[caption caption="Masyarakat berdiskusi terkait perencanaan desa. Foto: smeru.or.id"][/caption]Ahok tidak pernah mendengarkan masyarakat dalam proses relokasi warga. Sepertinya pendekatan tangan besi dilakukan Ahok untuk merelokasi warga yang mendiami dan mengambil alih lahan-lahan negara. Padahal ada pendekatan berbasis masyarakat yang bisa digunakan untuk proses relokasi ini. Kenapa Ahok tidak menggunakannya?
Pendekatan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan dalam sebuah proses pembangunan dengan melibatkan masyarakat, mulai proses perencanaan hingga pelaksanaan. Bahkan dana program juga diserahkan dan ditangani masyarakat. Melalui pendampingan oleh fasilitator, dalam pendekatan model ini, masukan-masukan dari masyarakat didengarkan melalui proses dialog dan berdiskusi dengan masyarakat yang terdampak oleh kebijakan pemerintah.
Dalam bahasa Bank Dunia, pendeakatan berbasis masyarkat ini disebut dengan Community-Driven Development, dimana masyarakat yang terdampak ditempatkan pada ‘front-seater’ pelaksanan pembangunan. Dalam ranah akademis, pendekatan ini masuk dalam New Public Service. Peran serta masyarakat atau public participation diterima dan difasilitasi. Pendekatan ini telah dilakukan dalam banyak kesempatan.
Salah satu yang paling fenomenal adalah relokasi PKL di Solo yang dilakukan oleh Jokowi ketika masih menjabat sebagai walikota. Pendekatan komunikasi terhadap 989 PKL di kawasan Monumen’45 Banjarsari, Solo, perlu proses dialog yang panjang, hingga 54 kali pertemuan makan siang selama kurang lebih 7 bulan, sebelum para pedagang barang bekas ini bersedia direlokasi.
Keberhasilan pendekatan ini banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan dengan memanusiakan para pedagang kaki lima. Bahkan proses relokasi para pedangang ini ke lokasi baru dilakukan dalam sebuah kirab budaya, memberikan nilai lebih pada proses ini.
Program-program lain yang menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini pada tingkat nasional seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri dengan berbagai temanya dan dilaksanakan oleh beberapa kementerian. Program PAMSIMAS, untuk penyediaan air bersih di masyarakat pedesaan, yang diimplementasikan oleh Kemen PUPERA.
Salah satu program pemerintah yang menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini dan mendapat pengakuan dari MURI adalah program relokasi masyarakat terdampak letusan Merapi 2010 di Kabupaten Magelang dan Sleman Provinsi Yogyakarta. Program ini diganjar rekor MURI karena program tersebut merupakan program relokasi terbesar di Indonesia dengan pendekatan berbasis masyarakat tanpa gejolak sosial.
Dalam konteks Jakarta, relokasi yang dilakukan pemerintah selalu mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang akan direlokasi. Kejadian-kejadian relokasi bahkan sejak Jokowi masih gubernur pun, tetap mengalami proses ricuh. Relokasi di Waduk Ria Rio, Waduk Pluit dan yang paling terbaru di Kampung Pulo dan Kampung Pasir Ikan, mengalami ricuh dan mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang akan direlokasi.
Meskipun dalam proses ini terdapat kecurigaan bahwa masyarakat ditunggangi berbagai pihak yang dirugikan dengan agenda masing-masing dan pencari panggung, menggunakan sudut pandang kekerasan oleh negara dan pelanggaran HAM.
Pertanyaannya adalah mengapa di Solo dan Merapi pendekatan ini berhasil dan di Jakarta tidak digunakan?
Dalam satu kesempatan diskusi dengan seorang supir taksi dalam perjalanan dari rumah ke kantor, penulis coba bertanya kepada sopir taksi terkait alasan pemerintah DKI tidak menggunakan pendekatan dialog ini. Jawaban sopir taksi ini, sebagai individu yang mengenal karakter orang Jakarta karena tiap hari berada di jalan, cukup memberikan gambaran.