Ada kecenderungan bahwa proses pengambilan keputusan, kurangnya prosedur dan peraturan yang terlembaga, penurunan ideologi atau pun prinsip tunggal hanya memperburuk dukungan publik dan melemahkan partisipasi publik dalam aktivitas-aktivitas politis partai. Keengganan untuk menjangkau masyarakat lebih luas serta konsultasi publik yang tidak dilakukan telah mengurangi secara drastis dukungan publik, sementara kampaye lewat media hanya menguntungkan calon yang diusung tetapi tidak bagi partai.
Sepertinya apa yang disampaikan Kenneth Wollack ini masih relevan dengan partai PDIP yang saat ini melakukan penjaringan untuk calon Gubernur DKI. PDIP dengan jumawanya tidak berkonsultasi dengan publik. Bahkan tingkah para anggotanya di terutama di DPR masih jumawa sebagai partai pemenang pemilu, meskipun pada kenyataannya PDIP tidak mendapatkan kursi pimpinan di DPR. Kondisi yang harusnya membuat PDIP harus berkaca dan memantas kembali posisi PDIP di masyarakat.
Dengan demikian, akan seperti apa calon yang akan diajukan oleh PDIP untuk menantang Ahok dengan kondisi partai yang sedemikian rupa. Seperti apa pun indikator-indikator yang dirancang oleh think thankPDIP, kalau ada, akan berakhir di tangan Megawati sebagai ketua partai yang memiliki hak veto absolut dalam menentukan tarikan nafas partai.
Nantinya, dengan kondisi yang demikian, publik tidak akan terkejut jika kemudian yang dicalonkan PDIP adalah Ahok atau mungkin sama sekali yang diluar bayangan publik. Bisa jadi, yang akan dipilih adalah pembawa upeti terbesar. Publik masih harus menunggu.
Tetapi, melihat sepak terjang PDIP yang selalu kalah meskipun menang dan selalu tunduk pada sabda ketua, masyarakat tidak perlu berharap akan ada calon yang bisa mengalahkan Ahok dari PDIP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H