Pilkada DKI mulai mendekati akhirnya. Menurut laman KPU Jakarta, tersisa 14 hari menuju pemilihan gubernur pada tanggal 15 Februari 2015. Saat dimana visi, misi, program, kerja, elektabilitas, popularitas, dan kemampuan diputuskan nasibnya. Hanya yang mampu yang terpilih. Idealnya begitu.
Menuju pemilihan gubernur DKI 2017 ini, KPU telah melakukan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Pekerjaan yang harus dilakukan dengan hati-hati. Pekerjaan yang dibayangi banyaknya pelanggaran pilkada, calon-calon yang kena kasus serta militansi para pendukung setia. Belum lagi para pemain besar di belakang layar, awalnya. Sekarang orang-orang besar itu sudah mulai ikut kampanye.
Salah satu rangkaian proses pemilihan gubernur DKI 2017 ini adalah debat publik sebanyak tiga kali. Dua kali telah dilaksanakan, yakni pada 13 dan 27 januari 2017. Hasilnya, masing-masing pengusung mengatakan jagoannya yang memenangkan perdebatan. Meskipun di luaran beritanya bisa berbeda drastis. Pengamat yang selalu dicurigai juga memberikan penilaian tersendiri. Khalayak mungkin sudah mengetahui istilah penghapal dan ahli teori dalam konteks pilkada DKI ini.
Pelaksanaan debat ini menjadi semacam instrumen untuk menunjukkan kemampuan masing-masing pasangan calon terkait perencanaan, pemaparan dan tentunya implimentasinya, jika nantinya terpilih. Tema-tema disiapkan di masing-masing debat. Harapannya, seluruh tema terkait sektor pelayanan publik di Jakarta dapat disentuh.
Untuk debat pertama, temanya adalah Pembangunan Sosial Ekonomi untuk Jakarta dengan isu ketimpangan sosial, lapangan kerja, transportasi, pendidikan dan lingkungan. Di debat kedua reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan penataan kawasan perkotaan. Di debat ketiga masih dirahasiakan. Takut bocor.
Untuk menyiapkan tema dan isu-isu untuk debat, tokoh-tokoh ditunjuk menjadi panelis. Tidak kurang Imam Prasodjo, Siti Zuhro, Eko Prasodjo, Yayat Supriyatna dan Tulus Abadi yang berperan sebagai juru penyusun pertanyaan. Bahkan di debat kedua, Eko Prasodjo yang sebelumnya adalah wakil menteri PAN-RB dan sekarang guru besar di FISP UI, sekaligus menjadi moderator debat.
Hal yang sangat diharapkan oleh para panelis ini dalam merancang pertanyaan adalah untuk mendapatkan gambaran dari masing-masing pasangan calon tentang program-program yang dibuat sebagai translasi dari visi dan misi yang disiapkan dalam tingkatan operasional. Pada tingkatan cara melaksanakannya. Mereka menginginkan para pasangan calon gubernur DKI dapat menjelaskan secara rinci program dan implementasinya. Hal ini diperkuat dari komentar para panelis ini pasca debat. Pada intinya, mereka ingin mendapatkan gambaran rinci pada tataran teknis. Jawaban how to bukan know how. Teknis dan rinci.
Harapan para panelis ini sangat baik untuk memberikan menu yang harus dipilih. Harapan yang baik ini ternyata sekaligus sebuah kesalahan fatal.
Gagap Hal Teknis
Alah bisa karena biasa. Sebuah pepatah yang mengandung makna bahwa untuk memahami sesuatu maka harus dilakukan berulang kali. Practice makes perfect. Masih sebuah peribahasa yang mengandung makna melakukan berulang kali untuk paham dengan sempurna. Jika tidak pernah melakukan, maka bisa dipastikan tidak mengerti. Pemahamannya akan sangat rendah. Sesuatu akan dipahami dengan baik, bentuknya, rasanya, caranya hingga menjadi sesuatu yang dapat dilakukan tanpa banyak berfikir, jika dan hanya jika menjadi bagian dari keseharian.
Ibaratnya, menyetir mobil. Untuk para pemula, maka akan terjadi proses berfikir yang masif yang justru mengakibatkan mobilnya berjalan dengan perlahan. Tetapi, jika dilakukan sesering mungkin, maka menyertir akan masuk ke sistem bawah sadar. Seorang sopir bisa menyetir mobil sambil melakukan pekerjaan lainnya, walaupun tetap tidak berlebihan seperti mengendarai sambil main-main handphone.
Sama halnya dengan mengurus negara. Presiden Amerika Serikat sendiri untuk pertama kalinya butuh 6-9 bulan untuk memahami operasionalisasi sistem pemerintahan dan negaranya. Di Jakarta, pastinya proses itu pun terjadi. Perlu bergulat langsung dengan masalah pemerintahan untuk dapat memahaminya dan menjelaskannya secara teknis.
Di DKI sendiri urusan pelayanan publik dapat dilihat dari jumlah sektor yang ada. Dengan perampingan yang dilakukan Plt gubernur DKI baru-baru ini, terdapat setidaknya 43 sektor pelayanan publik. Bisa dibayangkan kerumitan memahami secara teknis isu-isu terkait masing-masing sektor.
Jadi, untuk sampai pada tingkatan teknis ini, Agus dan Anies akan mengalami gagap. Tingkatan teknis masing-masing isu yang menjadi bahan perdebatan menjadi masalah serius bagi kedua calon. Meskipun Agus didampingi oleh Mpok Silvy yang merupakan bagian dari birokrasi, tetap saja, beliau hanya bermain di sektor terbatas saja. Anies juga demikian. Pengalaman di birokrasi tidak membantunya memahami teknis pelayanan publik ini. Menjadi menteri, beliau hanya memegang satu sektor layanan publik. Karena posisisnya sangat tinggi, maka tingkatan operasional bukanlah sesuatu yang jamak beliau lakukan.
Sementara Ahok dengan gaya micromanagement-nyamemiliki kesempatan luas untuk memahami teknis pelayanan publik ini. Sebabnya, pasti karena Ahok setiap hari bergulat dengan masalah kebijakan dan pelayanan publik. Terkait pendidikan, kesehatan, tranportasi, penataan sungai, relokasi dan masih banyak lagi, Ahok secara langsung terlibat dan mengetahui permasalahannya dengan pasti. Dengan sistem berbasis teknologi yang disebut dengan smart city, Ahok dapat mengontrol sumber daya dengan baik dan memobilisasinya dengan cepat pada saat diperlukan. Ini dilakukan setiap hari. Dan permasalahan didapatkan langsung dari bergaul dengan masyarakat, aduan masyarakat dan aplikasi yang diciptakan untuk eksekusi pelayanan publik yang diharapkan rakyat Jakarta. Ini sudah terbukti.
Jawaban Teknis Rasa Wacana
Hasilnya bisa disaksikan pada dua debat yang lalu. Para penantang mencoba memenuhi hasrat dari para panelis ini. Mencoba menjelaskan secara teknis realisasi program-program yang diturunkan dari visi yang sudah dirancang semenarik mungkin.
Kenyataannya, semakin dalam dalam perdebatan, menukik kepada persoalan teknis termasuk cara penyelesaian masalahnya, semakin kelihatan terjadi kegagalan dalam menjawab. Mencoba menukik lagi, gagal lagi memberikan gambaran operasional programnya. Sehingga yang muncul adalah pernyataan-pernyataan tidak nyambung.
Ketika Agus ditanyakan tentang cara untuk menata perkotaan dengan tanpa menggusur, keluarlah jawaban sakti. Sakti karena berulang-ulang.
“Kita jangan selalu berfikiran negatif. Kita harus optimis dengan rencana kita. Kita harus kreatif untuk melaksanakannya. Pasti akan ditemukan caranya” dengan lantang Agus menyampaikan jawabannya. Ketika ditanyakan tentang cara menata birokrasi di DKI Jakarta, kembali Agus berulah dengan jawaban mengambangnya. “Pemimpin seharusnya tidak ditakuti oleh rakyat. Pemimpin harus lebih humanis supaya Jakarta bisa maju” masih dengan cara yang sama. Lalu jawaban pertanyaannya apa?
Disisi lain ada Anies dengan semboyannya yang sangat bagus- Jakarta kota maju dan beradab dengan seluruh warga merasakan keadilan dan kesejahteraan- juga mengalami masalah serius terkait pemaparan pada tingkatan operasional ini.
Menggeser tanpa menggusur. Merangkul bukan memukul. Semua dilakukan dengan hati. Semuanya masih tataran visi. Padahal dimintanya pada jawaban operasional. Jawaban teknis. Menjadi membingungkan ketika melakukan penataan sungai dengan menggeser saja. Sementara diperlukan ruang luas untuk dapat menata sungai dan itu diatur dalam peraturan. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
Terkait merangkul bukan memukul, lagi-lagi Anies tidak paham dengan konsep manusia X dan manusia Y. Ada juga sistem reward and punishment. Atau carrot and stick. Penduduk Indonesia masih masuk golongan manusia X. Untuk itu, maka diperlukan model yang tegas dan keras untuk memastikan bahwa sistem dapat berjalan baik dibarengi ala manajemen mikro. Pengawasan melekat dan tidak diberi hati, tetapi diberi hadiah jika berprestasi dan diberikan tongkat (hukuman) jika bersalah. Lalu, jika semuanya dilakukan dengan hati, pertanyaanya dalam hati siapa yang tahu.
Dengan pemahaman yang sangat rendah terkait teknis pelayanan publik di Jakarta yang melibatkan setidaknya 43 sektor, berujung pada jawaban-jawaban yang mengambang dan tidak operasional. Wajar saja ini terjadi, karena para penantang itu tidak memiliki pengalaman melaksanakannya.
Untuk menghindari hal tersebut di atas terjadi lagi, maka kesalahan fatal tersebut harus diperbaiki. Seharusnya, para panelis ini merancang pertanyaan yang sifatnya lebih konseptual saja alias pada tataran visi dan misi saja. Pertanyaan yang hanya menggambarkan gambaran umum, kerangka besar, generic framework, dan garis-garis besarnya saja. Dengan demikian, pertarungan menjadi adil dan setara. Kedua pasangan tidak dibantai oleh petahana. Nantinya, akan ada yang tersenyum karena sukses menghapal. Di sudut lain, akan ada yang bangga karena sukses berteori.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H