Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menjemput Sebentuk Keindahan di Ujung Pancu

11 Mei 2017   22:18 Diperbarui: 12 Mei 2017   18:13 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perasaan ini bergejolak setiap ditugaskan ke Aceh. Pengalaman tinggal di Aceh selama dua tahun pasca tsunami meninggalkan banyak kesan yang mendalam. Terkait dengan orang-orang yang terdampak dan juga alam Aceh yang sangat indah. Barisan pantai di pesisir Barat dan pegunungan yang masih perlu dijelajahi. Di Aceh juga aku awalnya ‘menemukan’ keindahan langit. Langit berwarna biru cerah ketika siang hari dan langit berwarna-warni di senja dan menjelang pagi. Setelah pindah ke Jakarta, teman-teman kantor sering merasa aneh dengan sikapku. Suka memandangi langit Jakarta, lalu protes. Sebab langit yang selalu kelabu karena polusi yang tinggi.

Tidak demikian dengan Aceh. Langitnya masih biru, alamnya masih segar dan tentunya sudut-sudut pulau yang menyajikan keindahan, sebut saja Sabang. Pantai-pantai yang putih bersih dan karang-karang yang indah akan segera menyambut jika berkelana ke Pantai Iboih, tidak jauh dari titik nol Indonesia.

Dan, di penghujung Maret itu, saya ditugaskan kembali ke Aceh. Sebagai pecinta foto landscape, saya langsung membayangkan peralatan yang harus dibawa. Soal tugas sudah kebayanglah, gampang. Soal membingkai keindahan alam Aceh, terutama Banda Aceh, persiapan harus disiapkan. Kamera, tripod, baterei esktra dan filter. Semuanya harus dipastikan masuk ke tas kamera. Ketinggalan laptop kerja dan celana dalam, tidak masalah. Ketinggalan alat foto itu alamat moodmengejar keindahan bisa berubah.

Banyak yang bisa dibingkai di Banda Aceh. Kotanya yang giat berkembang setelah tsunami, lokasi-lokasi terdampak tsunami dulu, bangunan-bangunan yang masih disisakan sebagai pengingat dan pesawat Dakota RI 001 Seulawah yang bertengger di Blang Padang. Sementara untuk kuliner, tentunya mie Aceh yang nikmat, ayam tangkap dan kopi Aceh yang nikmat. Jangan sampai terlewat.

Setelah menjejakkan kaki di Banda Aceh dan bertemu rekan disana, diskusi bukan soal pekerjaan. Tetapi, lebih pada lokasi foto landscape. Beruntung, salah satu rekan di Banda Aceh itu pecinta fotografi juga. Boy, begitu dia menyebut dirinya, nama asilnya Baihaqi, menyebutkan Ujung Pancu. “Sunrise-nya bagus, Bang” dia meyakinkan saya. Sembari menunjukkan foto-foto dia menjabarkan hal yang menarik di ujung pancu. “Ada pattern nih, Bang” tambahnya lagi sambil menunjukkan pola-pola yang tampak di pasir dari sebuah foto sunrise-nya. “Disana juga ada perahu, batu-batu dan kalau beruntung nelayan yang menangkap ikan, Bang” cerocosnya lagi.

Otak sudah tidak fokus lagi dengan penjabarannya. Terbayang komposisi, warna-warni, drama di langit dan di permukaan air laut yang harus diabadikan. “Bisa nanti ikut bareng saya?” tanyaku pada Boy. “Belum pasti, Bang” jawabnya cepat. Bisa jadi karena dia sudah sangat biasa dengan spot foto alam itu.

Tetapi, yang namanya alam, pastinya tidak pernah sama. Jikapun sering kesana, tidak pernah ada pemandangan dan momen yang sama persis. Aku lebih yakin dia punya kesibukan lain. Di benak masih terus berputar soal menejar matahari terbit di Ujung Pancu, sementara beban tugas juga tidak ringan. Sembilan hari di Aceh, tetapi hanya satu hari di Banda Aceh. Akhirnya aku putuskan membingkai keindahan alam itu di pagi terakhir, yakni di hari ke sembilan. Aku berdoa, semoga tidak hujan.

Batu, Tanaman, Matahari, Perahu dan Air Laut

Bagi pecinta foto landscape, mendapatkan foto sunrise yang indah rasanya sebuah kewajiban. Bagi pecinta landscape, perjuangan mendapatkan keindahan itu memang cukup menantang. Peralatan yang harus siap, mengorbankan waktu tidur karena bangun harus subuh dan menjelajahi alam yang menuntut stamina yang mumpuni.

Pernah temanku harus merelakan kecintaannya pada foto landscape karena persoalan stamina itu. Padahal dia seorang diver. Tetapi menurutnya membingkai alam itu lebih melelahkan dari pada foto bawah laut. Sehingga kameranya harus dijual lagi. Tetapi begitulah adanya proses pembingkaian bentang alam ciptaan sang Mahaesa itu. Persiapannya mungkin tidak terlalu rumit, tetapi ke lokasinya kadang harus berjuang.

Dan subuh itu di 4 April 2017, setelah hanya tidur kurang dari 4 jam, aku terbangun pukul 04.00. Bergegas membawa tas kamera dan tripod yang sudah disiapkan dari malam. Mata masih belum rela terbuka. Badan masih minta untuk dibaringkan. Untunglah, alarm di telepon pintar setia berteriak dengan nyaring hingga aku terbangum. Menyeret badan dan mencuci muka, sikat gigi dan minum air tawar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun