Plato, seorang ahli filsafat, pun bingung untuk mendefiniskan secara tepat arti dari keadilan. Plato mengatakan bahwa keadilan adalah di luar kemampuan manusia biasa. Dalam konteks masyarakat, dimana secara alami memiliki karakteristik-karakteristik, karena adanya kelas-kelas yang berbeda. Dalam kelas-kelas ini ada takdir yang dipahami bersama kelompoknya, kepatuhan terhadap aturan kelasnya dan pengawasan atas aturan dan nilai-nilai kelas. Dengan demikian, Plato mengatakan bahwa sumber ketidakadilan ada di masyarakat itu sendiri.
Karena sulit untuk membuat satu definisi tunggal akan makna keadilan ahli filsafat lainnya, kemudian membuat dua definisi keadilan. Aristotels mengklasifikasikannya menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif.
Keadilan distributif artinya pembagian barang dan jasa kepada setiap orang berdasarkan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan sama terhadap kesamaan derajad di depan hukum (equality before the law). Dalam konteks ini pun jika dicermati, tetap ada perbedaan rasa adil, tergantung kepada kedudukan di masyarakatnya. Meskipun di hadapan hukum dikatakan sama, tetap ada yang mengakibatkan ketidaksamaan tersebut. Seperti kejadian baru-baru ini di pengadilan kasus ‘politik’ Ahok. Lalu, ini kita sebut adil?
Selanjutnya keadilan korektif. Konsep ini diartikan sebagai upaya untuk membetulkan yang salah. Memperbaiki sesuatu, bukan membuat sesuatu yang salah menjadi betul, tentunya. Dalam konteks ini, keadilan korektif berupaya untuk mengkompensasi secara memadai pihak yang dirugikan. Untuk sebuah perbuatan jahat, maka diberikan hukuman yang sepantasnya.Â
Ini juga susah, dengan mengatakan di mata hukum semua sama. Karena rasa yang ada di masyarakat berbeda. Tentunya masih ingat dengan seorang nenek yang dituduh mencuri coklat dan harus dipenjara tiga bulan. Sebuah coklat dan penjara tiga bulan, adilkah? Itulah hukum. Masyarakat tetap tidak menggapnya adil. Tetapi, bagi pihak yang dirugikan, itu terasa adil.
Pada titik ini menjadi sulit untuk membuat suatu definisi tunggal sebuah keadilan. Terlalu banyak yang bisa digunakan sebagai justifikasi untuk keadilan dan sekaligus ketidakadilan.
Kamu Duduk dan yang Lain Berdiri
Kembali ke pemandangan di jalan Sudirman di suatu waktu itu, barisan mobil yang ‘parkir’ di sisi kiri jalur, sementara Transjakarta melaju tanpa hambatan. Sepertinya tidak adil bagi mobil-mobil yang berjajar itu dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda dari siput. Bahan bakar yang habis sia-sia, waktu yang terbuang percuma, dan kondisi psikologis yang tidak menguntungkan dan bisa berbuntut stres yang ujungnya mengakibatkan penyakit psikologis lainnya yang berbuntut pada penyakit psikis.
Tetapi, coba kita lihat ke dalam mobil itu. Di dalamnya penumpang dapat duduk dengan nyaman. Kursinya lebih empuk. Ruang yang luas hanya untuk sedikit orang. Jika hanya satu penumpang, maka seruangan menjadi milik sendiri. Udara tidak berbagi, dengan demikian juga tidak terjadi pertukaran karbondioksida. Tidak ada penumpang bersin yang menyumbang penyakit kepada penumpang lainnya.
Mobil yang nyaman itu masih ditambah dengan alunan musik sesuai dengan keinginan sendiri. Jenis musik dapat dipilih sendiri. Aroma mobil juga terserah pemilik. Jika kaki pegal, penumpang dapat meluruskan kakinya. Jika pantatnya pegal, penumpang bisa mengubah gaya duduknya. Meskipun lambat bergeraknya, kenyamanan yang tidak dirasakan penumpang Transjakarta tersedia.
Sementara itu di Tranjakarta berlaku sebaliknya. Kekuatan fisik sangat diperlukan. Untung, di Jakarta, masyarakat pengguna Transjakarta masih humanis. Meskipun tempat ‘khusus’ disediakan, tetapi tidak selalu cukup. Penumpang yang lebih muda, laki-laki dan perempuan, selalu memberikan kursinya kepada penumpang yang lebih tua. Keren, kan?