Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Senangnya Diundang ke FGD Kompas di Palmerah

27 April 2017   18:34 Diperbarui: 28 April 2017   14:33 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta FGD Kompas tentang Kebiasaan Anda Bermedia sedang membahas salah satu pertanyaan yang diajukan fasilitator. Peserta berasal dari berbagai profesi seperti konsultan, pengusaha, pegawai Bank, pekerja di perusahaan asuransi dan karyawan di news agency. Foto: Rinsan Tobing

Sebuah panggilan mampir ke telepon pintarku. Nomor tidak tercatat di phonebook. Biasanya panggilan seperti ini aku abaikan. Dipastikan panggilan tak terdaftar itu berasal dari telemarketer. Mereka sering menawarkan asuransi, kartu kredit dan pijaman tanpa agunan.

Kali ini, entah kekuatan apa yang mendorong, aku menjawabnya. Terjadilah perbincangan. Di seberang sana, ada suara perempuan yang menyampaiakan salam dan menjelaskan asalnya dan maksud menghubungi.

Tak dinyana, suara perempuan itu memberitahukan bahwa aku diundang ke sebuah Focused Group Discussion Kompas pada tanggal 26 April 2017. “Apakah Bapak bisa datang sehabis jam kantor. Acaranya mulai jam 17.30” ujar suara di seberang. “Bisa, bisa” jawabku mantap. Diundang Kompas ke sebuah FGD itu rasanya sesuatu banget. “Baik, Pak. Undangan segera saya kirimkan”, tegasnya, sebelum menutup telepon. “Siap”, jawabku mantap.

Pembicaraan singkat itu, disamping menyampaikan undangan, juga ada interview singkatnya. Hal yang ingin diketahui termasuk nama lengkap, usia dan kebiasaan bermedia. Sudah pasti, dengan mudahnya aku menjawab. Senyum mengembang. Suatu kebanggaan menyeruak di dada. Diundang Kompas itu rasanya sesuatu banget.

Tidak berjeda lama, undangan masuk ke email pribadi. Jarak waktu di telepon dan undangan diterima kurang dari 3 jam. Undangan, dengan namaku tertera di bagian addressee-nya, menjabarkan judul kegiatan yakni Focused Group Discussion Kompas dengan topik Kebiasaan Anda Bermedia.

Melayang pikiran, membayangkan kira-kira seperti apa diskusinya. Diskusi, sesuatu yang aku sukai sejak dulu. Diskusi yang memberikan pencerahan selalu menjadi kesukaan sejak dari sekolah dasar. Setidaknya menurut teman-teman yang kenal aku dari kecil. Kira-kira berapa yang diundang, pertanyaannya akan seperti apa dan kemungkinan ketidakmampuan menjawab pertanyaan. Tetapi, aku berhasil menghapuskan semuanya dan mengatakan pada diriku sendiri, jalani sajalah.

Diskusi Informal yang Menyenangkan

Selain undangan yang diterima, beberapa hari selanjutnya aku menerima pesan-pesan singkat dari Kompas. Isinya ingin memastikan bahwa saya bisa menghadiri acara FGD itu. Semakin sering dihubungi, kok rasanya semakin penting. Makin tidak karuan rasanya, membayangkan kemungkinan-kemungkinan diskusi yang akan terjadi.

Tanggal 26 April pun tiba. Ketika jam telah menunjukkan 16.30, aku bergegas meninggalkan kantor. Hujan lebat baru saja mengharu-biru Jakarta Selatan dimana aku berkantor. Rencananya mau naik transjakarta, tetapi hujan belum juga berhenti. Pasti basah jika memaksa jalan kaki dari lobi kantor ke halte terdekat. Akhirnya diputuskan naik taksi.

Dan, macetnya minta ampun. Dengan gelisah beberapa kali aku tanyakan sopir, kira-kira sampenya jam berapa. Setelah melihat handphone-nya yang dipasangi google map, sopir mengestimasi perjalanan hanya 45 menit. Memang tidak tepat, jam 17.05, aku tiba di lokasi diskusi. Gedung Kompas Gramedia Unit II. Lantai 2, Jl. Palmerah Selatan No. 26-28, Jakarta. Diskusi dilaksanakan di Ruang Mature.

Ternyata, peserta lain belum tiba. Aku menanyakan ke Mbak Diah, yang rajin ngirim pesan dan menyambutku di lift, kira-kira berapa yang diundang. “Kami mengundang 10 orang, Pak”, katanya sambil mengantarku ke ruangan. “Kriteria seleksinya?” kejarku lagi. Penasaran juga alasan mengundangku. Ternyata dilihat dari keaktifan mengakses Kompas.id, usia dan juga pekerjaan.

Akhirnya, tepat jam 17.59 acara dimulai. Mbak Nicky yang mengirimkan aku email undangan, membimbing diskusi. Seperti biasa, perkenalan dilakukan. Untuk dokumentasi, panitianya menyediakan sound recorder, handycam dan kamera. Lengkap sekali. Rasanya menjadi sangat penting. Setiap peserta juga diminta mengisi kuesioner. Mbak Nicky melanjutkan bahwa diskusi dilakukan sesantai mungkin, tidak ada benar dan salah. Semua peserta boleh menyampaikan pendapatnya dan itulah tujannya diundang.

Setelah menjelaskan tujuan diskusi dan cara diskusi, Mbak Nicky mengajukan pertanyaan perdana. Bagaimana kegiatan bermedia sosial setiap hari? Masing-masing perserta menjelaskannya. Semuanya peserta bisa dikatakan pelaku media sosial yang sangat aktif. Mulai dari bangun pagi hingga tidur, tidak terlepas dari aktivitas bermedis sosial termasuk mencari berita-berita dari situs-situs yang ada.

Pertanyaan tentang media konvensional juga diajukan. Pertanyaan apakah media cetak masih perlu menjadi pertanyaan yang agak menantang. Tetapi para peserta meyakini bahwa suatu saat koran cetak akan mati dan semuanya akan berbasis online. Saat ini media cetak masih hidup, karena masih ada generasi yang disebut sebagai generasi digitial refugee dan digital migrant. Generasi yang lahir sebelum pada zaman digital.

Jika ditegaskan, generasi yang lahir sebelum tahun 1990-2000. Generasi ini masih suka dengan suasana membaca koran, membolak-baliknya, aromanya dan juga kebiasaan membaca koran di pagi hari sembari minum kopi. Nanti, ketika generasi digital native yang mayoritas, maka koran cetak akan menemukan senjakalanya.

Terkait media-media yang diakses dan hubungan antar media yang diakses tersebut dengan kebiasaan bermedia sosial, peserta memiliki kesamaan. Pada akhirnya, media-media mainstreamakan menjadi acuan untuk mengkonfirmasi berita-berita yang berseliweran di masyarakat. Media mainstreamyang memiliki budaya jurnalistik yang matang dan dewasa, tentunya, yang ditopang oleh data dan informasi yang terkelola dengan baik.

Di Kompas sendiri ada Pusat Informasi Kompas yang mengelola informasi dan data dalam berbagai format. Data dan informasi sejak berdiri. Ini merupakan kekuatan sebuah media dalam menjalan visi ideal dan juga sosialnya.

Bagi peserta, media sosial digunakan sebagai tempat mencari isu-isu yang lagi happening. Berbagai isu sesuai kesukaan peserta. Isu-isu itu kemudian dikonfirmasi ke media utama. Yang menjadi rujukan peserta yakni Kompas cetak, kompas.id dan beberapa media cetak nasional lainnya. Tentunya yang punya reputasi.

Akhirnya diskusi mengerucut tentang Kompas.id. Format digital dari kompas cetak, dulunya kompasprint. Bagaimana kira-kira kompas.id diterima pembaca. Semua yang hadir mengakses kompas.id setiap hari. Kemudahan yang ditawarkan tentunya sifatnya yang online. Jika tidak sempat membaca di rumah, kompas cetak dapat di akses melalui kompas.id, dimana saja.

Format digital kompas cetak ini memberikan cakupan yang luas. Bahkan pembaca koran cetak kompas yang sedang bepergian di luar kota yang pun, tidak harus kehilangan ‘kompas cetak’. Terlebih mereka yang ada di luar negeri.

Pertanyaan selanjutnya terkait apakah format Kompas.id sudah nyaman? Apakah perlu dibuatkan versi premiumnya, sehingga lebih menarik? Mungkin karena memang sudah matang bermedia sosial, para peserta tidak memusingkan format dan layout serta coloringKompas.id yang sekarang.

Peserta cenderung lebih fokus ke konten, karena sudah percaya dengan akurasi dan kredibilitasnya. Penulis sendiri melihat sistem manajemen informasi dan data yang dimiliki Kompas sangat mendukung proses produksi dan penyebaran berita yang berbasis kepada pengetahuan – Knowledge-based News.

Jikapun masih harus dikembangkan, tentunya diarahkan kepada generasi digital native. Generasi ini hidup dengan data digital yang sangat masif. Mereka cenderung menyukai audio dan visual yang colorful. Untuk ini, memang tampilan Kompas.id masih harus dikembangkan.

Sementara, menciptakan Kompas.id dengan predikat premium, sebaiknya dihindari. Sebabnya, menjadi premium sering diartikan menjadi ekslusif dan mahal. Sementara fitur-fitur yang hendak ‘dijual’ tidak ada.

Beda dengan produk barang misalnya. Lihat saja mobil, dengan menambah sun roof, mobil bisa dikategorikan sebagai premium. Tidak demikain halnya dengan media berita online. Disarankan, tetap seperti ini tetapi tentunya dengan harga yang lebih murah untuk jangkauan yang lebis luas. Ditambahkan juga, supaya datanya dibuat lebih ringan. Karena mengakses Kompas.id ini sangat tergantung pada koneksi internet. Terutama di wilayah-wilayah lain di Indonesia selain Jawa.

Harapan-harapannya

Peserta sepakat, bahwa saat ini banyak sekali berita-berita yang sangat sukar dipertanggung-jawabkan. Berita yang sumbernya tidak jelas dan cenderung tendensius sangat membahayakan kohesi di dalam masyarakat Indonesia.

Untuk ini, Kompas.id memiliki tanggung-jawab sosial. Dengan demikian, Kompas.id harus menjadi rujukan berita yang aktual, presisi, akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan. Karakteristik itu menjadi penting untuk ditonjolkan. Dengan adanya basis online ini, jangkauannya pastinya akan jauh lebih luas. Meskipun tetap harus dicatat kendala dalam proses akses dan kemampuan masyarakat mengaksesnya. Harga langganan yang ‘affordable’menjadi hal yang diajukan selain faktor-faktor tadi.

Di atas semuanya, Kompas.id harus menjadi brand yang kuat, bukan sekedar nama domain. Sehingga ketika ditanyakan sumber berita maka yang muncul adalah kompas.id. Kompas harus meniru sebuah restoran cepat saji yang dianggap berhasil menginternalisasi merek mereka ke pelanggan. Sehingga, setiap ditanya mau makan fast food apa, yang muncul merek itu. Seperti juga merek air mineral yang sangat kuat. Air mineral lain pun tetap namanya merek tersebut. Harapannya Kompas.id dapat menjadi brand yang selalu di urutan nomor satu di search engine di kepala para pencari berita.

Akhirnya, ketika jam telah menunjukkan 21.15 menit diskusi usai. Mbakk Nicky minta maaf karena telah menyita waktu peserta sekaligus berterimakasih karena sudah datang ditengah kesibukan dan juga akses ke daerah Palmerah yang sering macet.

Peserta juga mengucapkan terimakasih. Diberi kesempatan untuk menjadi peserta FGD Kompas adalah sebuah pengakuan. Masing-masing peserta sepakat, bahwa ada kebanggaan diajak diskusi oleh Kompas.

Setelah masing-masing peserta difoto, diskusi resmi ditutup. Sedikit pengalaman bertambah. Sedikit kenalan bertumbuh.

“Mbak Nicky, kalau ada diskusi lainnya aku diundang yah. Aku pasti datang” ujarku, sambil berlalu menyusul peserta lain yang sudah keluar ruangan. Setelah mendapatkan jawaban ‘ya’ dari Mbak Nicky, barulah aku benar-benar berlalu. Tetapi, ada sebuah suara di hatiku berkata, “Ini semua pasti gegara Kompasiana”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun