Jarum jam sudah menunjukkan angka 22.44. Suasana di kafe itu masih ramai. Seluruh meja dan kursi yang tersedia masih penuh. Semua penggemar kopi seperti berkumpul di kafe itu. Pelanggan datang berkelompok. Masing-masing menikmati suasana yang tersaji malam itu. Angin sudah mulai dingin. Tetapi suasana tidak kunjung mereda. Hangat, dengan alunan musik khas kafe dan riuhnya gelak tawa serta suara-suara dari mereka yang berbincang. Â
Sekelompok remaja, yang belakangan diketahui komunitas fotografi, masih asyik membicarakan sesi foto berikutnya. Terdengar dari suara keras yang meluncur. Di sudut lain, beberapa anak muda menikmati waktu sendiri dengan laptop masing-masing. Memanfaatkan jaringan internet nirkabel yang disediakan kafe secara gratis. Ini salah satu trik kafe untuk menarik lebih banyak pelanggan.
Jika suasana itu di kota-kota besar, sebutlah Yogyakarta, Jakarta dan Bandung, maka akan nampak wajar saja. Tetapi pemandangan itu ada di kafe D’Coffee Break di Bireuen, Gayo, Aceh. Kafe ini berupa bangunan dua ruko yang digabungkan.
Interior dan meja serta kursinya meniru kafe-kafe pada umumnya. Meja dan kursi kayu berwarna coklat muda dikombinasikan dengan dinding dan plafon yang ‘raw’. Dinding hanya di cat hitam dan putih ‘pecah’. Lalu grafittidengan pesan-pesan tentang kopi menghiasi dinding. Gambar-gambar abstrak juga turut memberi suasana kafe yang cenderung hidup. Â
Menariknya, kafe ini menggabungkan konsep tradisional dan modern dalam proses pengolahan kopi. Pengolahan tradisional artinya menggunakan kopi saring yang khas Aceh. Dulu sekali para pekerja NGO yang bekerja di Aceh pasca tsunami menyebutnya kopi kaus kaki. Saringannya panjang dan kopi yang direbus dilewatkan melalui ‘kaus kaki’ ini. Proses modernnya menggunakan mesin expresso layaknya kafe-kafe di kota besar. Jajanannya juga sangat tradisional.
Kombinasi trandisional dan modern ini justru memberikan daya tarik sendiri. Soal harga, jangan ditanya. Untuk ukuran kantong orang Jakarta, sangat murah. Variasi kopi, sangat lengkap. Di menunya tertera 60 jenis minuman. Sebagian besarnya kopi dan olahannya. Sebagian kecil minuman teh dan coklat.
Kopi Robusta diproses dengan cara tradisional. Sementara kopi Arabika diproses dengan mesin expresso. Proses kombinasi ini melahirkan dua jenis minuman sanger. Sanger dengan kopi Robusta yang cenderung encer, seperti kopi Aceh pada umumnya. Sementara sanger Arabika diproses dengan mesin. Sanger dipastikan selalu ada di setiap kedai kopi di Aceh. Minuman berupa kopi yang dicampur susu.
Bireuen Berkafe
Jika di Aceh pasca tsunami kafe sudah mulai berkembang, di Bireuen sendiri baru mulai. Taufik, pemilik kafe D’Coffee Break yang sekaligus barista kopi tradisional menjelaskan bahwa usahanya baru berumur satu tahun. Menghadirkan minum kopi dengan konsep kafe meniru kota besar merupakan tindakan berani. Taufik berpartner dengan rekannya yang juga menjadi barista untuk proses kopi modern.