Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tanah Longsor dan Hunian Vertikal bagi Petani

11 April 2017   14:42 Diperbarui: 11 April 2017   22:30 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian bencana longsor seperti sudah menjadi berita harian di negara ini. Kejadian berulang memakan korban jiwa dan harta para petani. Tingginya kejadian ditenggarai dipicu curah hujan yang tinggi. Kejadian bencana longsor terjadi di lokasi-lokasi dengan kemiringan lahan, berbukit dan lembah. Kejadian di Banjarnegara dan Ponorogo sepertinya hanya mengulang kejadian tahun-tahun sebelumnya.

Para petani itu tidak ingin mati tentunya. Mereka memilih tinggal di kaki-kaki bukit, di lereng-lereng bukit, di lembah-lembah yang rawan longsor karena memang tidak ada pilihan. Lahan-lahan datar pasti sudah dikuasai, dan akan lebih berharga nilainya. Lahan seperti ini sering dijadikan investasi.

Dengan keadaan tanpa pilihan, para petani itu harus mengambil risiko menempati lahan miring dan di kaki-kaki bukit-bukit untuk membangun kehidupannya. Mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk mendapatkan lahan yang tidak kritis. Lahan yang datar yang sekaligus dapat dijadikan lahan pertanian. Lahan penghidupan mereka.

Semenjak lahan telah menjadi komoditas, maka harga lahan tidak akan pernah turun. Ini sudah menjadi kenyataan. Lihat, betapa lahan-lahan pertanian berubah menjadi bangunan-bangunan. Karena nilainya lebih tinggi ketika ada bangunan dibandingkan lahan pertanian yang hanya ditanami sayuran dan padi.

Karena lahan telah menjadi komoditas, maka setiap pemilik lahan ingin lahannya bernilai tinggi. Upaya-upaya mencapai itu dilakukan dengan mengkonversi lahan tani menjadi lahan permukiman. Bahkan bisa mewujud jadi daerah industri.

Pilihan untuk tinggal di daerah rawan longsor semata-mata karena persoalan ekonomi. Seperti pernah disampaikan oleh Sutopo, Kepala Pusdatin BNPB. Bahwa masyarakat terpaksa membeli lahan-lahan kritis dan rawan longsor di tebing-tebing dengan kemiringan membahayakan untuk tempat tinggal dan penghidupannya, semata-mata karena alasan ekonomis. Hal itu disampaikan Sutopo dalam sebuah kunjungan ke lahan dengan risiko longsor tinggi di Kabupaten Bantul beberapa tahun lalu.

Pertambahan penduduk di lahan kritis itu menambah beban hidup. Mengubah lahan perbukitan menjadi lahan pertanian menambah risiko rawan longsor. Cobalah berkunjung ke daerah perbukiran di Utara Kota Bandung. Coba lihat di lereng-lereng bukit di Dieng. Coba juga lihat di perbukitan-perbukitan di puncak. Lahan-lahan telah dipanjati bangunan-bangunan. Tanaman-tanaman berakar lemah seperti sayuran telah menggerogoti kekuatan dan integritas lahan itu sendiri.

Tentunya, jika dibiarkan, perubahan lahan-lahan perbukitan menjadi perumahan dan ladang-ladang akan terus berlanjut. Lahan-lahan di tanah pertanian yang cenderung datar akan berganti pemilik. Lalu berganti fungsi, menjadi perumahan dan pabrik. Lalu penduduk akan terus memanjati lereng-lereng bukit. Semuanya karena kebutuhan akan tempat tinggal dan penghidupan, tetapi tidak memiliki kekuatan ekonomi yang memadai. Pilihannya, mengambil risiko yang setiap saat menjadi bencana yang menghancurkan hidup dan penghidupan petani. Hidup dan penghidupan yang didapat dalam waktu yang lama. Hidup dan penghidupan yang hancur dalam hitungan detik di hadapan bencana tanah longsor.

Memang, dalam prinsipnya ada tiga alternatif yang dapat dilakukan. Menurut Syamsul Maarif, Kepala BNPB 2008-2015, dapatdilakukan tiga hal terkait bencana, yakni 1) menjauhkan aset dari bencana, 2) menjauhkan bencana dari aset, dan 3) hidup harmonis dengan bencana.

Pilihan ketiga mungkin diambil dimana upaya-upaya pengurangan risiko bencana harus secara terus menerus dilakukan. Tetapi, tetap ini tidak akan banyak membantu, karena kecenderungannya manusia akan menambah beban kepada bumi jika bumi belum bergolak. Melaksanakan hidup harmonis dengan risiko bencana menyimpan risiko tersendiri jika upaya-upaya pengurangan risiko bencana absen dilakukan.

Pengalaman di Merapi

Pasca letusan Merapi 2010, pemerintah memutuskan untuk memindahkan penduduk dari wilayah yang terdampak langsung. Tantangan yang langsung menghadang yakni ketersediaan lahan. Lahan untuk tampat tinggal dan lahan pertanian. Petani tidak bisa dipisahkan dari lahan penghidupannya.

Keputusan diambil waktu itu, memindahkan masyarakat ke tempat yang lebih aman dari ancaman letusan Merapi. Sementara untuk penghidupan, lahan yang ditinggalkan tetap dapat diolah, tetapi untuk bertani saja. Memelihara ternak di lokasi terdampak langsung tidak diperkenankan. Rumah yang disediakan menyempit. Lahan di tempat relokasi juga mengecil. Jumlah sapi yang dipelihara menyusut.

Perlu setidaknya dua tahun untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat terdampak. Lahan yang diperlukan sangat luas untuk 2600-an rumah tangga yang akan direlokasi. Itu belum memikirkan pertumbuhan keluarga itu sendiri. Karena dipastikan, akan terjadi pertambahan anggota keluarga karena kelahiran dan juga pernikahan. Ini menambah tekanan terhadap penyediaan lahan saat ini dan di kemudian hari.

Akibatnya, hutan-hutan dikonversi menjadi hunia. Hutan yang sebelumnya untuk perlindungan alam terpaksa dibuka untuk menyediakan hunian tapak bagi masyarakat yang direlokasi. Lahan-lahan ini disiapkan pemerintah dengan mengorbankan sebagian lahan dan tentunya menambah risiko. Sebabnya, lahan ini terletak di daerah yang miring, meskipun pada saat ini masih belum cukup mengancam.

Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan penambahan jumlah penduduk, maka tuntutan akan lahan akan bertambah. Jika pemerintah tidak menyediakan lahan yang layak, maka keluarga baru akan kembali menempati lahan yang terdampak langsung. Ini sudah terjadi. Disamping itu masyarakat juga sudah mulai kehilangan traumanya. Mereka menjadi lebih berani untuk memilik risiko.

Jika dipikirkan ke depannya, mungkin hunian vertikal dapat menjadi pilihan. Hunian vertikal yang bisa menampung lebih banyak penduduk dan kemungkinan menyediakan lahan penghidupannya juga dapat dilakukan. Tetapi, pastinya perlu upaya keras untuk membantu masyarakat untuk beradaptasi.

Pemerintah memilih membangun rumah tapak, karena saat ini masih bisa dilakukan meskipun gejala sebaliknya mulai muncul dengan kembalinya masyarakat ke lahan yang dulu ditinggalkan. Jika pemerintah dapt memberikan lahan dan rumah bagi masyarakat terdampak bencana di Merapi dan juga di tempat lainnya, sepertinya memeberikan hunian vertikal bagi petani bukan suatu yang mustahil.

Hunian Vertikal bagi Petani

Pemandangan di suatu tempat di Korea Selatan itu memang cukup aneh bagi kebanyakan orang. Sebuah bangunan berlantai jamak tinggi berdiri di tengah-tengah lahan yang sangat luas. Terlihat juga mobil-mobil di parkir di lantai terbawah. Ada traktor dan beberapa benda, sepertinya alat-alat pertanian.

Konsep bangunan itu ternyata disiapkan untuk para petani. Benar, petani tinggal di apartemen berlantai tinggi, terletak di tengah-tengah lahan pertanian yang luas. Dengan akses jalan yang diatur sedemikian rupa. Tersedianya hunian vertikal bagi petani ini tidak dapat dihindarkan karena memang lahan yang sangat sempit. Jika setiap petani di sana membangun rumah tapak, maka bukit-bukit akan dirambah, baik untuk tempat tinggal maupun lahan pertanian. Bisa jadi, jika kebijakan seperti ini tidak dilaksanakan, kejadian bencana tangah longsor menjadi hal yang jamak di Korea Selatan yang cenderung berkontur bukit.

Dengan menampatkan petani dalam hunian vertikal, maka petani memiliki lahan yang lebih luas untuk dapat diolah dan menjadi sumber penghidupan yang memadai. Jika hanya memiliki lahan sedikit, maka hasilnya tidak akan cukup memenuhi kebutuhan. Lahan tidak dapat diolah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih lagi untuk dijual sebagai sumber pendapatan.

Menempatkan petani ke hunian vertikal tentunya memberikan manfaat ganda. Di samping ketersediaan lahan yang lebih luas, tentunya lebih teraturnya proses pendampingan bagi petani. Petani harus disiapkan untuk biasa hidup dalam hunian vertikal. Dengan mempersiapkan lahan penghidupan, lahan bagi alat-alat pertanian, jalan-jalan dan jalur yang baik, serta penyiapan para petani untuk hidup di hunian vertikal dengan menyesuaikan kehidupan mereka, maka niscaya mereka akan terhindar dai longsor yang mematikan.

Dan tampaknya di Indonesia risiko longsornya tidak berkurang dari tahun ke tahun. Bisa jadi akibat dari lahan yang semakin kritis, maupun dampak iklim yang menambah kerentanan.

Hal di atas menjadi sebuah tuntutan untuk dapat memberikan ruang bagi tempat tinggal petani, lahan penghidupan yang memadai dan menjauhkan risiko bencana longsor dari para petani dan penduduk yang tinggal di lahan-lahan kritis. Pilihan ini juga sekaligus menempatkan alam sebagaimana layaknya bentuk dan bentangnya. Kalaupun terpaksa, hanya mengurangi bentangnya sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun