Mengelilingi Indonesia sambil bekerja merupakan anugerah tersendiri. Dalam menjalankan tugas, penulis sering menemukan hal-hal unik. Unik tentunya karena tidak biasa. Bisa juga pengalaman yang membangkitkan kenangan, yang membuat senyum-senyum sendiri.
Perjalanan ke Aceh kali ini dalam rangka melihat kerentanan bangunan sekolah pasca gempa. Tibalah kami di sebuah sekolah, sebuah SMP Negeri di Kecamantan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, yang berlokasi di tengah persawahan. Sawah-sawah yang menghijau menemani waktu berlalu. Matahari yang menyengat terlupakan. Angin semilir mengeringkan sedikit keringat yang mengalir di kening.
Tiba di suatu ruangan kelas yang hendak dievaluasi, mendadak penulis terdiam. Pemandangan di dalam kelas mengingatkan pada kenangan yang sudah lama sekali tersimpan di memori. Mungkin sudah masuk memori bawah sadar.
Kursi-kursi di kelas itu dari kayu berwarna coklat tua. Meja-meja juga memiliki warna yang senada. Kelas kelihatan sudah tua. Tetapi, coretan-coretan itu menghentakkan kesadaran. Meja-meja yang menjadi korban cinta, rindu dan kasmaran, berdiri kaku pada posisi yang tidak teratur. Coetan-coretan memenuhi seluruh meja dan kursi.
Dari lima ruang kelas yang dimasuki, seluruh kursi dan bangku tidak lolos dari coretan-coretan. Bukan coretan-coretan bombastis yang memuat ajakan berdemonstrasi. Bukan pula coretan-coretan berisi kisah-kisah yang mencerahkan. Bukan pula motivasi-motivasi yang menggelegar.
Coretan-coretan putih yang dibuat menggunakan tip-ex yang memenuhi seluruh meja dan kursi di ruang kelas, berisi ungkapan-ungkapan. Coretan-coretan itu dipastikan hasil dari dorongan gelombang rasa ‘cinta monyet’ yang menderu-deru.
Isi coretan semuanya bernuansa ‘galau’. Ungkapan-ungkapan galau anak remaja yang sedang kasmaran. Ungkapan remaja yang sedang bingung sebab perasaan yang tiba-tiba membuncah.
Di suatu ruangan kelas ditemukan coretan-coretan “Jangan PHP ya sayang. I Love you. Buat Kamu. I need you. Sayang kamu selamanya. You and I.I don’t like you. I don’t love you. Fira love Dani and Afdal. Love Igbal, Love Igbal. Aku cinta kamu by Hauzan”.
Di ruangan lain ditemukan “Cintaku tak mesti denganmu. Jangan pernah buat aku kecewa. Morning sayang. Miftah VIII A. I don’t care, Miftah”. Sepertinya di sekolah itu Miftah paling banyak penggemarnya.
Coretan-coretan itu mirip isi telegram, yang singkat dan padat. Isinya jelas dan terhujam mantap. Cuma, pengirimnya tidak jelas. Hanya bisa diraba-raba saja. Ungkapan-ungkapan cinta dan sayang itu tertera di meja-meja kelas merupakan gambaran perasaan yang tidak sampai yang harus diupayakan terkirim. Jika mulut tidak kuasa bertindak, meja-meja dan kursi bisa menjadi media mencurahkannya.
Coretan-coretan itu pun masih diimbuhi berbagai gambar. Bunga, hati perlambang cinta, dekorasi, hati yang patah dan masih banyak lagi citra-citra yang tidak jelas maknanya. Satu hal yang pasti, kegalauan tergambar jelas dari kerancuan dan keabstrakan gambar yang tersaji.
Wajah kursi yang sudah bopeng, semakin buruk dengan hadirnya bukti keras kegalauan dalam coretan-coretan itu. Kelas yang tadinya ‘indah’ menjadi buruk rupa. Hanya meja dan kursi guru yang luput dari coretan berisi luapan perasaan para remaja ini.
Dulu sekali memang pesan-pesan di meja kerap menjadi sarana menyampaikan perasaan. Perasaan kepada seseorang yang berada di kelas sendiri atau kelas lain. Perasaan yang menyiksa yang hanya bisa dilampiaskan lewat coretan-coretan, karena keberanian yang sangat terbatas.
Coretan-coretan yang menjadi saluran rasa untuk cinta, rindu dan kasmaran yang mendera. Rasa yang menyiksa tak kepalang. Bayangan dan kerinduan tidak tertahankan. Rasa harus disampaikan. Tetapi malu yang membuncah membuat tak kuasa menyampaikannya.
Meskipun kesannya ‘romantis’, tetapi secara umum ini merupakan tindakan vandalisme. Tindakan yang merusak fasilitas umum ini selayaknya dilarang. Sudah lama tindakan seperti ini tidak ditemukan lagi di kota-kota besar. Tetapi disebuah kota kecil di Pidie Jaya, sepertinya masih saja terjadi. Ditemukan juga di kelas-kelas di daerah lain yang dikunjungi, seperti Mataram.
Dari pemandangan yang tersaji, pastinya kisah coret-mencoret di meja masih dilakukan banyak remaja pada umumnya. Bermodalkan tip-ex, coretan-coretan dirangkai. Dengan ragu dan rasa malu yang tertahan, perasaan dicurahkan. Harapannya yang dikecengin membacanya. Sayangnya, nama pencoretnya tidak tertera. Bagaimana si pujaan hati akan mengerti jika pesan itu tidak dibaca dan tidak bernama?
Bagi yang menuliskannya, ada sedikit rasa yang lepas dan beban yang hilang. Perasaan kangen tentunya ‘menyengsarakan’. Jika tidak tertahan lagi, maka harus disalurkan. Cara-cara yang dipilih sebenarnya bisa bermacam-macam, termasuk coretan tadi.
Meminjam buku dan menyelipkan tulisan singkat bisa menjadi satu pilihan. Untuk ini dibutuhkan keberanian luar biasa. Sebab ‘target’ langsung mendapatkan muatan hati. Tulisan bisa berupa tulisan indah di sebuah kartu kecil yang dibeli di toko buku.
Sebuah puisi yang berhasil diciptakan setelah menghabiskan kertas satu rim, merupakan bentuk lainnya. Perasaan seperti ini memang bisa membuat kegilaan sementara mendadak muncul. Jika tidak disalurkan jerawat bisa hadir tanpa diundang. Bisul tiba-tiba mengganggu duduk.
Sulitnya Ungkapkan Rasa
Masa-masa remaja dianggap sebagai masa-masa sulit. Dalam periode ini remaja mengalami turbulensi dalam hidupnya akibat perubahan dalam dirinya. Perubahan fisik yang bermuara pada perubahan sosialnya, emosi dan memasuki tahapan transisi dari anak-anak menjadi remaja.
Dalam konteks yang demikian, menurut Jeanne Segal, Ph. D, seroang psikolog yang mendalami psikologi remaja, menuturkan bahwa seorang remaja mengalami depresi, kecemasan dan emosi negatif lainnya. Emosi negatif ini mengakibatkan timbulnya rasa malu, tidak berguna, putus harapan dan tidak dimengerti. Masalahnya, para remaja ini memiliki kesulitan tersendiri untuk mengungkapkannya. Seperti dijelaskan dalam helpguide.com.
Lebih lanjut dipaparkan, peluang untuk melepaskan semua ketegangan tersebut bisa melalui ruang seni, seperti membuat lagu, puisi tentang perasaan mereka. Aktivitas menggambar, membuat patung dan membuat karikatur bisa menjadi katup lepas perasaan-perasaan yang muncul.
Dalam diri remaja murid-murid sebuah SMP di Trienggadeng pastinya terjadi proses yang digambarkan di atas. Perasaan-perasaan yang membuncah harus dicarikan pelepasannya. Bercerita kepada teman memiliki kendala tersendiri. Malu dan takut ditertawakan menjadi salah satu alasan.
Jika tidak disalurkan dapat menimbulkan gejala lanjutan. Risiko mengungkapkan secara langsung juga besar. Bagaimana jika ditolak? Bahkan kadang lingkungan sendiri yang tidak bisa menerima. Masa anak-anak sudah cinta-cintaan. Ungkapan seperti itu sering disuarakan ketika masyarakat mengetahui ada kisah cinta remaja yang muncul ke permukaan.
Jika anak remaja terutama di kota besar sekarang dapat berkreasi dengan berbagai hal untuk menyampaikan perasaan, maka anak-anak remaja di desa itu mungkin masih belum terbiasa.
Dapat dipastikan, pengalaman jatuh cinta pada masa remaja dialami siapa saja. Ketertarikan ini muncul seiring semakin bertambah usia. Di usia remaja, pada masa pendidikan menengah pertama, sering ditenggarai sebagai masa awal rasa ini mulai muncul. Meskipun, usia sekolah dasar juga ditenggarai sudah ada. Khususnya di usia kelas terakhir.
Ada yang memilih untuk menyampaikannya secara langsung. Ada yang memilih untuk memendam. Memendam selama mungkin juga beresiko gelisah. Untuk amannya, diungkapkan secara tidak langsung lewat coretan-coretan di meja dan kursi-kursi di kelas. Berharap, orang yang dikangenin membacanya. Berharap, orang yang dikangenin mencari tahu siapa pengagummnya. Berharap orang yang dikangenin membalas cintanya.
Coretan-coretan di meja dan kursi kelas itu merupakan sebentuk tindakan buruk. Tindakan yang merusak keindahan kelas, terlebih sering meja dan kursinya sudah tidak utuh. Tetapi, pusaran kasmaran mengalahkan keinginan untuk tidak melakukannya.
Mengalirlah coretan-coretan galau yang mengungkapkan perasaan sayang, cinta, kangen, rindu, kasmaran untuk sang pujaan. Sementara sang meja dan kursi hanya menjadi saksi bisu untuk setiap coretan yang ditujukan kepada pujaan sang remaja pencoret.
Mungkin, setelah ‘mengukir’ sebuah coretan di meja dengan harapan yang mengembang, pencoret itu berujar, “Cintaku padamu kuterakan lewat coretan di meja-meja kelas. Wahai pujaanku, temukanlah ungkapan perasaanku. Meski jiwa ini tidak yakin kau menerimanya, aku akan tetap menunggu, bahkan jika perlu jandamu pun akan tetap kutunggu”. Tanpa perduli bahwa tindakannya adalah sebentuk vandalisme yang merusak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H