Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Alih-alih Vertical Drainage, Ini Pilihan Jepang dan Malaysia

21 Februari 2017   18:32 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:26 1667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta diserang banjir seminggu terakhir ini. Banjir terjadi di wilayah Jakarta Timur terutama Jatinegara, Tebet dan Cililitan. Lainnya genangan. Banjir sempat mencapai hingga 1,5 meter di kawasan Cawang. Tetapi dengan cepat surut. Di Tebet sendiri sekolah favorit SMA negeri 8 tergenang hingga 70 cm. Dengan bantuan pompa dari Pemda DKI dan pasukan kebersihan, masalah banjir hanya dalam hitungan jam.

Cepatnya surut mencerminkan upaya-upaya yang sebelumnya telah dilakukan pemerintah DKI. Upaya-upaya ini tentunya akan terus berlanjut, karena masih ada 400 titik yang harus dibenahi. Upaya pembenahan ini memerlukan pembebasan lahan di pinggiran sungai yang dapat berujung pada relokasi. Dalam konteks penanganan banjir, pemerintah Jakarta sedang menghadapi tantangan terkait lahan, relokasi sekaligus pembangunan rumah susun sewa.

Terkait banjir ini, banyak pihak memberikan penilaian negatif. Di masyarakat sendiri, terutama di media sosial, Ahok menjadi bulan-bulanan. Bisa jadi, para ‘pengkritisi’ ini kurang menyimak ucapan Ahok yang mengatakan masih banyak yang harus dibenahi untuk Jakarta bebas banjir.

Tidak kurang, penantang Ahok yang maju di pilkada putaran kedua, Anies Baswedan memberikan pendapat yang cenderung ditangkap sebagai bentuk persaingan dalam merealisasikan gagasan. “Kirain Jakarta udah bebas banjir”, ujarnya di suatu kesempatan yang diliput media. Jelas-jelas, Ahok tidak pernah mengatakan Jakarta bebas banjir. “Banjir Jakarta belum tuntas”, itu ucapan Ahok. Tetapi begitulah, dalam masa persaingan yang sangat ketat, setiap kejadian bisa menjadi sebuah hal positif dan sebaliknya.

Anies pun mencoba mengambil peruntungan dari kejadian banjir ini, sebagai modal putaran kedua. Anies menawarkan program Vertical Drainage untuk mengatasi banjir. Menurutnya, air harus dialirkan ke bumi, bukan di permukaan melalui selokan dan sungai. Lanjutnya, selokan dan sungai sudah tidak mungkin menampung air hujan. Karena laut di mana sungai bermuara, sudah jenuh. Pantai Utara Jakarta sudah lebih tinggi dari permukaan tanah dan sungai.

Sayangnya, vertical drainage dari berbagai referensi yang ada tidak memungkinkan, terutama di kota-kota besar. Seperti disampaikan oleh Kepala Dinas Sumber Daya Air dan diperkuat Gubernur Basuki, tanah di Jakarta sudah tidak bisa lagi menyerap air. Pada musim hujan juga tidak ada reservoir bawah tanah yang sanggup menampung air hujan dengan volume besar, karena sudah terisi duluan. Tanah Jakarta, dengan beban yang besar, sudah mengalami pemadatan. Air tidak bisa dengan mudah masuk ke dalam tanah untuk mencapai reservoir itu. Vertical drainage justru sering digunakan untuk memompa air dari bawah tanah untuk lahan yang diperkeras terutama untuk struktur dengan beban besar.

Di India vertical drainage pernah dicoba di daerah pertanian yang tergenang. Tetapi gagal, karena tanah sudah jenuh dan permukaan ground water-nya juga sudah naik. Program ini tidak berlanjut karena memang sangat sulit untuk dilakukan, baik di wilayah yang tergenang, terlebih lagi wilayah yang dilewati aliran air dengan debit per detik yang besar. Di kasus India tersebut, pada kedalaman 5 meter, air tanah sudah ketemu. Tidak mungkin menggali lebih dalam lagi untuk memasukkan air.

Kendala di Jakarta relatif sama. Tanah yang mengandung lapisan vulkanis, yang memiliki rongga, harus dicari dan itu memerlukan pengeboran. Dari beberapa pengeboran yang dilakukan, tidak ditemukan tanah berpori di Jakarta dengan mudah.

Banjir di Jakarta yang diakibatkan hujan lokal tidak akan mengakibatkan banjir besar. Akan tetapi, luapan air dengan kecepatan tinggi yang menggenangi beberapa wilayah. Luapan air yang berasal dari daerah hulu yang mengalir dengan kecepatan 200 m3/detik. Biopori yang hanya berukuran jauh kurang dari 1 m3, sangat tidak mungkin menyerap air dengan volume sebesar itu. Biopori yang masuk kategori vertical drainage ini, tidak akan dapat menyelesaikan banjir Jakarta.

Fenomena banjir ini merupakan masalah serius di kota-kota besar dunia. Hujan dengan curah tinggi dan di beberapa negara dengan hujan lebat dan badai, coba di atasi dengan berbagai cara. Jepang dan Malaysia menggunakan pendekatan struktural yang masif dibandingkan sekedar biopori dan vertical drainage.

Jepang dengan Flood Defense System
Jepang memiliki masalah dengan banjir. Hujan yang mengakibatkan banjir di Indonesia dan di Jepang berbeda. Di Jakarta hujan relatif sama derasnya dari tahun ke tahun. Di Jepang, hujan badai bisa mengakibatkan tumpahan air yang melimpah. Tokyo sebagai kota metropolitan dengan jumlah daerah terbangun yang masif dan padat, memiliki tantangan yang sama. Pemerintah kota berpenduduk lebih dari 13 juta jiwa ini berupaya secara signifikan untuk mengendalikan banjir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun