Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Cilaka, Audit Pembelian Lahan Sumber Waras Tidak Pakai Logika

21 April 2016   23:20 Diperbarui: 21 April 2016   23:50 2330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Rumah Sakit Sumber Waras. Foto: en.tempo.co"][/caption]Dicegat saat tiba di kantornya di gedung BPK, Jumat siang (15/4/2016), Prof. Eddy Mulyadi Soepardi menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan dari berbagai media massa. Salah satu pertanyaan yang diajukan wartawan kepadanya, “Bagaimana logikanya sehingga ada perbedaan pendapat antara BPK dengan Pemprov DKI Jakarta?”, tanya seorang wartawan.

Prof. Eddy, Anggota III BPK dalam pemeriksaan kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI, menjawab, “Audit tidak pakai logika. Kami mengumpulkan fakta-fakta” Sekaligus, dia juga menepis tudingan audit yang dilakukan BPK ngaco. Ditegaskan bahwa audit BPK dilakukan profesional dan sesuai amanat konstitusi. Dia menjawab dengan suara yang sekali-sekali tertahan, mungkin itu gaya bicaranya.

Pernyataan Prof. Eddy sedikit membuat penulis terhenyak. Apakah benar logika tidak dipakai dalam audit keuangan pemerintah DKI? Apakah proses yang logis tidak ada dalam pemeriksaan BPK? Kemudian apa yang mendasari proses pemeriksaan tersebut? Apakah fakta-fakta yang dikumpulkan diuji dengan nalar dan alur yang benar, teratur dan tepat? Semua pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak ke permukaan alam pikiran penulis. Seakan tidak percaya dengan pernyataan anggota III BPK tersebut.

Untuk memahami data-data dan fakta-fakta yang ditemukan, tentunya BPK dalam melakukan audit memiliki standar dan prosedur yang didasarkan pada tujuan yang akan dicapai dari proses pemeriksaan itu sendiri. Dalam prosedur dan standar tersebut mestinya terkandung logika yang dasar formulasi prosedur dan standar tersebut. Menjadi aneh kemudian kalau ternyata tidak ada logika dalam proses pemeriksaan KPK, seperti pernyataan sang professor.

Sedikit mundur ke belakang, kasus soal logika dan pemakaian logika ini, pernah terjadi pada tahun 2005 antara Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dengan ketua BPK Anwar Nasution. Ketua BPK Anwar Nasution menyampaikan dugaan adanya penyimpangan dalam pengelolaan kawasan Gelora Bung Karno. Jelas-jelas lahan itu yang seharusnya dipergunakan untuk sarana olah raga berubah menjadi kawasan bisnis. Menurut Ketua BPK, telah terjadi penyimpangan.

Tetapi yang tidak disadari oleh Ketua BPK saat itu, telah ada peraturan presiden yang dikeluarkan Presiden Soeharto pada tahun 1985 yang memungkinkan pengalihan sebagian lahan untuk bisnis untuk menopang pengelolaan kawasan tersebut, seperti disampaikan Yusri. Yusril mengatakan BPK menggunakan logika tukang ojek. Ujaran yang merendahkan BPK. Mungkin sering juga dalam pemeriksanaanya BPK menggunakan logika yang salah. Bisa jadi juga BPK tidak memakai logika seperti yang disampaikan Prof. Eddy.

Prof. Eddy menegaskan lagi, “Secara umum tugas BPK adalah melakukan pemeriksaan atas kinerja keuangan pemerintah daerah dari Laporan Kinerja Pemerintah Daerah. BPK melakukan pemeriksaan atas beberapa prosedur. Kalau audit dilakukan ada surat tugas, ada proses audit, ada laporan audit, ada direview berjenjang dan terakhir disidang badan. Karena sudah dilakukan sesuai kriteria dan sesuai dengan perintah konstitusi”.

Pada Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 

Pemeriksaan juga mengandung aspek akuntabilitas yang diperlukan untuk dapat mengetahui pelaksanaan program yang dibiayai dengan keuangan negara, tingkat kepatuhannya terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta untuk mengetahui tingkat kehematan, efisiensi, dan efektivitas dari program tersebut.

Sedikit berteori, logika adalah ilmu yang mempelajari kecakapan untuk berfikir secara lurus, tepat dan teratur. Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Penalaran induktif, kadang disebut logika induktif, adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

Melihat pada teori di atas, pernyataan Anggota III BPK terkait proses pemeriksaan dan standar pemeriksaan keuangan yang diatur dalam peraturan BPK RI No. 1 tahun 2007, maka seharusnya dan sudah sejamaknya logika adalah basis dari pemeriksaan yang dilakukan BPK. Dalam pemeriksaan keuangan tentunya ada penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan yang umum.

Jelaslah sudah jika proses pemeriksaan BPK atas keuangan pemerintah daerah dan juga pemeriksaan investigatif atas dugaan adanya korupsi dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras memakai logika. Akan tetapi, dahsyatnya, melihat lebih lanjut pernyataan Prof. Eddy bahwa audit kinerja pemerintah DKI tidak pakai logika, ternyata terkonfirmasi. Mari kita lihat alasannya satu-persatu di bawah ini.

Tidak adanya logika dalam melakukan audit terkonfirmasi dari hasil yang telah dikeluarkan BPK DKI. BPK dengan audit investigatifnya untuk menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah DKI dalam pembelian lahan rumah sakit sumber waras. Karena tidak ada logika dalam auditnya, BPK-RI dengan sengaja menggunakan ketentuan pasal 121 Peraturan Presiden No 71 Tahun 2012. Padahal Peraturan ini sudah diganti dengan pasal 121 Peraturan Presiden No 40 Tahun 2014, tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. BPK-RI justru menutup-nutupi atau mengabaikan ketentuan pasal 121 Perpres No 40 Tahun 2014, karena pasal ini dengan tegas menyebutkan bahwa, demi efisiensi dan efektifitas, maka pengadaan tanah di bawah 5 Ha, dapat dilakukan pembelian langsung antara instansi yang memerlukan dan pemilik tanah.

Ketidakadaan logika lainnya dapat ditemukan dalam kaitannya dengan lokasi lahan yang dibeli pemerintah DKI tersebut. DI NJOP, alamat surat, sertifikat tanah dan google yang tidak ikut-ikutan juga menyatakan bahwa alamat obyek jual beli tanah yang tertera di dalam SHGB atas nama Yayasan RS Sumber Waras, yaitu di Jln Kyai Tapa dan NJOP PBB tahun 2014 seharga Rp 20,7 juta per meter. Tetapi yang dipakai BPK adalah alamat di Tomang Utara.

Ketiadaan logika mengakibatkan perjanjian jual beli dengan pihak lain digunakan sebagai acuan. Padahal ada dokumen negara yang mengatur zonasi dan nilai tanahnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Tidak adanya logika ini mengakibatkan BPK melakukan sesuatu yang melebihi kewenangannya. NJOP ditentukan sendiri oleh BPK padahal itu kewenangan Kementerian Keuangan. BPK menentukan sendiri lokasi lahan, padahal itu adalah wewenang BPN.
Hilangnya logika mengakibatkan BPK menggunakan NJOP jalan Tomang Utara senilai Rp 7 juta per meter untuk harga tahun 2013 yang sama sekali bukan data yang dimiliki oleh Yayasan RS Sumber Waras. BPK-RI mengabaikan atau menutup-nutupi kebenaran nilai NJOP untuk obyek pajak pada SHGB dimaksud sebesar Rp 20,7 juta per meter dan memaksakan harga NJOP yang lain yang berbeda dengan yang dimiliki oleh Yayasan Sumber Waras dan Pemda DKI.

Absennya logika membuat Ketua BPK menyatakan bahwa pembayaran pembelian lahan sumber waras tersebut adalah dengan uang tunai. Bisa dibayangkan kerumitan melakukan pembayaran dengan tunai senilai Rp. 717 milyar lebih. Padahal pembayaran dilakukan dengan cek. Menurut Bank Indonesia yang memiliki otoritas dalam kebijakan moneter termasuk menentukan alat pembayaran, cek bukanlah uang tunai. Paper-based seperti cek dan giro bukanlah uang tunai. Tetapi Ketua BPK tetap yakin bahwa pembayaran dengan uang tunai.

Hasil terakhir dari tidak berlakunya logika di dalam audit ini adalah adanya diskon kerugian negara dalam kasus pembelian lahan rumah sakit sumber waras. Setelah kunjungan anggota dewan yang terhormat, maka diskon diberikan hampir mencapai 20%. Kerugian negara bisa berubah dari Rp. 191 milyar menjadi Rp. 173 milyar, tanpa audit investigasi tambahan, hanya kunjungan ke sumber waras dan tembok belakang Rumah Sakit Sumber Waras. Apa alasannya dan justifikasinya itu tidak penting, karena pastinya bisa terjadi begitu saja secara ajaib, karena tidak pakai logika.

Dikatakan dalam sebuah penelitian bahwa setiap orang terlahir memiliki logika. Tetapi sepertinya itu tidak berlaku di BPK terkait pemeriksaan kasus pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun