Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Wajah Jakarta Kala Pelayanan Publik Berfungsi

23 Februari 2017   19:28 Diperbarui: 23 Februari 2017   19:32 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah diskusi di tengah makan siang antara bos dan beberapa stafnya. Beberapa waktu sebelum pemilihan gubernur DKI di Februari 2017.  Diskusi ringan tentang makanan berlanjut soal pilihan di pilkada. Melihat kantornya yang di kawasan SCBD dan makannya di salah satu restoran mal mewah disitu, bolehlah mereka dimasukkan ke dalam kelas menengah atas.

Atasan yang egaliter itu santai saja menjawab pertanyaan anak buahnya tentang pilihannya, ketika ditanya. “Ahoklah!” ujar sang atasan mantap. “Alasannya, apa?” kejar anak buah. “Hanya Ahok yang bisa membuat pelayanan publik berfungsi”, ujarnya lagi dengan mantap. Sang anak buah yang mungkin memiliki pilihan yang berbeda terdiam. Mungkin karena memang sudah merasakan berfungsinya sistem pelayanan publik di Jakarta di era kepemimpinan Basuki. Bisa juga karena alasan lain.

Diskusi berlanjut tentang kemajuan yang dialami Jakarta. Perkembangan yang akan mengubah Jakarta dengan segala konsekuensinya. Bukankah ada sebuah ucapan, ‘membangun adalah sekaligus juga merusak’. Secara sederhana bisa diartikan selalu ada yang terdampak dari sebuah pembangunan, sebaik apa pun perencanaan pembangunan itu dilakukan. Terlebih lagi, Jakarta dibangun dengan rencana yang tampaknya tidak dipatuhi.

Jakarta mengalami urbanisasi yang sangat tinggi. Setiap tahun pendatang mencapai 70.000-100.000 orang. Pada tahun 1950-an, Jakarta berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa. Satu dekade kemudian menjadi 2,9 juta. Dekade 1970-an mencapai 4,47 juta jiwa dan 1985 sudah mencapai 6,16 juta jiwa, seperti dikutip dari Gagalnya Sistem Kanal (Restu Gunawan, 2010). Saat ini diperkirakan penduduk Jakarta berkisar 10 juta dengan beban siang 13 juta lebih.

Jakarta tergagap menghadapi kebutuhan yang didorong oleh bertambahnya penduduk kota tanpa terkendali. Daya saing penduduk yang datang rendah, lantara sebagian besar masuk kategori low skilled people.

Kota berkembang sesuka hatinya. Ruang terbuka hijau yang seharusnya dijaga diangka 30% diabaikan. Penduduk yang merambah pinggir-pinggir sungai juga difasilitasi dengan cara ‘bawah meja’. Pelayanan administrasi menjangkau kawasan yang seharusnya tidak boleh berkembang. Tepian sungai, tanah-tanah pemerintah, lahan-lahan kosong diokupasi. Sebagai ilustrasi, tahun 1970 wet land Jakarta sekitar 2.600 hektar. Di tahun 1990 tinggal 698 hektar. Padahal kawasan ini tidak boleh dibangun karena merupakan daerah tangkapan air.

Tidak ketinggalan pihak swasta juga difasilitasi membangun di segala tempat. Sehingga banyak bangunan mewah yang langsung berbatasan dengan sungai. Lihatlah di kawasan Kemang itu. Lalu, kawasan lain juga di rambah.

Berdasarkan data tahun 2008 yang dikutip dari jurnal penelitian Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, kawasan terbangun Jakarta sudah mencapai 92% dari total luas wilayah Jakarta. Perkembangan Jakarta yang membutuhkan perumahan juga dirasakan sejak tahun 1976, ketika Bogor, Bekasi dan Tangerang ditetapkan sebagai daerah penyangga. Pada tahun 1999, kota Depok juga dikembangkan untuk menampung limpahan penduduk Jakarta.

Semuanya bermula dari proses pembangunan yang sentralistik, berpusat di Jawa dengan Jakarta sebagai pusat sentrifugalnya. Kondisi kerusakan yang parah dan tekanan kepada lingkungan Jakarta karena kurangnya perhatian dari pemerintahan terdahulu meninggalkan kesemrawutan. Perhatian yang minim berujung pada wajah Jakarta yang rusak, bopeng, berantakan.

Pelayanan publik menjadi ajang pelayanan pribadi para penjaga birokrasi di pemerintah. Jalan raya jadi pusat menuai rejeki. Kantor-kantor menjadi pusat transaksi. Angkutan umum dengan sistem yang amburadul menciptakan teror tersendiri bagi para penumpangnya dan penduduk Jakarta. Tingkat kejahatan meningkat dikarenakan terbatasnya kapasitas kota untuk menyediakan lapangan kerja. Ketimpangan sosial meningkat. Ditambah buruknya infrastruktur dan pembangunan ke segala arah yang tidak sesuai aturan, menjelma menjadi bencana, bencana sosial dan terutama bencana banjir.

Jakarta dihadapkan pada pelbagai persoalan. Persoalan sosial, ekonomi, infrastruktur, sumber daya manusia dan persoalan lain yang erat dengan sistem pelayanan publiknya. Aparat pemerintah memperlakukan Jakarta layaknya milik pribadi. Keteraturan menjadi barang mahal. Masing-masing harus berjuang sendiri. Hukum survival of the fittest-nya Darwin menemukan wujud nyatanya di belantara Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun