Amerika Serikat heboh dan Cina tak kalah paniknya. Jika Amerika Serikat bangkrut, Cina berfikir tentang piutangnya. Akhirnya Cina ikut membantu Amerika Serikat yang memiliki kekayaan 14 trilyun dolar ini untuk kembali bangkit dengan bail out sekitar 750 milyar dolar.
Cina tidak bisa berkutik melihat kenyataan bahwa ekonomi Amerika Serikat harus ditopang. Karena urusannya terkait piutang yang tidak tertagih jika Amerika Serikat bangkrut. Meskipun Cina tetap memberikan syarat, tetapi itu cenderung sebagai ‘basa-basi’, karena Cina lebih khawatir tentang keberhasilan Amerika Serikat untuk melunasi hutang-hutangnya. Cina harus memastikan piutangnya di Amerika Serikat dapat dicairkan, dengan membantu ekonomi Amerika Serikat.
Posisi kreditur dan debitur jadi terbalik. Biasanya kreditur akan dengan leluasa menekan debitur jika terjadi kendala dalam pembayaran utangnya. Akan tetapi, ketika piutang yang diberikan sudah sangat besar, seperti kasus Cina dan Amerika di atas, debitur malah harus ikut repot-repot untuk memastikan krediturnya dapat berdiri tegak dan bekerja kembali. Kondisi piutang yang sangat besar malah menciptakan perangkap piutang bagi kreditur.
Bisa jadi, para pemimpin negara-negara pengutang itu memahami aspek paradoksal dari hutang negara. Situasi paradoksal ini muncul ketika hutang yang ‘dikuasai’ luar biasa besar. Tentunya, tidak semua seperti itu, hanya negara-negara yang masih dianggap bisa mengembalikan hutang dengan ‘jaminan’ PDB-nya atau kekayaan negaranya, yang akan diberikan hutang, jika ada permintaan. Seperti Indonesia, yang masih dianggap mampu untuk membayar hutang-hutangnya meskipun sudah lebih dari Rp. 3.000 trilyun.
“Perbanyaklah hutang dan siapkan perangkap untuk para kreditor itu” bathin seorang pemimpin lalim di sebuah negeri, dulu sekali. Bisa jadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H