar dari kelas-kelas body combat. Belum lagi 'disiksa' pelatih personal berbiaya tinggi. Berbagai program dikembangkan pusat-pusat kebugaran untuk menarik minat berbagai kalangan atas nama gaya hidup.
Bisnis turunannya pun berkembang. Sepatu fitness yang nyaman dicari. Harganya juga tidak murah. Baju-baju dengan lengan kutungnya juga menjadi sesuatu yang dicari. Berbagai merek menjadi kampiun. Beberapa peserta bangga jika sepatu, celana ketat, kaus ketat dan juga sarung tangannya tertera merek-merek terkenal di industri olahraga. Makanan-makanan dan supplemen-suplemen juga dicari. Bagi laki-laki yang tidak sabar ototnya 'menggelembung' dengan segera, tersedia berbagai minuman dan asupan protein tinggi. Harganya, tidak murah tentunya.Â
Mundur ke belakang, tidak terlalu jauh, food combining menjadi trend. Memakan makanan sehat menjadi gaya hidup. Berbagai makanan ditimbagn dengan baik asupan kalori, lemak, protein dan memperbanyak asupan yang menyehatkan. Pengolahan makanan dengan memblender juga menjadi kebutuhan. Mesin-mesin blender dengan kehalusan yang tinggi laku keras. Turunannya, karena makanan harus dibawa dan setidaknya bisa dipamerkan, maka produsen container-container untuk menyimpan makanan pun ikut menikmati perayaan gaya hidup ini.Â
Buku-buku  soal kebugaran dan food combining ini juga laku keras. Industri televisi menciptakan berbagai acara untuk menyehatkan badan melalui olah kebugaran dan juga racik-meracik makanan sehat dan bergaya ini. Majalah-majalah membahas isu-isu terkaitnya. Ahli-ahli kebugaran dan makanan kombinasi ini juga bermunculan. Semuanya merasakan 'kenikmatan' dari kemeriahan ini.Â
Tetapi, tentunya itu tidak bertahan lama. Semuanya hanya sementara. Manusia tidak akan bertahan dengan hal yang sama terlalu lama. Industri juga yang menangkap 'perasaan' tersembunyi ini. Di samping itu manusia juga membutuhkan kebaruan dari segala sesuatunya.Â
Perlahan tapi pasti, pusat-pusat kebugaran itu pun menjadi sepi. Beberapa menutup cabangnya. Meskipun dikembangkan berbagai gerakan hingga yang paling mutakhir zumba, pusat kebugaran tetap ditinggalkan. Sepi. Hanya terisi mereka yang benar-benar niat soal kesehatan tubuhnya.Â
Soal makanan kombinasi itu pun sama ceritanya. Pesan-pesan terakhir malah hanya sekilas saja soal makanan sehat. Tidak ada lagi perayaan. Tidak adal lagi acara di televisi. Tidak ada lagi raungan blender di rumah dan mungkin di kantor-kantor seperti ketika dulu. Â Tidak ada lagi teriakan insturktur fitness yang berteriak garang dari layar televisi.Â
Semuanya sudah berlalu. Gaya hidup itu berubah setiap waktu. Kesempatan itu hanya sementara. Dunia industri paham fenomena ini. Mereka tau selera dan kebiasaan manusia ini. Mereka akan menciptakan kebaruan soal gaya hidup. Lalu menggenjotnya ke benak setiap orang. Lalu ada perayaan lagi.Â
Lalu mereka menungganginya dan memetik keuntungan dari keriangan itu. Memainkan gaya hidup sebagai bagian dari gimmick pemasaran, menjadi trik abadi dunia industri. Meskipun ada yang bertahan seperti celana jeans, tetapi banyak yang hanya menjadi bagian dari sejarah. Dengan kemungkinan bisa berulang kembali. Lekatkan ke gaya hidup, niscaya kemeriahan itu akan muncul. Lalu, jualanlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H