Lebih lanjut dipaparkan, peluang untuk melepaskan semua ketegangan tersebut bisa melalui ruang seni, seperti membuat lagu, puisi tentang perasaan mereka. Aktivitas menggambar, membuat patung dan membuat karikatur bisa menjadi katup lepas perasaan-perasaan yang muncul.
Dalam diri remaja murid-murid sebuah SMP di Trienggadeng pastinya terjadi proses yang digambarkan di atas. Perasaan-perasaan yang membuncah harus dicarikan pelepasannya. Bercerita kepada teman memiliki kendala tersendiri. Malu dan takut ditertawakan menjadi salah satu alasan.
Jika tidak disalurkan dapat menimbulkan gejala lanjutan. Risiko mengungkapkan secara langsung juga besar. Bagaimana jika ditolak? Bahkan kadang lingkungan sendiri yang tidak bisa menerima. Masa anak-anak sudah cinta-cintaan. Ungkapan seperti itu sering disuarakan ketika masyarakat mengetahui ada kisah cinta remaja yang muncul ke permukaan.
Jika anak remaja terutama di kota besar sekarang dapat berkreasi dengan berbagai hal untuk menyampaikan perasaan, maka anak-anak remaja di desa itu mungkin masih belum terbiasa.
Dapat dipastikan, pengalaman jatuh cinta pada masa remaja dialami siapa saja. Ketertarikan ini muncul seiring semakin bertambah usia. Di usia remaja, pada masa pendidikan menengah pertama, sering ditenggarai sebagai masa awal rasa ini mulai muncul. Meskipun, usia sekolah dasar juga ditenggarai sudah ada. Khususnya di usia kelas terakhir.
Ada yang memilih untuk menyampaikannya secara langsung. Ada yang memilih untuk memendam. Memendam selama mungkin juga beresiko gelisah. Untuk amannya, diungkapkan secara tidak langsung lewat coretan-coretan di meja dan kursi-kursi di kelas. Berharap, orang yang dikangenin membacanya. Berharap, orang yang dikangenin mencari tahu siapa pengagummnya. Berharap orang yang dikangenin membalas cintanya.
Coretan-coretan di meja dan kursi kelas itu merupakan sebentuk tindakan buruk. Tindakan yang merusak keindahan kelas, terlebih sering meja dan kursinya sudah tidak utuh. Tetapi, pusaran kasmaran mengalahkan keinginan untuk tidak melakukannya.
Mengalirlah coretan-coretan galau yang mengungkapkan perasaan sayang, cinta, kangen, rindu, kasmaran untuk sang pujaan. Sementara sang meja dan kursi hanya menjadi saksi bisu untuk setiap coretan yang ditujukan kepada pujaan sang remaja pencoret.
Mungkin, setelah ‘mengukir’ sebuah coretan di meja dengan harapan yang mengembang, pencoret itu berujar, “Cintaku padamu kuterakan lewat coretan di meja-meja kelas. Wahai pujaanku, temukanlah ungkapan perasaanku. Meski jiwa ini tidak yakin kau menerimanya, aku akan tetap menunggu, bahkan jika perlu jandamu pun akan tetap kutunggu”. Tanpa perduli bahwa tindakannya adalah sebentuk vandalisme yang merusak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H