Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Sendok Susu untuk Segelas Kopi Susuku

14 Februari 2017   16:56 Diperbarui: 14 Februari 2017   17:00 2142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: travel.kompas.com

Bangun pagi, secara otomatis pikiran yang muncul selalu tentang segelas kopi. Darahku, nadiku dan juga otot-ototku akan menuntut. Kopi pahit tanpa gula. Kopi ini akan menambah gairah dan tenaga untuk melaksanakan kegiatan harian. Segelas kopi di pagi hari masih akan ditambah segelas lagi di siang hari. Sore, tidak karena khawatir susah tidur malamnya.

Selalu seperti itu, baik di pagi yang panas atau pun di pagi yang dingin. Dorongan rasa segelas kopi itu akan selalu menjadi penanda kehidupan. Tidak ada pikiran lain yang muncul. Tidak soal pekerjaan di kantor. Tidak soal urusan rumah tangga yang rumit. Tidak soal urusan tetangga yang kadang-kadang nyebelin. Bangun tidur dan segelas kopi yang hangat.

Segera bergegas ke dapur, dan menjerang air di katel ukuran satu liter. Kecil saja. Ini hanya soal ringkas, tidak soal cara memasak kopi. Aku tidak memiliki keahlian itu. Meskipun bukan penikmat kopi kelas wahid, aku tidak akan meminum kopi sasetan, apalagi yang dicampur dengan satu, dua atau tiga bahkan empat campuran. Kopi mixbukanlah pilihan. Terlalu menghianati rasa kopi. Sebenarnya ini hanya ikut-ikutan ucapan barista di Filosofi Kopi-nya Dewi Lestari.

Jadi, aku beli kopi giling halus. Jika memungkinkan, aku akan memesan kopi Medan, sebenarnya kopi Sidikalang. Lucu juga, Sidikalang yang punya kopi, tetapi Medan yang punya nama. Mirip kambing dan sapi dalam cerita susu. Jika melakukan kunjungan lapangan ke daerah karena tugas kantor, aku akan membeli kopi gilingnya. Kopi Bali, Lombok, Aceh, Flores, Papua, Sumbawa dan masih banyak lagi. Bersyukur juga punya teman-teman yang suka kopi. Kadang aku meminta mereka membawa oleh-oleh kopi giling. Tapi, kopi Medanlah yang utama. Namanya juga dari kampung halaman.

Setelah air mendidih, aku masukkan satu sendok teh bubuk kopi ke katel. Lalu api dikecilkan dan ditunggu hingga sepuluh hingga lima belas menit hingga mendidih. Didiamkan sebentar lalu dituangkan ke gelas. Dalam kondisi hangat kopi disesap sedikit demi sedikit. Rasa mengalir di tenggorokan. Rasa pahit, lalu muncul rasa manis. After taste istilahnya.

Ritual pagi ini, aku kerjakan sendiri. Istriku jarang sekali membuatkan kopi ini. Bukan karena dia pemalas dan tidak cinta suami. Ini karena buku-buku novel dan panduan-panduan percintaan serta nasehat-nasehat tentang keluarga saja, yang sering aku baca sejak masih kecil. Ya, sejak masih kecil. Aku membacanya di Femina, Kartini, Gadis, Anita, Tabloid Nova dan kadang-kadang di majalah pria dewasa Matra.

Di majalah-majalah itu dikatakan bahwa suami yang romantis adalah yang mau membantu istri mengerjakan pekerjaan di rumah. House chores istilahnya. Kemauan itu ditambah oleh adegan-adegan mesra yang dimunculkan di film-film romantis barat, yang sering aku tonton.

Dalam satu adegan digambarkan, dengan hanya mengenakan kolor, si lelaki membawa dua gelas kopi ditangannya dan menyerahkan satu gelas untuk kekasihnya yang masih leyeh-leyeh di ranjang, sembari berucap, ”Kamu cantik sekali pagi ini. Kecantikanmu makin sempurna oleh aroma nikmat kopi yang kuhirup”. Lalu sang wanita, menggelayut manja.

Mungkin bagi pria Indonesia ini tidak akan terjadi, apalagi pria-pria Jakarta, karena pagi-pagi harus buru-buru berangkat kalau tidak terlambat dan di marahi bos di kantor.

Tetapi, ritual minum kopi ini tidak hanya minum kopi hitam pahit, tetapi juga harus selalu ada kopi susu. Ya, segelas kopi dan segelas kopi susu. Soal minum kopi hitam ini karena ultimatum dokter soal kadar gula yang makin tinggi hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Bawaan dari ibu sebenarnya. Peringatan yang diberikan 3 tahun lalu itu sebenarnya memberikan keuntungan karena aku bisa menjadi bagian penikmat kopi murni. Bisa mengikuti trend masa kini. Gaya hidup alias life style kekinian.

Soal kopi susu ini. Agak bingung sebenarnya mengapa harus selalu ada mendampingi segelas kopi hitam pahit. Kalau mau dicari alasannya, sepertinya itu bawaan dari masa kecil yang tidak terlalu ceria. Di kampung, karena susu masuk kategori minumum kelas menengah ke atas, maka susu memiliki rasa tersendiri dalam memori rasa. Di lidah anak-anak pastinya rasa susu yang manis, biasa susu kental manis memang, nikmat sekali. Dengan demikian, jika ada kesempatan meminum susu, itu adalah kesempatan langka menikmati sebuah kenikmatan. Kenikmatan langka. Jadi, kesempatan menyecap susu ini adalah sebuah catatan rasa dan kehidupan sekaligus yang tidak lekang oleh waktu.

Susu ini jika ada rejeki dapat terbeli. Supaya hemat maka dicampur dengan berbagai minuman murah meriah. Kopi salah satunya. Teh manis juga dicampur susu. Air tajin tidak luput, dicampur susu. Minuman sarsaparilla juga atau root beer nama kerennya, tidak ketinggalan. Kalau sekarang namanya soda gembira.

Kalau minum susu segelas, sayang rasanya. Susunya cepat habis. Bisa dimengerti mengapa kemudian kopi susu menjadi abadi di kosakata rasa aku. Tetapi kini, aku minumnya hanya di pagi hari dan tidak di waktu lain. Hanya di pagi hari di rumah. Di tempat lain aku tidak mencarinya. Di kota lain, tidak pernah aku minum. Kopi hitam dan kopi susu menjadi penanda kehidupanku dimulai.

Nah, di kopi susu itu ada sedikit kisah yang cukup unik, tidak unik, maksudnya sedikit ada proses. Sampai pada takaran susu dan kopi yang pas, perlu waktu yang cukup lama. Kalo dulu masa kanak-kanak, susunya adalah susu kaleng dengan tulisan kental manis. Kalau sekarang susu bubuk biasa saja yang instan dan tanpa rasa. Tidak rasa madu. Tidak rasa vanila. Tidak juga rasa madu. Kalau dulu, asal tercampur susu saja.

Awalnya ketidaksengajaan saja. Awalnya hanya satu sendok. Terasa nikmat. Ini menjadi kebiasaan, satu sendok teh susu untuk satu gelas mug standar. Warnanya agak hitam, tidak terlalu kental. Encer.

Di suatu kesempatan lain, secara tidak sengaja, campurannya menjadi dua sendok susu. Warnannya lebih kecoklatan dan rasa susunya lebih terasa tetapi kopinya juga masih kuat. Kalau dalam ilmu kafe kopi, perbandingan takaran susu dan kopi akan merubah nama. Kalau aku, namanya tetap kopi susu.

Dua sendok lebih nikmat dari pada satu. Dua sendok, rasa dan warna lebih terbagi. Kelihatan warna susunya dan juga kopinya. Kentalnya pas, tidak terlalu encer sehingga tidak meluncur begitu saja di tenggorokan. Tidak terlalu kental sehingga tidak terhambat di tenggorokan. Aroma dan rasanya seimbang. Pas dan tidak saling berebut. Rasanya adil, tegas, dan mantap. Campuran dua sendok susu menjadi standar dan benchmark. Termasuk jika di suatu kesempatan istriku yang menyeduhkannya buat aku. Dua sendok susu. Ya dua. Itu paling pas.

Di suatu kesempatan, secara tidak sengaja juga, mungkin karena melamun, akhirnya susunya menjadi tiga sendok. Karena malas memasukkan sesuatu yang sudah keluar, ya sudah, aku biarkan saja campuran susunya tiga sendok. Tiga sendok untuk gelas mug yang sama. Rasanya menjadi terlalu manis untuk standar aku. Susunya merajai rasa kopi. Warnanya menjadi lebih putih dan tidak nikmat lagi. Yang paling jelas, susu kopinya membuat mual. Rasa tidak nyaman muncul. Kebanyakan susu ini berakibat pada rasa manis yang menguat. Tidak nyaman tidak nikmat. Kejadian kali ini menjadi pembelajaran. Manis, tetapi berujung tidak nikmat. Tidak untuk tiga sendok. Tidak tiga.

Akhirnya, standarnya itu hanya dua sendok saja. Tidak satu. Tidak tiga. Dua sendok sudah menjadi takaran yang pas. Karena kalau satu, sangat kurang, terlalu encer dan tidak ada rasa yang tertinggal di tenggorokan. Kalau tiga, terlalu banyak susu sehingga membuat jadi mual. Tiga memberikan yang manis tetapi tidak nikmat di ujungnya.

Jadi dua saja. Tidak satu dan tidak tiga. Kalau satu dan tiga, aku akan buang saja. Mengkhianati rasa nikmat yang ada.

Jadi dua saja. Karena dua sudah menjadi standar untuk minuman kopi susu sebagai pendamping kopi hitam dengan jaminan rasa nikmat.

Di saat ini, di musim hujan, gerimis pagi selalu datang di Jakarta. Nikmat kopi susu itu menambah indahnya bulan ini, bulan dua bulan Februari. Bulan kasih sayang. Bulan dimana aku menghadapi realitas dan memikirkan keseharian dengan segelas kopi dan segelas kopi susu. Aku tidak memikirkan lagi bulan satu, karena bulan satu sudah lewat. Aku tidak akan memikirkan bulan tiga, masih jauh. Untuk apa juga memikirkan sesuatu yang masih jauh. Iya, kan?

Terakhir, aku ingin ucapkan selamat memilih besok! Sebelum memilih, aku akan minum segelas kopi hitam dan segelas kopi susu dengan campuran dua sendok susu. Ya, dua! Tidak satu, tidak tiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun