Susu ini jika ada rejeki dapat terbeli. Supaya hemat maka dicampur dengan berbagai minuman murah meriah. Kopi salah satunya. Teh manis juga dicampur susu. Air tajin tidak luput, dicampur susu. Minuman sarsaparilla juga atau root beer nama kerennya, tidak ketinggalan. Kalau sekarang namanya soda gembira.
Kalau minum susu segelas, sayang rasanya. Susunya cepat habis. Bisa dimengerti mengapa kemudian kopi susu menjadi abadi di kosakata rasa aku. Tetapi kini, aku minumnya hanya di pagi hari dan tidak di waktu lain. Hanya di pagi hari di rumah. Di tempat lain aku tidak mencarinya. Di kota lain, tidak pernah aku minum. Kopi hitam dan kopi susu menjadi penanda kehidupanku dimulai.
Nah, di kopi susu itu ada sedikit kisah yang cukup unik, tidak unik, maksudnya sedikit ada proses. Sampai pada takaran susu dan kopi yang pas, perlu waktu yang cukup lama. Kalo dulu masa kanak-kanak, susunya adalah susu kaleng dengan tulisan kental manis. Kalau sekarang susu bubuk biasa saja yang instan dan tanpa rasa. Tidak rasa madu. Tidak rasa vanila. Tidak juga rasa madu. Kalau dulu, asal tercampur susu saja.
Awalnya ketidaksengajaan saja. Awalnya hanya satu sendok. Terasa nikmat. Ini menjadi kebiasaan, satu sendok teh susu untuk satu gelas mug standar. Warnanya agak hitam, tidak terlalu kental. Encer.
Di suatu kesempatan lain, secara tidak sengaja, campurannya menjadi dua sendok susu. Warnannya lebih kecoklatan dan rasa susunya lebih terasa tetapi kopinya juga masih kuat. Kalau dalam ilmu kafe kopi, perbandingan takaran susu dan kopi akan merubah nama. Kalau aku, namanya tetap kopi susu.
Dua sendok lebih nikmat dari pada satu. Dua sendok, rasa dan warna lebih terbagi. Kelihatan warna susunya dan juga kopinya. Kentalnya pas, tidak terlalu encer sehingga tidak meluncur begitu saja di tenggorokan. Tidak terlalu kental sehingga tidak terhambat di tenggorokan. Aroma dan rasanya seimbang. Pas dan tidak saling berebut. Rasanya adil, tegas, dan mantap. Campuran dua sendok susu menjadi standar dan benchmark. Termasuk jika di suatu kesempatan istriku yang menyeduhkannya buat aku. Dua sendok susu. Ya dua. Itu paling pas.
Di suatu kesempatan, secara tidak sengaja juga, mungkin karena melamun, akhirnya susunya menjadi tiga sendok. Karena malas memasukkan sesuatu yang sudah keluar, ya sudah, aku biarkan saja campuran susunya tiga sendok. Tiga sendok untuk gelas mug yang sama. Rasanya menjadi terlalu manis untuk standar aku. Susunya merajai rasa kopi. Warnanya menjadi lebih putih dan tidak nikmat lagi. Yang paling jelas, susu kopinya membuat mual. Rasa tidak nyaman muncul. Kebanyakan susu ini berakibat pada rasa manis yang menguat. Tidak nyaman tidak nikmat. Kejadian kali ini menjadi pembelajaran. Manis, tetapi berujung tidak nikmat. Tidak untuk tiga sendok. Tidak tiga.
Akhirnya, standarnya itu hanya dua sendok saja. Tidak satu. Tidak tiga. Dua sendok sudah menjadi takaran yang pas. Karena kalau satu, sangat kurang, terlalu encer dan tidak ada rasa yang tertinggal di tenggorokan. Kalau tiga, terlalu banyak susu sehingga membuat jadi mual. Tiga memberikan yang manis tetapi tidak nikmat di ujungnya.
Jadi dua saja. Tidak satu dan tidak tiga. Kalau satu dan tiga, aku akan buang saja. Mengkhianati rasa nikmat yang ada.
Jadi dua saja. Karena dua sudah menjadi standar untuk minuman kopi susu sebagai pendamping kopi hitam dengan jaminan rasa nikmat.
Di saat ini, di musim hujan, gerimis pagi selalu datang di Jakarta. Nikmat kopi susu itu menambah indahnya bulan ini, bulan dua bulan Februari. Bulan kasih sayang. Bulan dimana aku menghadapi realitas dan memikirkan keseharian dengan segelas kopi dan segelas kopi susu. Aku tidak memikirkan lagi bulan satu, karena bulan satu sudah lewat. Aku tidak akan memikirkan bulan tiga, masih jauh. Untuk apa juga memikirkan sesuatu yang masih jauh. Iya, kan?