Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada DKI dan Masyarakat Berkepribadian Ganda

7 Februari 2017   14:31 Diperbarui: 7 Februari 2017   14:41 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: health.kompas.com

Setiap individu hidup dengan individual created reality. Created reality berdasarkan perspektif terhadap realitas pada umumnya, realitas sosial. Terbentukanya realita sendiri ini sangat tergantung kepada nilai, keyakinan, norma, pengetahuan dan pengalaman. Perbedaan antara nilai-nilai di realitas sosial dengan nilai-nilai pribadi menyebabkan timbulnya realitas sendiri. Realitas sendiri pada tahapan yang ekstrim akan menciptakan eksklusivitas.

Eksklusivitas ini sangat berbahaya dalam pengertian jika berkembang pada pandangan bahwa nilai-nilai selain yang dimiliki adalah salah. Nilai-nilai salah ini harus dihilangkan. Pemurnian nilai ini dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok.

Pada satu titik, masing-masing individu dengan realitas individualnya mungkin sekali bertemu dengan individu lain dengan pemahaman yang sama. Realitas ini menjadi realitas kelompok (Collective Reality) dan bisa dikatakan sebagai realitas sosial dengan anggota terbatas. Dalam konteks tulisan ini dinamakan realitas kelompok dan sifatnya eksklusif. Kelompok ini bisa terbentuk secara sengaja maupun tidak dari interaksi di berbagai kesempatan, atas kesadaran bersama terhadap nilai-nilai yang dianut.

Dengan berkembangnya media sosial, terjadi ekstrapolasi yang sangat cepat dan masif. Proses ektensfikasi dan intensfikasi dapat dilakukan secara cepat dan tanpa batas. Teknologi memberikan kesempatan besar dan luas tanpa harus bertemu secara langsung. Kebersamaan emosional dapat dibentuk dalam kelompok di media sosial meskipun pertemuan secara fisik tidak terjadi.

Karena, seperti disampaikan di atas, ini terkait perspektif masing-masing individu. Informasi yang disebarkan di antara anggota kelompok ini terbatas dan hanya yang bersifat menyuburkan nilai-nilai yang dianut.

Kesamaan nilai bisa menjelma pada satu individu yang mewakili nilai-nilai tadi. Apabila seseorang menemukan nilai-nilai realitas individu pada satu sosok, maka ada kecenderungan individu tersebut mengidolakan sosok itu. Demikian juga halnya dengan realitas kelompok. Dalam konteks tertentu, sosok ini salah satunya bisa mewujud dalam diri seorang pemimpin, termasuk pada calon-calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017 ini.

Nilai-Nilai Melekat Calon Gubernur DKI

Terlepas dari dukungan para partai pendukung yang mencalonkan seorang tokoh menjadi calon gubernur, masyarakat akan memilih berdasarkan nilai-nilai yang dianut yang terdapat pada sosok calon gubernur. Nilai-nilai individu ini sebangun dengan nilai-nilai yang dimunculkan dalam sosok tersebut. Kemungkinannya, nilai-nilai yang terkandung di sosok tersebut bisa asli atau pun dicitrakan sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan realitas individu dan sosial yang terdapat di masyarakat. Realitas individu dan sosial yang ada di masyarakat yang diyakini partai dan tim pendukung.

Saat ini, setidaknya ada tiga pasangan calon gubernur yang bertarung. Masing-masing pasangan memiliki nilai-nilai yang dipromosikan secara konstan. Calon, bisa jadi, mencitrakan diri sesuai dengan nilai-nilai realitas individu dan sosial masyarakat yang dipersepsikannya.

Agus dipersepsikan sebagai calon gubernur yang gagah, muda, dan tegas. Nilai ini didasarkan pada fakta yang ada pada Agus. Gagah karena Agus masih muda dan mantan militer sehingga diasumsikan tegas. Lalu dikomodifikasi dalam bentuk pesan bahwa pemimpin Jakarta perlu yang muda, gagah dan tegas untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Jakarta. Tim Pendukung dan Agus mempersepsikan realitas sosial masyarakat memiliki nilai-nilai yang disodorkan.

Pada calon dari nomor 2, Ahok dipersepsikan sebagai calon gubernur yang pekerja keras, bersih dan profesional serta sudah terbukti. Semua nilai-nilai yang ditonjolkan tersebut didasarkan pada pengalaman yang sudah dijalankan. Masalah-masalah di Jakarta telah diselesaikan sebagian dan itu hanya bisa terjadi karena gubernurnya seorang pekerja keras, bersih dan profesional. Calon gubernur Ahok dan pendukungnya mempersepsikan nilai-nilai tersebut bersemayam dalam realitas sosial dan individu masyarakat Jakarta.

Anies dengan dukungan dua partai ini, digambarkan sebagai tokoh yang cerdas, berpengalaman, dan penuh empati. Program dengan slogan merangkul masyarakat dengan hati dan bekerja cerdas. Nilai-nilai di atas tentunya didasarkan pada persepsi nilai-nilai realitas sosial dan individu.

Perbedaan nilai yang masing-masing dipromosikan mendapat respon dari masing-masing realitas sosial dan realitas individu. Masing-masing realitas ini pada kenyataannya menciptakan polarisasi di masyarakat.

Menciptakan Kepribadian Dunia Maya

Polarisasi ini terbentuk di dunia nyata dan dunia maya. Tetapi, ternyata polarisasi yang sangat brutal dan kasar terjadi jauh lebih masif di dunia maya. Sementara di dunia nyata tidak sedemikian. Materialisasi nilai-nilai realitas individu di dunia maya dalam bentuk ujaran, tulisan, gambar dan meme dalam berbagai format media sosial, cendrung sangat brutal dan mentah, tidak ada saringan. Pada tataran dunia nyata, keberingasan itu tidak tampak dan cendrung tidak muncul secara kasat mata.

Dukungan kelompok makin menyuburkan ujaran-ujaran tadi termasuk proses diseminasinya melalui berbagai format. Dalam konteks Pilkada DKI 2017, maka di dunia maya yang terjadi adalah perang yang sangat brutal dan vulgar. Untuk mempertahankan nilai-nilai dalam realitas individu dan kelompok, sering sekali ditemukan pernyataan-pernyataan yang banal, mentah, telanjang, kasar, tidak beretika, menakutkan, mengancam bahkan menganjurkan pelenyapan nyawa orang lain. Tetapi lihatlah di jalanan, tidak ada emosi yang meletup seperti di laman-laman media sosial itu.

Dengan adanya individu dengan realitas yang sama di dunia maya, individu-individu ini seperti mendapatkan tempat untuk menyemainya. Tanda Like dan sentimen positif semakin memberikan rasa percaya diri bagi individu yang menyerukan kebanalan tersebut. Semakin besar dukungan dan sentimen positif, maka semakin maksimal kebanalannya. Pada batas tertentu, karena terlalu semangat harus berhadapan di depan hukum.

Pertarungan di dunia maya dalam rangka mendukung nilai-nilai yang dianut ternyata menciptakan situasi baru. Kemampuan untuk mengungkapkan kebencian, hinaan dan ancaman di dunia maya ternyata tidak sama dengan kemampuan melakukannya di dunia nyata. Masyarakat sepertinya menciptakan personalitybaru, kepribadian dunia maya. Ini bisa terjadi. Seperti dalam film Split, diceritakan seseorang dengan 24 kepribadian, dengan sikap dan perilaku masing-masing.

Kepribadian baru ini, yang sama sekali berbeda dengan yang di dunia nyata, mendukung penyaluran kebanalannya. Kepribadian baru ini memiliki keberanian untuk melakukan kebanalan dalam kerangka pembelaan nilai-nilai yang dianut, selanjutnya penyaluran pada pilihan calon pimpinan. Kepribadian baru ini merasa nyaman dengan tindakannya yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata. Sebabnya, ada banyak yang mendukungnnya. Akun-akun orang lain dianggapnya tidak bernyawa. Dia merasa berada di ruang kosong. Tidak mendapatkan reaksi langsung yang nyata.

Begitulah kenyataannya, sehingga di dunia nyata seorang yang dikenal sangat baik, murah senyum dan berwajah manis dan rupawan serta baik hati, ternyata di media sosial berkelakuan brutal dengan tingkat kebencian yang sangat tinggi, untuk membela nilai-nilai yang dianut dalam realitas individunya. Segala sesuatu yang berbeda dengan nilainya adalah salah dan harus dimurnikan.

Tampaknya, masyarakat kita telah berhasil menciptakan kepribadian dunia maya ini, melihat banyaknya ucapan kebencian dan berita bohong yang bertebaran. Sesungguhnya, masyarakat kita telah menjadi masyarakat dengan kepribadian ganda. Mungkin tidak seluruhnya. Ini adalah sebuah kenyataan baru yang menjadi keniscayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun