Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kala Modernisasi Menyapa Manyang Cut

15 Mei 2017   22:27 Diperbarui: 16 Mei 2017   09:23 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesin pemotong padi Kubota DC 70 dapat memanen lahan 1 naleh dalam 2 jam. Panen padi di Desa Manyang Cut di Pidie Jaya. Foto: Rinsan Tobing

Akhir-akhir ini, Indonesia dikuyupkan dengan pembicaraan mengenai artificial intelligence. Sebuah imajinasi yang sudah dibentuk sejak berabad-abad lalu. Bahkan jaman Yunani kuno, mitos mengenai robot sudah ada, menurut livescience.com.  Sementara istilah artificial intelligence sendiri baru dibentuk pada tahun 1956 di sebuah konferensi di Dartmouth College di New Hampshire.

Dalam diskusi-diskusi itu, Artificial Intelligence bahkan digambarkan akan menciptakan pengangguran yang luar biasa karena benda-benda yang diciptakan dengan kemampuan berfikir buatan ini akan dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan kompleks. Imajinasi liarnya bahkan menggambarkan mesin-mesin ini akan mengambil alih bumi. Manusia yang dulu menjadi majikan, akan menjadi budak dari mesin-mesin yang telah memiliki nalar.

Pembicaraan artificial intelligence dalam konteks Indonesia secara keseluruhan masihlah sangat jauh, terlalu mengawang-awang. Bicara modernisasi saja masih masih pada tahapan penggunaan mesin yang dioperasikan manusia. Belum pada alat-alat yang mandiri. Itu pun masih terbatas di kota-kota besar. Terbatas di sektor-sektor manufaktur saja. Sementara di sektor lain belumlah tersentuh. Salah satunya sektor pertanian

Untuk membajak, masih mencangkul. Kalau pun menggunakan mesin, hanya traktor tangan. Untuk memanen pun masih dengan cara tradisional, menyabit.  Tetapi, di desa Manyang Cut, Kecamatan Mereudu, Kabupaten Pidie Jaya, modernisasi itu baru saja menyapa.

Memanen dengan Traktor

Di pagi itu pada 30 Maret 2017, ada sesuatu pemandangan baru di desa itu. Sebuah mesin besar pemanen padi berupa traktor mulai mederukan mesinnya. Mesin Kubota DC 70 dengan berat 3 ton dan berdimensi 4,8 meter dan lebar 2,2 meter serta tinggi 2,8 meter itu mampu menyelesaikan panen dengan kecepatan yang luar biasa dibandingkan dengan manual, menggunakan tenaga manusia. Traktor ini mirip bulldozer. Cuma bagian depannya diganti menjadi pemotong yang terdiri dari 5 bilah dan dilengkapi dengan semacam jaring untuk menarik batang padi ke mesin pemisah.

Mesin pemanen di Aceh sendiri baru pertama kali digunakan di Pidie Jaya. Pernyataan ini setidaknya disampaikan Fikri, petani yang sawahnya sedang dipanen. Dengan mesin pemanen ini, sebuah lahan dengan luas 1 naleh atau setara dengan 2.500 meter persegi dapat diselesaikan dalam waktu 2 jam. Mesin itu diopersikan seorang operator dan dua pembantu untuk menampung padi dan memasukkan ke karung. Selanjutnya, padi yang sudah di karung ditumpuk di traktor dan selanjutnya diangkat ke angkutan yang sudah menunggu di pinggir jalan tidak jauh dari sawah yang dipanen.

Waktu dua jam itu dengan kondisi padi berdiri tegak. Jika padinya tidur karena angin, maka diperlukan waktu yang lebih lama, karena prosesnya bertambah, yakni menegakkan batang padi, memotong dan menariknya ke mesin pemisah yang ditempatkan di belakang operator. Penulis sendiri, terkagum-kagum dengan kecepatan mesin panen itu. Mesin biasanya mulai dioperasikan pukul 09.00 ketika matahari sudah mulai tinggi. Ini tentunya menghindari air yang mengganggu sistem pemisahan gabah dan batang padi di mesin.

Semua proses itu berjalan dalam waktu dua jam, yang sangat singkat dan efisien dalam proses panen untuk luas seperempat hektar itu. Harga sewa mesin berharga Rp. 470 juta di toko dan di Pidie Jaya mencapai 500 juta, hanya Rp. 700 ribu per nalehitu.

Jika menggunakan cara tradisional dibutuhkan waktu lebih lama dan tenaga lebih banyak. Menurut Fahri, secara tradisional diperlukan waktu 2 hari dan biaya hingga 2,5 juta rupiah. Biaya initermasuk upah, makan dan minumnya. Dikerjakan oleh 10 orang. Proses tradisionalnya yakni memotong padi, lalu mengumpulkan dan memisahkan gabah dan batang padi menggunakan mesin kipas. Proses yang lebih tradisional lagi yakni setelah mengumpulkan batang padi di satu lokasi, proses pemisahan padi dari batangnya menggunakan cara ‘bantingan’.

Di daerah Tapanuli biasanya dibuatkan meja yang permukaannya terbuat dari bambu yang disusun berjarak. Batang padi akan dipukul-pukulkan ke meja itu dan gabah jatuh ke bawah meja yang dilapisi terpal sebagai penampung. Proses selanjutnya memisahkan gabah yang kosong. Proses ini dilakukan dua orang. Orang pertama menjatuhkan padi dari bakul yang diangkat setinggi kepala dan orang kedua mengipas-ngipas dengan tampi sekuat tenaga. Proses ini tentunya lebih lama dan melelahkan. Setelah itu padi yang bagus dimasukkan ke dalam karung dan diangkut ke lumbung.

Dengan proses yang sangat cepat ini, maka pemerintah Pidie Jaya mencanangkan panen 5 kali dalam 2 tahun. Proses ini tentunya akan mempercepat proses penciptaan swasembada pangan di Pidie dengan siklus tanam yang lebih banyak. Tampaknya modernisasi ini menjanjikan.

Kemudahan dan Dampak Negatifnya

Penggunaan mesin ini relatif masih baru di Pidie Jaya, sekitar tahun 2015. Penggunaan cara modern ini memang menjanjikan dengan efisiensi waktu dan biaya yang relatif. Tetapi proses ini juga membawa masalah bagi para buruh tani.

Petani tentunya memilih cara modern ini. Jika ini digunakan memang akan terjadi penggangguran buruh tani yang biasanya diberdayakan jika menggunakan cara-cara tradisional. Penggunaan traktor pemanen ini juga hanya efektif di lahan-lahan yang luas. Jika digunakan untuk lahan-lahan yang sempit tentunya disamping tidak bisa bermanuver, tentunya harga sewanya akan lebih mahal dibanding kapasitas lahan itu sendiri.

Sementara itu, kecenderungan yang terjadi dari tahun ke tahun yakni terjadinya pengurangan luas lahan. Menurut Badan Pusat Statistik, rata-rata lahan yang dimiliki per rumah tangga di Aceh pada tahun 2013 hanya 2.066 meter persegi. Lahan ini berkurang dari 10 tahun yang lalu yang berkisar 4.000 meter persegi. Lahan yang dimiliki ini adalah akumulasi. Bisa jadi lahan ini tersebar di beberapa lokasi dengan ukuran yang lebih kecil. Jika lahan-lahan ukurannya hanya 500 meter persegi, asumsikanlah demikian, mesin ini tidak akan bermanfaat banyak.

Di samping itu, lahan-lahan di pedalaman juga tidak akan bisa dipanen dengan mesin ini. Akses masuk tidak cukup dan juga lahan yang tidak rata. Di Aceh terdapat juga lahan-lahan sangat kecil dan berundak seperti ditemukan di Kecamatan Mane, Pidie Jaya. Untuk lahan seperti ini praktis yang masih bisa digunakan adalah cara-cara tradisional. Bisa dipastikan traktor ini tidak akan bisa digunakan untuk pertanian lahan sempit dan berundak seperti di Bali.

Dengan demikian, satu sisi modernisasi ini memang menjanjikan. Tetapi, dengan jumlah penurunan luas lahan yang diakibatkan oleh terjadinya konversi lahan menjadi daerah industri, menjadi tidak efektif.

Untuk para pemilik lahan luas maka moderninasi ini akan menjanjikan produktivitas yang tinggi dan menjanjikan keuntungan. Tetapi, pertani-petani dengan lahan sempit tetap tidak bisa memanfaatkan moderninasi berupa mesin pemanen ini. Jika konversi lahan tetap tidak dihentikan, modernisasi itu akan mati dengan sendirinya.

Akhir-akhir ini Jokowi menggencarkan program reformasi agraria dengan membagikan lahan ke masyarakat, tetapi lewat koperasi. Satu sisi ini juga sangat baik untuk meningkatkan sektor pertanian, tetapi jika tetap dimiliki oleh ‘korporasi’ berbentuk koperasi, maka masyarakat akan tetap menjadi buruh karena tidak ada lahan yang bisa diolah dengan produktivitas tinggi yang menjanjikan kesejahteraan.

Modernisasi ini menjadi sebuah pertunjukan yang hanya akan berlangsung sebentar karena lahan-lahan luas yang menjadi ‘kerdil’ karena konversi. Juga pertambahan jumlah anggota keluarga dimana lahan-lahan sawah itu harus dibagi-bagi. Ujungnya lahan mengecil dan tidak memenuhi skala ekonomisnya.  

Modernisasi di Mayang Cut sebuah desa di Pidie Jaya itu memang hasilnya menggetarkan jiwa dilihat dari efisiensi waktu dan biaya. Tampaknya, moderninasi panen dengan mesin itu akan segera sirna jika lahan-lahan itu dibiarkan mengerdil. Modernisasi memang selalu tentang skala. Skala yang besar. Seperti ladang-ladang gandum di Amerika sana yang ujungnya tidak tampak karena sangat luas dan pemiliknya hanya satu keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun