Bukan Kenaikan, Tapi Realokasi Subsidi
Karena kesalahan dalam mengurus negara di masa lalu, Indonesia mengalami ketertinggalan dalam pembangunan terutama infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam masa pemerintahannya, Jokowi mendorong pembangunan infrastruktur masif yang memerlukan pendanaan sangat besar.
Angka yang disodorkan Sri Mulyani menunjukkan bahwa kebutuhan pembiayaan infrastruktur memerlukan pembiayaan hingga Rp. Rp. 4.796 trilyun, untuk pembangunan infrastruktur di semua sektor prioritas, yakni transportasi, telekomunikasi, energi, dan pendidikan. Kebutuhan 2015-2019 ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi ruang fiskal. Kemampuan pemerintah membangun infrastruktur hanya Rp. 380 trilyun per tahun. Dalam 5 tahun, ruang fiskal untuk infrastruktur hanya Rp. 1.900 trilyun. Masih ada selisih sekitar Rp. 2.896 trilyun yang harus diupayakan.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yakni melihat pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja negara. Apakah ada pembelanjaan yang tidak tepat dan harus dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur khususnya listrik? Pemerintah Jokowi melihat ada ketidaktepatan dalam subdisi listrik.
Subsidi tepat jika diberikan pada sasaran yang tepat. Kelompok masyarakat yang harus diberikan subsidi adalah yang memiliki kemampuan ekonomi lemah. Untuk itu, harus dipastikan bahwa penerima subsidi adalah masyarakat golongan tidak mampu. Sesuai dengan tujuan subsidi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat kelompok itu.
Sebagai sebuah ilustrasi, subsidi bahan bakar dianggap tidak tepat. Jokowi, dengan segala risikonya, mencabut subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp. 330 trilyun. Subsidi bahan bakar sebelumnya dinikmati pemilik mobil dan motor, yang dianggap tidak layak subsidi. Subsidi bahan bakar masih tetap diberikan bagi kelompok rumah tangga lemah dan nelayan. Nilainya pada APBN 2016 mencapai 43,7 trilyun rupiah.
Serupa dengan hal di atas, subsidi yang diberikan ke pengguna listrik harus dilihat apakah sudah tepat. Apakah yang menikmati masyarakat yang tidak mampu seperti yang ditargetkan. Ternyata dalam pandangan pemerintah, berdasarkan kajian TNP2K – Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai wakil presiden, dari 22,8 juta pelanggan 900 watt, hanya 4,1 juta yang benar-benar layak disubsidi. Sisanya yang mencapai 18,7 juta dianggap mampu membiayai sendiri.
Selanjutnya, yang dilakukan pemerintah adalah mengalihkan pembiayaan subsidi energi dalam sektor kelistrikan untuk membangun infrastruktur listrik. Realokasi anggaran ini sebesar 25 trilyun per tahunnya. Kelompok masyarakat yang masih disubsidi saat ini adalah kelompok masyarakat pengguna listrik 450 watt dan 4,1 juta pelanggan 900 watt yang layak subsidi.
Uang sebesar ini cukup untuk membiayai percepatan pembangunan infrastruktur listrik untuk menerangi daerah yang belum memiliki jaringan listrik di 2500 desa dengan penduduk 16 juta, khususnya di Indonesia Timur.
Subsidi memang sering digunakan sebagai instrumen ekonomi sekaligus politik negara. Subsidi cenderung populis dan disukai oleh masyarakat, karena meringankan. Tetapi, jika subsidi tidak tepat dan dalam jangka lama, serta jika negara tidak mendapatkan sumber pendapatan dari hasil produksi negara tersebut, maka subsidi akan menyebabkan masalah keuangan pemerintah. Terlebih lagi, listrik akan terus mengalami kenaikan karena bahan bakar yang digunakan juga mengalami kenaikan.
Dalam konteks masyarakat, realokasi anggaran ini memang secara kasat mata akan menambah beban masyarakat karena adanya penambahan belanja rumah tangga. Kenaikan yang memang direncanakan dalam tiga tahap, dengan kenaikan 30% setiap tahapnya. Harga subsidi untuk golongan 900 watt ini sebelum kenaikan tahap pertama Rp. 605. Setelah pencabutan subsidi pada bulan Juli 2017, akan terjadi kenaikan 242,52%.