Kematian media-media cetak di berbagai belahan dunia telah menjelang. Setidaknya berbagai media cetak sudah menutup operasinya. The Independent, koran cetak terkenal di Inggris telah menutup versi cetaknya akhir Maret 2016. Sebelumnya, koran-koran di Amerika juga memutuskan untuk tidak mempertahankan koran versi cetak. The Washington Post, koran berusia 80 tahun menemui ajalnya setelah dijual ke Amazon.com pada Agustus 2013.
Majalah Newsweek dan Reader Digest juga sudah menghentikan versi cetaknya sejak 2013. Koran-koran lokal di Amerika juga sudah banyak melakukan hal yang sama. New York Times versi cetaknya ditenggarai akan menemui ajalnya segera, setelah pada 2013 telah mengurangi volume dan sekaligus menutup kantornya di Paris. Banyak diantaranya yang fokus pada versi digital atau online.
Di dalam negeri, cerita serupa juga terjadi. Koran-koran versi cetak baik nasional maupun regional menemui senjakalanya. Sinar Harapan, Harian Bola, Jakarta Globe dan Koran Tempo Minggu berhenti menemui pelanggannya pada 2015. Pada 2016, Koran Tempo edisi Makasar juga menutup mata.
Penurunan pendapatan iklan ditenggarai menjadi pasal dari penutupan koran dan majalah versi cetak ini. Jumlah pemasukan melalui versi cetak tidak mencukupi lagi membiayai produksinya. Di Amerika alasannya ada dua, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan revolusi digital dengan adanya jaringan internet.
Di Indonesia sendiri, sejarah koran cetak juga tidak cemerlang. Informasi yang dikutip dari tirto.id yang diolah dari Serikat Perusahaan Pers, jumlah oplah koran seluruhnya pada 2008 hanya 7,49 juta untuk 1005 surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah, dan tabloid. Kenaikan terjadi hingga 2014 pada angka 9,65 juta dari 1321 media. Rata-rata pembaca hanya sekitar 7.500 pada 2008 dan 7.300 pada 2014 untuk setiap medianya. Jumlah ini sangat kecil. Minat baca masyarakat bisa juga dijadikan kambing hitamnya.
Selanjutnya trend menurun dari segi oplah dan juga jumlah media pada 2015. Pembaca menurun hingga 8,79 juta dari 1218 media. Dipastikan, trend menurun ini berlanjut pada 2016, 2017. Kematian media-media cetak hanya menunggu waktu saja. Memang akan selalu ada permintaan akan media cetak, tetapi pemasukan tidak mencukupi untuk menutup biaya operasional. Sehingga keputusan untuk tidak mengurusi versi cetak harus diterima sebagai sebuah kenyataan.
Kompas cetak sendiri saat ini masih bertahan. Meskipun menjadi koran dengan oplah terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara pada 2011, Kompas cetak ternyata hanya beroplah 500.000-600.000. Upaya menjangkau lebih jauh dengan membuka kantor-kantor regional yang juga mencetak koran untuk memastikan kehadiran lebih awal. Meskipun ditambah dengan beberapa kantor cetak, tetap saja jangkauannya sangat terbatas.
Kompas menyadari bahwa versi cetak ini tidak akan berlangsung lama lagi. Harus dilakukan sebuah migrasi ke media yang lebih murah, jangkauan lebih luas dengan strategi jitu mempertahankan pendapatan dan sesuai tuntutan lingkungan.
Selayaknya, sebagai sebuah learning organization dan knowledge-based news producer dengan dukungan data dan informasi yang kuat, Kompas harus beradaptasi pada perubahan lingkungan yang semakin paperless. Kompas harus beradaptasi dengan kebiasan generasi yang akan menjadi pelanggannya. Kompas menyadari bahwa migrasi format ini harus diantisipasi lebih awal untuk memastikan keberlangsungannya. Versi digital harus dipilih.
Versi Digital Kompas
Siapa pembaca kompas di masa depan? Tidak lain adalah generasi digital native. Generasi yang sejak ‘mbrojol’ sudah diperkenalkan dengan smartphone, tablet, phablet dan semua gadget yang berbasis digital. Mendengar lagu, maunya digital. Baca buku inginnya digital. Melihat gambar, ya digital juga. Membaca berita pun pasti sama. Mereka tidak akan pernah membaca koran Kompas versi cetak. Di samping mungkin malas membawanya, juga dianggap jadul.
Sementara generasi sebelumnya, digital refugee dan digital migranttidak langsung meninggalkan Kompas cetak ini. Ditenggarai karena sudah terpapar cukup lama. Ada memori yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebagai contoh, kegiatan harian baca koran pagi sambil minum kopi sebelum ngantor.Jika di kantor, membaca koran sebelum bekerja. Bau koran cetak dan suasana yang terbentuk tidak mudah dihilangkan begitu saja. Bahkan soal tangan terentang ketika membaca koran dan juga bunyi kertas ketika halaman dibalik memberikan sensasi tersendiri yang tidak akan dimiliki dan dimengeri generasi digital native. Sementara ini, Kompas cetak ada untuk dua jenis generasi yang terpapar platform digital.
Upaya untuk memenuhi keberlangsungan ditengah gempuran media digital dan juga pergantian generasi di masa yang akan datang, Kompas telah memulainya sejak tahun 2008. Berbagai versi juga dikeluarkan untuk memenuhi berbagai platfrom dan bahkan gawainya.
Terjadi masa penjelajahan yang cukup panjang untuk versi digital ini. Edisi digital dimulai dengan ePaper yang digagas pada tahun 2008 dan secara resmi diluncurkan pada 1 Juli 2009. Untuk memuaskan para pelanggan, Kompas menyediakan berbagai informasi dengan media berbeda. Ada yang khusus untuk iPad dan Playbook milik Blackberry. Untuk ePaper ini masih agak rumit, karena ada addonyag harus diinstal untuk dapat mengaksesnya.
Scoop juga dirambah untuk memperluas jangkauan dengan menggunakan aplikasi pada sistem mobil yakni android dan iOS. Layanan ini masih berbayar. Kemudian meluncur digital.kompas.com. Ini berbeda dengan kompas.com. Jika kompas.com dibangun untuk menyediakan berita-berita hardnews, digital.kompas.com ini ingin mendigitalkan versi kompas cetak yang cenderung bersifat softnews. Bentuk selanjutnya dari versi ePaper.
Kompas.id
Kemunculan paling akhir dari kompas cetak versi digital ini memang ditenggarai untuk menggabungkan berbagai format digital yang sudah muncul sejak 2008.
Kerumitan untuk mengakses kompas cetak versi digital ini dengan berbagai versi dan platform dikira Kompas cukup merepotkan. Dari sisi produksinya juga akan menambah biaya operasional sementara jangkauan pembaca tidak bertambah. Demi varian yang berbeda tadi, meskipun tidak semahal versi cetak koran, harus ada tambahan pekerja. ePaper pun masih tidak nyaman.
Dari pada membuat kompas cetak versi digital dengan berbagai platform, maka dimunculkan kompas.id tanpa ada addon dan langsung bisa diakses lewat peramban. Versi ini lebih ringkas. Ini jauh lebih mudah dan hanya satu produk dari versi cetak yang bisa diakses dengan berbagai gawai.
Akan tetapi, seperti disampaiakn di awal, versi digital Kompas cetak ini ditenggarai sebagai ancang-ancang menyambut kematian versi cetak yang mungkin sudah di depan mata. Generasi pembaca koran cetak, yang bisa diklasifikasikan sebagai digital refugee dan digital migrant, pasti akan hilang pada waktunya.
Generasi selanjutnya, digital native yang digital-minded, generasi yang begitu lahir langsung berkenalan dengan platfom digital. Generasi ini akan rikuh dengan dokumen berbasis kertas, termasuk bahan bacaannya. Segala sesuatu harus bisa diakses dengan cepat dan dari mana saja. Ini memang masih tergantung pada pihak ketiga, yakni sambungan internet.
Di samping memenuhi kebutuhan pelanggan masa depannya, kompas cetak juga dapat memperluas jangkauannya hingga ke pelosok bumi. Syaratnya internet ada. Tantangannya disamping ketersediaan koneksi internet yang pastinya berbeda disetiap lokasi, kontenya juga harus relatif ringan. Jika lambat dan berat ketika mengunduh, maka generasi digital native ini pun akan secepat kilat berpindah situs. Itulah sifat mereka. Tidak sabaran.
Hilangnya versi cetak ini dari sisi para aktivis lingkungan sangat menguntungkan. Permintaan koran cetak tentunya akan mengurangi permintaan kertas yang hulunya berkurangnya penebangan kayu sebagai bahan baku pembuat kertas. Tetapi, dari sisi Kompas sendiri masih ada tantangan termasuk menyeimbangkan pemasukan yang sama atau lebih besar untuk menjaga dapur perusahaan tetap ngebul. Pendapatan iklan harus digarap secara maksimal. Tetapi satu sisi jika terlalu banyak akan memberatkan dalam proses unduh.
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus dengan tema Kebiasaan Anda Bermedia pada tanggal 26 April 2017, dimana penulis menjadi salah satu pesertanya, ditemukan fakta bahwa kebanyakan iklan akan mengganggu pembaca. Jika tidak nyaman dan mengganggu, pembaca akan segera meninggalkan situs.
Selain itu juga ditemukan juga bahwa jika berbayar, maka akan cenderung pelanggan berpindah, mencari berita dari sumber lain yang tidak berbayar. Ini sejalan dengan pendapat Peter Peterson, Kolumnis untuk the Guardian dan the Observer, yang mengatakan paywalls push readers away.
Akan tetapi, dengan segala tantangannya, Kompas meluncurkan Kompas.id. Hari ini, sepertinya Kompas.id sudah resmi. Memang tidak ada deklarasi yang disampaikan. Ini hanya terbakan. Sebabnya, tulisan beta pada logo Kompasnya sudah disingkirkan. Era kematian media cetak memang sudah harus diantisipasi jauh-jauh hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H