Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Agus dan Anies Menjajakan Program Tanpa Bayangan

13 Februari 2017   14:07 Diperbarui: 13 Februari 2017   14:54 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.idnusa.com

Baiklah, kita coba perjelas frasa ‘tanpa bayangan’ itu. Biasanya frasa ini disandingkan dengan tendangan, menjadi tendangan tanpa bayangan. Biasanya juga, yang memiliki bayangan adalah sesuatu yang nyata dan riil. Sesuatu yang memiliki wujud dan rupa. Sesuatu yang tangible. Pada frasa tendangan tanpa bayangan pun sebenarnya pasti ada bayangannya. Hanya, karena terlalu cepat dianggap tanpa bayangan. Mata tidak sempat menangkap bayangannya.

Dengan menggunakan analogi di atas, dalam konteks tulisan ini, maka program tanpa bayangan diasumsikan sebagai program yang tidak riil. Lebih jauh diasumsikan sebagai progam yang tidak nyata, tak dapat diwujudkan. Sesuatu yang sangat mustahil untuk dilaksanakan.

Dalam konteks pemerintahan, program-program itu tidak mungkin dilaksanakan sepenuhnya. Nantinya, bila terpilih akan dilaksanakan secara simbolis saja dan selesai. Artinya program tidak ada. Mengapa sulit dilakukan? Pastinya banyak faktor, setidaknya dalam tulisan ini yang dilihat adalah faktor ruang dan kemampuan fiskal pemerintah.

Pada tiga debat pilkada DKI yang telah dilaksanakan, dua pasangan penantang berupaya mempromosikan diri untuk menarik perhatian calon pemilih. Upaya-upaya yang dilakukan secara resmi, maksudnya dalam kampanye-kampanye yang diatur oleh KPUD DKI Jakarta, yakni dengan menyampaikan program-program menarik untuk direalisasikan jika nanti terpilih.

Ada satu hal yang menonjol ke permukaan karena memang sering disampaikan. Program-program berbasis uang. Sebenarnya, akan sangat sulit direalisasikannya, tetapi berulang disampaikan. Dengan iming-iming rupiah, diharapkan banyak yang akan memilih mereka.

Mari kita simak kira-kira rupa program-program tanpa bayangan ini, yang seyogyanya tidak akan mewujud.

Bantuan-Bantuan Tunai Agus

Ada beberapa bantuan tunai yang akan diberikan Agus jika terpilih nantinya. Dana 1 milyar rupiah akan diberikan kepada setiap Rukun Warga sebagai pendanaan untuk komunitas. Tidak jelas juga komunitas yang dimaksudkan Agus. Bantuan 5 juta rupiah untuk masyarakat miskin per keluarga per tahun untuk sementara waktu. Sementara waktu tidak ditentukan batasnya. Masih ditambah lagi dengan dana bergulir untuk satu unit usaha sebesar 50 juta dengan target 20.000 unit usaha per tahunnya.

Dengan hitung-hitungan yang telah dilakukan, maka akan diperlukan setidaknya dana hampir mencapai 2/3 dari APBD DKI Jakarta. Ini akan sangat membebani APBD DKI dan pembangunan di Jakarta tidak akan dapat berjalan. Coba kita sekilas lihat komposisi belanja APBD DKI.

Kebutuhan akan belanja pegawai sendiri di Jakarta sangat besar. Memang di daerah lain, kebutuhan belanja pegawai ini mencapai hingga 50-70% dari APBD. Di Jakarta, belanja pegawai mencapai 18-19 triyun rupiah untuk tahun 2016. Ini mencapai 30% dari total APBD. Belanja modal sendiri mencapai 20 trilyun rupiah. Dari angka APBD realisasi, ini bearnya 33%. Belum lagi belanja barang dan jasa yang mencapai 27%. Tiga komponen APBD ini sendiri telah mencapai 90 % dari total. Jadi sangat tidak mungkin mendapatkan dana yang begitu besar untuk membiayai bantuan langsung tunai untuk keluarga miskin Jakarta, bantuan dana bergulir yang sudah pernah dilaksanakan dan mandek, juga dana 1 milyar per RW.

Agus menganggap bahwa bantuan tunai langsung merupakan obat mujarab untuk mengatasi kemiskinan, seperti disampaikan di kampanyenya pada November 2016 di Jakarta Utara. Ini merupakan pernyataan yang sangat tidak tepat, apalagi sifatnya hanya sementara. Agus selalu lupa dengan adagium, ‘Jangan berikan ikannya, tapi pancingnya’. Program gula-gula ini sangat manis di telinga para pendukungnya. Jangka panjang, ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Dan juga tidak mungkin dilaksanakan dilihat dari ruang fiskal APBD DKI Jakarta.

Sebagai tambahan, dalam prakteknya nanti, Agus sepertinya tidak perduli dengan pengawasan. Setiap ditanyakan terkait cara menghindari ‘pembocoran’ programmnya, jawaban saktinya selalu, “Janganlah selalu mencurigai rakyat”. Jika dipahami lebih lanjut, maknanya adalah tidak perlu pengawasan dan audit. Kalau begitu, bubarkan saja BPK, BPKP, dan juga inspektorat. Cukup mempercayai saja, sudah tuntas. Parah kan!

Program Perumahan Anies

Tidak mau kalah dengan Agus, Anies juga membuat program yang sangat manis untuk telinga para calon pemilih, terutama dari kalangan miskin. Anies berencana memberikan perumahan murah kepada penduduk miskin tanpa uang muka.

Jika kita mengasumsikan pembanguan rumah untuk 128.000 keluarga miskin menurut BPS, maka dengan luasan 36 meter persegi diperlukan setidaknya lahan 460 hektar. Ini belum termasuk fasilitas umum, fasilitas permukiman dan ruang terbuka hijau. Jika difaktorkan, maka setidaknya perlu hingga 30% lagi. Totalnya menjadi 600 hektar. Lalu, utilitasnya seperti air bersih juga harus dipikirkan. Saat ini saja pemerintah DKI sangat kesulitan mendapatkan lahan untuk ruang terbuka hijau dan pembangunan rusunawa.

Dengan asumsi 600 hektar tadi, dengan ruang-ruang di Jakarta yang sangat mahal, maka diperlukan pendanaan hingga 30 trilyun dengan asumsi harga tanah per meter 5 juta rupiah. Harga ini benar-benar sudah sangat optimis, artinya sangat diminimalkan. Ini pastinya sudah di pinggiran Jakarta.

Lalu dengan luas rumah masing-masing 36 meter persegi, dengan harga 4 juta rupiah per meter persegi untuk pembangunannya, diperlukan 18 trilyun rupiah. Jika dilaksanakan dalam 5 tahun pemerintahannya, maka akan diperlukan lebih dari 9 trilyun rupiah per tahun. Ini jika rumah-rumahnya dibangun mepet, tanpa jarak, dan tanpa fasilitas umum serta tanpa infrastruktur permukiman seperti jalan permukiman, drainase dan sempadan bangunan. Apabila fasilitas tersebut dibangun, maka, biaya yang diperlukan lebih dari 9 trilyun per tahun.

Lalu, dari mana dananya untuk pembangunan rumah seperti itu? DKI Jakarta saat ini hanya punya kapasitas kurang dari 3 trilyun rupiah per tahun. Pemerintah DKI Jakarta menganggarkan 2,7 trilyun rupiah untuk tahun 2017.

Dengan asumsi luasan tanah dan bangunan serta harga-harganya, setidaknya harga rumah menjadi 360 juta rupiah. Jika dicicil 1 juta per bulan tanpa bunga dan tanpa uang muka, diperlukan waktu hingga 30 tahun. Masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari 1 juta itu tidak akan sanggup untuk membiayainya. Siapa yang akan mendanai program raksasa seperti itu di DKI Jakarta? Tidak realistis, bukan?

Dengan demikian, rusunawa sudah menjadi pemecahan terbaik. Memang penduduk miskin tidak akan memiliki rumah seumur hidupnya, tetapi bisa memenuhi hunian yang layak karena disediakan pemerintah untuk disewakan dengan biaya yang sangat murah. Mereka akan mendapatkan standar hidup yang jauh lebih baik, dengan segala fasilitas yang disediakan pemerintah DKI.

Di atas semuanya, baik Agus dan Anies mencoba meraih suara calon pemilih dengan manisnya gula program berbasis uang. Ini tidak jauh berbeda dengan politik uang secara prinsip. Program-program yang ditawarkan sejatinya adalah program tanpa bayangan. Tidak nyata. Tidak akan terjadi.

Akhirnya, semangatnya adalah soal mendapatkan jumlah suara itu soal sekarang, soal merealisasikan itu soal nanti. Bisa dicarikan sejuta alasan untuk mengelak darinya. Pasti, karena mereka adalah cerdik pandai dunia narasi untuk menjual gula-gula manis. Bukankah Anies dengan mudah mengubah tanpa uang muka dengan mengatakan menabung dulu selama 6 bulan untuk uang mukanya? Masih ingatkan di debat ketiga yang lalu? Menyedihkan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun