Dengan demikian, tidak heran jika kasus korupsi KTP-el senilai Rp. 2,3 trilyun dari total anggaran berkisar Rp. 5,9 trilyun dapat terjadi. Dahsyatnya, upaya pencurian uang rakyat itu dimulai dari perencanaan program. Muaranya, pelayanan KTP-el tidak pernah tuntas. Spesifikasi yang semula direncanakan menjadi satu nomor kependudukan dengan data biometrik di dalam tubuh KTP itu, ternyata hanya menjadi KTP plastik. Tidak bisa difotokopi pula. “Bubrahsemuanya” geram Jokowi ketika menanggapi kasus ini.
Pada akhirnya, jika bangsa ini bercita-cita menghilangkan praktek korupsi dari bumi Indonesia, sepertinya satu generasi harus dihilangkan. Generasi baru harus ditanamkan nilai-nilai kejujuran. Pemahaman akan hasil dan proses juga diinternalisasikan melalui berbagai cara di keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Sehingga, tidak ada lagi rasa gak enak di hati ketika mengurus KTP di kelurahan. Tidak ada lagi pandangan salah tentang pejabat dan jumlah kekayaannya.
Hukuman juga dibuat maksimal dengan efek jera yang kuat. Barangkali hukuman mati yang diterapkan Cina bagi pelaku korupsi di negara itu, layak dipertimbangkan. Kejahatan korupsi, seperti dicantumkan dalam Undang-Undang KPK No. 30 Tahun 2002, adalah kejahatan luar biasa. Selayaknya, kejahatan itu harus diganjar dengan hukuman yang luar biasa juga.
Jika tidak demikian, maka praktek-praktek korupsi yang menghancurkan segala aspek dan kehidupan bangsa ini, tidak akan pernah benar-benar bisa hilang. Masyarakat Indonesia kemudian hanya akan menerima remah-remah peradaban dunia. Bangsa ini akan selalu menjadi bangsa kelas pariah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H