Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gembel, Mimpinya Tidak Seperti Namanya (Bagian 1)

11 April 2017   22:40 Diperbarui: 12 April 2017   18:00 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gembel, pemuda desa yang ingin mengangkat harkat dan martabat kopi dan petani kopi di kampungnya, Desa Jamur Ujung, Bener Meriah, Aceh Tengah. Sumber: foto pribadi

Kegelisahan melihat kenyataan yang ada di kampungnya, selalu mencuat. Kampung yang berpotensi menjadi sejahtera, ternyata jauh tanda-tanda kemakmuran. Kopi yang seharusnya menjadi sumber kehidupan dan penghidupan, ternyata hanya sebatas membuat para petani untuk bertahan hidup. Hidup dalam kondisi serba kekurangan. Kondisi ini menciptakan nelangsa tersendiri bagi seorang pemuda desa. Namanya Gembel. Begitulah dia memperkenalkan dirinya ketika diwawancara pada Minggu 2 April 2017 di kafe kopinya.

Impian pemuda desa yang dulu kuliah teknik di Universitas Syah Kuala Banda Aceh sederhana saja. Impian itu yakni mengangkat derajat petani kopi di kampungnya ke tempat yang lebih tinggi. Tempat dimana produsen kopi bisa menikmati hasil alamnya dan menyejahterahkan.

Kenyataan yang dilihat Gembel, selama ini para petani selalu berfikir bahwa mereka petani kopi akan selalu miskin. Penyebabnya, usaha kebun kopi lokal yang selalu terikat dengan rentenir. Lalu, para petani yang tidak pernah mengecap bangku sekolah.

Bahkan, dari dulu orang tuanya sendiri selalu pesimis dengan kebun kopinya. “Tidak mungkin kebun kopi dapat menyejahterakan petani”, ujar ayahnya ketika Gembel mengutarakan maksudnya. Tetapi ucapan itu tidak pernah mematahkan semangatnya untuk memuliakan kopi asal daerahnya.

Dulu, kebunnya adalah rawa-rawa. Orang tuanya tanpa putus asa mengubah rawa-rawa menjadi kebun kopi. ‘Jika orang tua kami berani, saya juga harus berani. Jika orang tua kami bisa, saya pasti juga bisa” tegas Gembel.

Menurut Gembel, yang dulu pernah bekerja di NGO internasional pasca tsunami, seharusnya para petani kopi ini bisa merdeka. Lahan punya sendiri. Alat produksi punya sendiri. Bebas, tidak ada beban. Para petani memiliki kedaulatan. Sayangnya, masih menurut Gembel, kenyataan itu tidak bisa berkolaborasi dengan kemakmuran. Kemakmuran tidak kunjung singgah.

Petani memiliki bahan baku, tetapi tidak memiliki akses terhadap uang, terhadap perbankan. Petani kopi juga menanam kopi tanpa impian. Petani sudah tidak selera untuk menanam kopi karena kopi sangat murah. Green Bean premium dijual dengan harga USD 7,5 – 8 per kilogram. Sementara jika diolah dan disajikan di meja menjadi minuman, maka dengan 1 kilogram akan berharga Rp. 800 ribu. Hampir 10 kali lipatnya.

Sayangnya, acapkali karena kubutuhan yang mendesak memaksa para petani menjual kopinya tanpa diolah. Mereka tidak memiliki nilai tawar ketika berhadapan dengan tengkulak.

Hal ini melahirkan pertanyaan yang selalu menggedor relung hati Gembel. Gembel ingin menjembatani petani kopi dengan kepemilikan modal produksi dan kemakmuran itu. Gembel membahasakannya begitu. Posisi ini menempatkan Gembel berseberangan dengan eksportir. Korporasi yang menguasai hidup para petani selama ini.  

Mewujudkan Mimpi

Untuk mewujudkan mimpinya yang telah lama tersimpan, Gembel kembali ke desanya. Meskipun ditawari pekerjaan dengan gaji Rp. 7 juta perbulan, dia menolak. Melihat lahan keluarga seluas dua hektar dengan nelangsa. Tanaman kopi yang tidak menghasilkan, kecuali sepiring nasi yang hanya menyambung hidup. Gembel menggambarkannya ketika pertama kali kembali.

Butuh 15 tahun bagi Gembel untuk meyakinkan dirinya mewujudkan impiannya. Ide untuk memuliakan kopi kampungya dan para petani telah muncul sejak tahun 2000, ketika mencari jati diri dalam perjalanannya menuntut ilmu di Banda Aceh.

Tanpa pengalaman memiliki bisnis, Gembel memulai impiannya. Dia hanya memiliki keyakinan, bahwa dia mampu. Bahwa dia memiliki darah yang dialiri kopi. Dalam dirinya terpatri kopi. Kurang lebih begitulah semangatnyanya. Tepat pada November 2015, pemuda ini mewujudkan impiannya dengan menata kebun kopinya dan mendirikan warung kopi. Warung kopi ini diberi nama Seladang Café dengantagline Ngopi di Kebun Kopi. Seladang Café terletak di Desa Jamur Ujung, Bener Meriah, Aceh Tengah

Seladang Café, adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kenyataan yang dirasa mengkungkung. Kenyataan akan ketidakberdayaan petani kopi untuk mendapatkan kemakmuran dari hasil buminya sendiri.

Begitulah adanya. Café sederhana itu didirikan di kebun kopi milik keluarganya. Bangunan Café lebih tepat disebut gubuk. Dinding dari kayu-kayu pohon yang tidak diproses. Pondok-pondok kecil untuk pengunjung memiliki tiang-tiang kayu mentah. Bahkan dinding pondok untuk ngopi sambil lesehan hanya potongan batang pohon kopi yang ditumpuk. Potongan berukuran sekitar 50 cm, kurang lebih.

Satu lagi yang menarik adalah cafe kopi ini seperti berada di negeri antah berantah. Seladang Café ini terletak kurang lebih 25 kilometer dari Kota Takengon dan 84 kilometer dari Bireuen, di Aceh Tengah. Di sekelilingnya tidak ada perkampungan. Hanya ada kebun kopi, pohon-pohon dan semak-semak. Tidak ada lampu penerangan. Ketika malam, cahaya hanya ada di cafenya. Selebihnya dari mobil dan motor yang lewat. Suasananya benar-benar mistis, ketika malam tiba.

Akan sangat mudah terlewatkan, jika tidak diniatkan untuk singgah di warung kopi milik Gembel ini. Gembel, pemilik Café menjelaskan tentang spekulasinya mendirikan kafe dari lokasi yang terpencil dan jauh dari mana-mana itu.

“Saya termasuk berspekulasi dalam mendirikan Seladang Café ini” ujarnya ketika ditanyakan muasal lokasi pendirian café ini. “Di samping ingin mendekatkan masyarakat pecinta kopi ke pohon kopinya, mungkin suasana yang tidak biasa bisa jadi faktor penarik” lanjutnya lagi dengan semangat dalam tampilan yang mirip hippies. Rambutnya dibiarkan gondrongnya tidak tersisir. Berbaju barong Bali warna kuning, menambah kesan kegembelannya. Meskipun sama sekali tidak tampak gembel ketika menceritakan tentang Seladang.

Target utama Gembel adalah para penikmat kopi dari Lhokseumawe, Banda Aceh, Bireun, dan baru Takengon. Alasannya, orang yang hidup sehari-harinya dengan kopi, tidak akan terlalu tertarik untuk datang ke Seladang.

Seladang sendiri bermakna tempat bertemu. Menurut Gembel, Seladang disamping gampang diucapkan, juga merupakan bagian dari budaya Gayo. Seladang adalah sebuah gubuk di tengah sawah. Dulu, lelaki dan perempuan bekerja di sawah di lokasi terpisah. Seladang, sebuah gubuk itu, mejadi tempat bertemu muda-mudi yang menjalin kasih. Mereka tidak bertemu secara fisik.

Mereka tidak bertatap muka. Tidak boleh oleh adat. Mereka berada di dekat seladang dan menyampaiakan kerinduannya dalam bentuk nyanyian dan pantun. Dalam konsepnya, Gembel menuturkan, Seladang menjadi tempat bertemu msyarakat. Bisa bercerita tentang banyak hal. Bisa bersosialisasi. Bisa menguatkan kohesi sosial. Tidak hanya tempat ngopi dan tentang kopi.

Gembel tidak hanya menyajikan kopi dari hasil kebun dan olahannya. Kopi dari masyarakat sekitarnya juga diterima. Cuma disayangkan, kopi yang disajikan dalam bungkus kertas tidak disajikan dengan informasi yang menurutnya perlu. Informasi tentang cara petik, jenisnya, proses pengolahannya, penyimpanannya, proses membungkusnya dan roastingnya perlu. Menurut Gembel informasi itu membantu masyarakat lebih mencintai kopi. “Mengenal kopi yang diminumnya akan menambah kecintaan akan kopi”, jelas Gembel.

Gembel juga tidak asal menjual kopi. Kopi yang disajikan di warungnya tidak boleh berusia lebih dari tiga minggu. Sejak diolah dan ditempatkan di warungnya. Menurut Gembel, setelah tiga minggu kopi akan berubah rasa. Sudah terkontaminasi udara sekitarnya. Rasa dan aromanya pasti sudah berkurang. Gembel juga menjelaskan bahwa beda ketinggian akan memberikan rasa yang berbeda. Pengolah pasca panen dapat menentukan rasa kopi yang soft, medium atau strong.

Bahkan ketika ditanya apakah ada kopi luwak, dengan lugas dia menjawab dia memiliki kopi luwak, tetapi tidak akan dijualnya karena sudah lebih dari tiga minggu. Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun